"Dalam beberapa tahun terakhir, generasi Z mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 menjadi sorotan utama dalam berbagai diskusi, termasuk di ranah politik."
Generasi ini tumbuh dalam era digital yang serba cepat, dengan akses tak terbatas ke informasi dan media sosial yang mendominasi kehidupan sehari-hari. Hal ini membuat mereka memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya, baik dalam cara berpikir, berkomunikasi, maupun berinteraksi dengan isu-isu politik.
Di satu sisi, generasi Z dianggap sebagai generasi yang penuh potensi untuk membawa perubahan signifikan karena keberanian mereka menyuarakan opini dan kepedulian terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan hak asasi manusia.Â
Di sisi lain, mereka juga sering dicap apatis terhadap politik tradisional, seperti pemilu atau aktivitas partai politik, karena merasa sistem yang ada terlalu kaku, tidak transparan, atau tidak relevan dengan kebutuhan mereka.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting, apakah generasi Z benar-benar apatis terhadap politik, ataukah mereka sebenarnya lebih aktif dan terlibat, tetapi dengan cara yang berbeda?Â
Fenomena Apatisme Generasi Z
Citra apatis sering dilekatkan pada generasi Z. Mereka kerap dianggap tidak tertarik pada isu-isu politik, lebih sibuk dengan kehidupan pribadi, dan terlalu terfokus pada dunia digital yang penuh hiburan. Banyak pihak menilai bahwa generasi ini tidak memiliki kesadaran politik yang mendalam seperti generasi sebelumnya, terutama generasi yang pernah mengalami perjuangan reformasi atau transisi demokrasi.
Namun, sikap ini bukan muncul tanpa alasan. Ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang dianggap korup dan tidak transparan menjadi salah satu faktor utama. Generasi Z tumbuh di era di mana kasus-kasus korupsi besar, konflik kepentingan, dan janji-janji politik yang tak terealisasi sering mendominasi pemberitaan. Hal ini membuat mereka skeptis terhadap efektivitas politik konvensional dalam membawa perubahan nyata.
Selain itu, dinamika media sosial yang mendominasi keseharian generasi Z juga berkontribusi terhadap kesan apatis ini. Alih-alih terlibat dalam diskusi politik mendalam, sebagian besar dari mereka lebih memilih menggunakan media sosial untuk hiburan atau membangun identitas pribadi. Algoritma platform digital yang cenderung memprioritaskan konten viral daripada konten informatif semakin memperkuat jarak mereka dengan isu-isu politik serius.
Tanda-Tanda Aktivisme Generasi Z
Namun, pandangan bahwa generasi Z sepenuhnya apatis tidak sepenuhnya benar. Generasi ini justru menunjukkan keterlibatan politik yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka cenderung memilih cara-cara yang lebih modern, fleksibel, dan berorientasi pada isu spesifik yang relevan dengan kehidupan mereka. Media sosial menjadi alat utama mereka untuk menyuarakan pendapat, menggalang dukungan, dan menyebarkan informasi terkait gerakan atau isu tertentu.
Misalnya, penggunaan tagar di Twitter atau Instagram sering kali menjadi bentuk protes digital yang efektif. Dalam beberapa kasus, kampanye yang diinisiasi oleh generasi Z berhasil menarik perhatian publik dan bahkan memengaruhi kebijakan pemerintah.Â
Contoh nyata adalah aksi penolakan terhadap rancangan undang-undang kontroversial yang beberapa tahun terakhir ramai diperbincangkan, di mana suara generasi Z di media sosial berkontribusi besar dalam menciptakan tekanan publik.
Selain itu, generasi Z juga aktif dalam berbagai gerakan sosial, seperti advokasi lingkungan, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia. Mereka lebih memilih terlibat dalam isu-isu konkret yang memiliki dampak langsung terhadap masyarakat, daripada bergabung dengan struktur politik formal yang mereka anggap terlalu birokratis dan tidak efektif.Â
Dalam konteks ini, generasi Z menunjukkan bahwa mereka bukan tidak peduli, tetapi lebih selektif dan kritis terhadap cara mereka berkontribusi.
