Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Menulis Artikel

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fenomena Social Climbing di Media Sosial: Refleksi Perubahan Gaya Hidup

23 Desember 2024   20:00 Diperbarui: 23 Desember 2024   18:02 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi social climbing (sumber gambar: m.kaskus.co.id)

3. Kreativitas dalam Membangun Citra Diri

Keinginan untuk tampil lebih baik di media sosial mendorong banyak orang untuk menghasilkan konten yang menarik, inovatif, dan estetis. Hal ini dapat menciptakan tren baru yang menginspirasi orang lain.

Dampak Negatif

1. Tekanan Psikologis

Social climbing sering kali menciptakan tekanan untuk terus tampil sempurna, yang dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Individu merasa harus terus membuktikan diri melalui citra yang mereka bangun, meskipun tidak sesuai dengan kenyataan.

2. Krisis Identitas

Upaya untuk menciptakan citra yang ideal sering kali membuat seseorang kehilangan jati diri. Mereka terjebak dalam usaha menjadi "orang lain" demi pengakuan sosial, yang pada akhirnya mengorbankan keaslian dan kebahagiaan mereka.

3. Gaya Hidup Konsumtif

Banyak orang terjebak dalam kebiasaan konsumtif untuk mendukung citra mewah yang mereka tampilkan. Hal ini dapat menyebabkan masalah keuangan, seperti utang yang menumpuk, hanya demi mempertahankan gaya hidup yang tidak realistis.

4. Meningkatkan Kesenjangan Sosial

Fenomena ini dapat mempertegas kesenjangan sosial di masyarakat. Orang yang memiliki akses ke sumber daya lebih besar cenderung lebih mudah membangun citra sukses, sementara mereka yang kurang mampu sering merasa tertinggal atau tidak cukup baik.

5. Hubungan Superfisial

Social climbing yang berfokus pada koneksi dengan orang-orang berstatus tinggi sering kali menghasilkan hubungan yang dangkal. Hubungan tersebut lebih didasarkan pada manfaat daripada nilai-nilai yang tulus, sehingga kurang bermakna dalam jangka panjang.

6. Distorsi Nilai Hidup

Kehidupan yang berfokus pada pencitraan di media sosial dapat mengaburkan makna sebenarnya dari kebahagiaan dan kesuksesan. Banyak orang mulai mengukur nilai diri mereka berdasarkan angka di media sosial, bukan dari pencapaian nyata atau hubungan autentik.

Refleksi: Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Fenomena social climbing adalah refleksi dari masyarakat modern yang semakin berorientasi pada citra daripada esensi. Di era media sosial, apa yang terlihat sering kali dianggap lebih penting daripada apa yang sebenarnya ada. Hal ini menunjukkan bagaimana teknologi dan platform digital telah mengubah cara kita mendefinisikan nilai diri, kesuksesan, dan kebahagiaan.

Dalam banyak kasus, social climbing menggambarkan pergeseran nilai yang signifikan di masyarakat. Orang tidak lagi hanya mengejar pencapaian nyata, tetapi juga pengakuan yang bersifat simbolik melalui tampilan gaya hidup tertentu. Kesuksesan dan kebahagiaan kerap diukur dari jumlah pengikut, "likes," atau komentar, bukan dari hal-hal yang lebih mendalam seperti pencapaian pribadi, hubungan yang bermakna, atau kontribusi kepada komunitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun