Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Menulis Artikel

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Saatnya Semua Partai Berkesempatan, Apakah Demokrasi Kita Siap?

3 Januari 2025   20:14 Diperbarui: 5 Januari 2025   17:54 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera partai politik peserta pemilu terpasang di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta | KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN

"Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2 Januari 2025 menandai tonggak sejarah baru dalam politik Indonesia."

Dengan membatalkan aturan presidential threshold yang selama ini menjadi prasyarat pencalonan presiden dan wakil presiden, MK membuka jalan bagi semua partai politik peserta pemilu untuk bersaing secara setara. Keputusan ini tak hanya mengakhiri dominasi partai-partai besar, tetapi juga memperluas ruang demokrasi, memberikan peluang bagi lebih banyak figur pemimpin untuk tampil di panggung nasional.

Namun, seperti setiap perubahan besar, keputusan ini membawa harapan sekaligus kekhawatiran. Di satu sisi, rakyat kini memiliki lebih banyak pilihan calon pemimpin yang beragam. Di sisi lain, sistem politik kita akan menghadapi tantangan baru dalam memastikan kompetisi yang adil, tertib, dan tidak merusak stabilitas pemerintahan.

Apakah Indonesia siap untuk memasuki era baru demokrasi ini? 

Menghapus Ketimpangan, Membuka Peluang

Presidential threshold selama ini sering dianggap sebagai penghalang bagi partai-partai kecil untuk mengajukan calon. Dengan syarat minimal 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah nasional, partai-partai kecil sering kali dipaksa bergabung dalam koalisi yang didominasi oleh partai besar. Akibatnya, suara pemilih yang memilih partai-partai kecil kerap terpinggirkan, dan aspirasi politik mereka tidak sepenuhnya terwakili dalam kontestasi nasional.

Situasi ini menciptakan ketimpangan politik, di mana hanya segelintir partai dengan kekuatan besar yang mampu mengontrol proses pencalonan presiden. Dominasi ini tidak hanya membatasi pilihan pemilih, tetapi juga mempersempit ruang diskusi ide dan gagasan alternatif yang lebih inovatif untuk memajukan negara.

Tantangan Baru: Banyak Wajah di Surat Suara

Namun, penghapusan threshold juga menimbulkan tantangan. Dengan membuka peluang bagi semua partai untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, jumlah kandidat di pemilu mendatang berpotensi meningkat secara signifikan. 

Hal ini dapat mempersulit pemilih untuk mengenali, memahami, dan membandingkan visi, misi, serta program kerja setiap pasangan calon. Bagi sebagian masyarakat yang belum memiliki literasi politik yang memadai, kondisi ini bisa menyebabkan kebingungan dan keputusan memilih yang kurang didasarkan pada pertimbangan rasional.

Selain itu, fragmentasi suara pemilih juga menjadi kekhawatiran utama. Ketika terlalu banyak kandidat yang bersaing, perolehan suara dapat terpecah sehingga tidak ada calon yang memperoleh mayoritas mutlak. Ini berpotensi memicu putaran kedua yang memakan waktu, biaya besar, dan bisa memperpanjang polarisasi politik di masyarakat.

Di sisi lain, tanpa ambang batas, dinamika politik di parlemen juga dapat menjadi lebih rumit. Pemerintahan yang terbentuk mungkin akan menghadapi tantangan dalam membangun koalisi yang stabil dan efektif untuk mendukung program-programnya. 

Potensi negosiasi politik yang intensif atau bahkan tarik-menarik kepentingan bisa menghambat proses pengambilan keputusan, terutama jika partai-partai kecil memainkan peran strategis sebagai “penentu” dalam pemerintahan.

Kesetaraan Versus Stabilitas

Dalam demokrasi, kesetaraan merupakan prinsip fundamental. Setiap partai, tanpa memandang besar kecilnya perolehan suara, memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dan menawarkan calon pemimpin kepada rakyat. 

Penghapusan presidential threshold mencerminkan komitmen untuk mewujudkan kesetaraan tersebut, memberikan ruang bagi partai-partai kecil untuk bersaing secara adil dan menunjukkan kapasitas mereka dalam memimpin negara.

Namun, prinsip kesetaraan ini juga harus diseimbangkan dengan kebutuhan akan stabilitas politik. Demokrasi yang sehat tidak hanya soal memberikan peluang kepada semua pihak, tetapi juga memastikan bahwa pemerintahan yang terbentuk mampu berjalan dengan efektif dan efisien. Jika terlalu banyak kandidat yang muncul tanpa kontrol yang memadai, ada risiko bahwa proses pemilu menjadi terlalu rumit dan melemahkan legitimasi hasil akhirnya.