Faktor yang Mempengaruhi Sikap Politik Generasi Z
Ada beberapa faktor yang memengaruhi apakah generasi Z akan bersikap apatis atau aktif dalam politik. Salah satunya adalah pendidikan politik. Generasi Z sering kali tidak mendapatkan pembelajaran yang cukup mendalam tentang pentingnya partisipasi politik di sekolah.Â
Pendidikan formal cenderung fokus pada teori tanpa memberikan wawasan praktis tentang bagaimana mereka dapat berkontribusi dalam proses demokrasi. Kurangnya literasi politik ini membuat sebagian dari mereka merasa tidak percaya diri atau tidak tertarik untuk terlibat.
Akses informasi juga memainkan peran penting. Meski generasi Z hidup di era digital dengan banjir informasi, tidak semua dari mereka mampu memilah mana yang relevan dan kredibel. Derasnya arus berita, termasuk disinformasi dan hoaks, sering kali membuat mereka bingung atau bahkan enggan untuk menggali lebih dalam tentang isu politik. Di sisi lain, mereka yang mampu memanfaatkan informasi dengan baik cenderung lebih aktif dalam menyuarakan opini dan mengambil tindakan.
Selain itu, keteladanan dari para pemimpin juga sangat berpengaruh. Generasi Z cenderung lebih terinspirasi oleh tokoh-tokoh yang dianggap autentik, berintegritas, dan mampu menunjukkan perubahan nyata.Â
Ketika mereka melihat pemimpin yang transparan dan berani mendobrak sistem yang usang, mereka lebih terdorong untuk mendukung atau bahkan bergabung dalam gerakan politik. Sebaliknya, jika mereka melihat praktik politik yang kotor dan penuh kepentingan, rasa apatis mereka semakin meningkat.
Apatis atau Aktif?
Label apatis atau aktif pada generasi Z sebenarnya bergantung pada konteks. Dalam politik formal, seperti partisipasi dalam pemilu atau keterlibatan dengan partai politik, mereka mungkin terlihat kurang antusias dibandingkan generasi sebelumnya.Â
Hal ini disebabkan oleh pandangan skeptis mereka terhadap sistem politik yang dianggap lambat, penuh intrik, dan kurang relevan dengan kebutuhan mereka. Namun, ketika berbicara tentang isu-isu spesifik yang mereka anggap penting, seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, atau hak digital, generasi Z menunjukkan tingkat aktivisme yang luar biasa.
Generasi Z cenderung lebih terlibat dalam aksi berbasis isu daripada struktur politik tradisional. Mereka lebih tertarik pada gerakan yang menawarkan solusi konkret dan dampak langsung, bukan sekadar janji-janji politik.Â
Hal ini terlihat dari partisipasi mereka dalam kampanye media sosial, aksi protes, atau penggalangan dana untuk tujuan tertentu. Dengan kata lain, mereka mungkin tidak aktif dalam politik secara umum, tetapi sangat aktif ketika menyangkut hal-hal yang dekat dengan nilai-nilai atau kehidupan mereka.
Selain itu, platform digital telah mengubah cara generasi Z berpartisipasi dalam politik. Alih-alih hadir secara fisik dalam rapat atau kampanye, mereka menggunakan media sosial untuk menyuarakan pendapat, mendukung petisi online, atau bahkan mengorganisasi gerakan.Â
Aktivisme digital ini sering kali disalahartikan sebagai bentuk apatisme karena tidak terlihat dalam dunia offline, padahal dampaknya bisa sangat signifikan.
Kesimpulan
Generasi Z adalah generasi yang kompleks, dengan pendekatan unik terhadap politik. Mereka mungkin tidak selalu mengikuti pola partisipasi tradisional, tetapi cara mereka terlibat dalam isu-isu yang relevan menunjukkan bahwa mereka memiliki kesadaran politik yang tinggi. Generasi ini lebih memilih pendekatan langsung dan berbasis solusi, terutama melalui platform digital, untuk mengekspresikan pandangan mereka dan mendorong perubahan sosial.
Skeptisisme mereka terhadap sistem politik konvensional bukanlah tanda apatisme semata, melainkan cerminan dari keinginan mereka akan transparansi, efisiensi, dan relevansi. Mereka mencari bentuk keterlibatan politik yang lebih inklusif, adaptif, dan sesuai dengan nilai-nilai mereka. Dalam hal ini, generasi Z membuka peluang untuk mereformasi cara pandang terhadap politik, menjadikannya lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H