Lebih jauh lagi, fenomena ini menciptakan standar baru yang sering kali tidak realistis bagi banyak orang. Dengan melihat unggahan media sosial yang menampilkan kemewahan dan popularitas, individu lain merasa terdorong untuk menyesuaikan diri, meski harus mengorbankan kenyamanan finansial atau keaslian diri. Akibatnya, social climbing tidak hanya memengaruhi individu secara psikologis tetapi juga memperkuat budaya konsumtif yang berlebihan di masyarakat.
Namun, social climbing juga dapat dianggap sebagai alat untuk mendorong ambisi. Beberapa orang menggunakan media sosial untuk membangun jaringan profesional atau memotivasi diri agar benar-benar meningkatkan kualitas hidup mereka. Dalam hal ini, fenomena tersebut menjadi peluang bagi individu untuk berkembang, asalkan dilakukan dengan cara yang sehat dan realistis.
Pada akhirnya, social climbing mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan antara citra dan esensi. Di tengah maraknya tekanan untuk tampil sempurna, refleksi diri menjadi kunci untuk tetap autentik dan menghargai nilai-nilai yang sejati dalam hidup. Dunia digital seharusnya menjadi sarana untuk memperluas koneksi dan inspirasi, bukan sekadar arena untuk mengejar validasi semu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H