Kesetaraan tanpa diiringi dengan tanggung jawab bisa menimbulkan konsekuensi yang justru merugikan demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, partai politik harus memanfaatkan peluang ini dengan bijak. Mereka perlu menghadirkan calon yang benar-benar kompeten dan memiliki visi yang jelas, bukan sekadar mengisi ruang kompetisi demi popularitas semata.

Tanggung Jawab Bersama

Keputusan ini bukan hanya menjadi kemenangan partai-partai kecil, tetapi juga ujian bagi semua aktor politik, termasuk rakyat. Partai-partai politik kini memiliki tanggung jawab besar untuk menunjukkan bahwa mereka mampu menghadirkan calon-calon terbaik yang benar-benar layak memimpin bangsa. 

Kompetisi yang lebih terbuka menuntut partai untuk tidak hanya fokus pada kepentingan internal, tetapi juga mengedepankan visi, program, dan komitmen yang relevan dengan kebutuhan rakyat.

Di sisi lain, rakyat juga memegang peran kunci dalam menentukan arah demokrasi ini. Dengan lebih banyak calon yang muncul, pemilih harus lebih kritis dan cerdas dalam menilai setiap kandidat. Pilihan mereka tidak boleh lagi didasarkan pada faktor-faktor emosional semata, seperti popularitas atau afiliasi ideologis yang sempit, tetapi harus mempertimbangkan kapasitas dan integritas calon dalam menghadapi tantangan bangsa.

Media dan masyarakat sipil juga memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa proses ini berjalan dengan transparan. Mereka harus aktif memberikan edukasi politik, mengawasi jalannya pemilu, dan memastikan bahwa setiap aktor politik bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Optimisme untuk Demokrasi yang Lebih Sehat

Meski tantangan yang dihadapi tidak sedikit, putusan ini merupakan langkah penting untuk memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia. Dengan membuka ruang bagi lebih banyak calon presiden dan wakil presiden, rakyat kini memiliki peluang untuk memilih pemimpin yang benar-benar mewakili aspirasi mereka. 

Keberagaman pilihan ini dapat memacu partai politik untuk menghadirkan kandidat yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki kompetensi, visi, dan rekam jejak yang jelas.

Putusan ini juga memberikan pesan kuat bahwa demokrasi Indonesia sedang bergerak menuju sistem yang lebih inklusif dan adil. Dengan menghapuskan presidential threshold, struktur politik yang selama ini cenderung oligarkis dan terkonsentrasi pada partai-partai besar bisa mulai bergeser menuju pola yang lebih terbuka dan kompetitif.

Namun, keberhasilan dari perubahan ini sangat bergantung pada bagaimana aturan teknis yang mengatur pelaksanaan pemilu pasca-putusan ini dirancang. Pemerintah dan pembentuk undang-undang harus memastikan bahwa regulasi baru tidak hanya memfasilitasi kompetisi yang lebih luas, tetapi juga mampu menjaga stabilitas politik dan mencegah konflik yang tidak perlu.

Pada akhirnya, kesiapan demokrasi kita bergantung pada seberapa baik semua pihak partai politik, pemilih, dan pemerintah mampu beradaptasi dengan perubahan ini. Partai politik harus menunjukkan bahwa mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan serius, memilih dan mempersiapkan calon yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki kapasitas untuk memimpin bangsa. 

Pemilih, di sisi lain, harus lebih kritis dalam mengevaluasi pilihan mereka, memahami visi, misi, dan latar belakang kandidat, serta mengesampingkan sentimen emosional atau sektarian.

Pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), juga menghadapi tantangan besar. Mereka harus memastikan bahwa sistem pemilu yang baru dirancang untuk mendukung kompetisi yang sehat dan adil, sekaligus menjaga efisiensi dan transparansi proses pemilu. 

Pengaturan teknis, seperti jumlah calon di surat suara, mekanisme debat publik, dan aturan kampanye, harus dipersiapkan dengan matang agar pemilu tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga menghasilkan pemimpin yang berkualitas.

Lebih luas lagi, masyarakat sipil, media, dan organisasi non-pemerintah harus turut ambil bagian. Mereka perlu memantau jalannya proses pemilu, mengedukasi masyarakat, dan memastikan bahwa demokrasi berjalan sesuai prinsip-prinsip yang benar. Perubahan ini bukan sekadar soal membuka ruang bagi semua partai, tetapi juga tentang menciptakan ekosistem politik yang lebih sehat dan inklusif.

Jika kita mampu menjalani transisi ini dengan baik, maka penghapusan presidential threshold tidak hanya akan menjadi langkah maju, tetapi juga menjadi bukti bahwa demokrasi Indonesia semakin matang. Kini, tantangan sekaligus peluang ini ada di tangan kita semua. Apakah kita mampu memanfaatkannya untuk membangun masa depan politik yang lebih baik? Waktulah yang akan menjawabnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun