Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Menulis Artikel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena Cancel Culture, Melawan Ketidakadilan atau Hanya Drama?

18 Desember 2024   19:34 Diperbarui: 19 Desember 2024   13:33 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bahaya cancel culture terhadap kesehatan mental. (Sumber: iStockphoto/tumsasedgars via kompas.com)

Cancel culture memang telah membawa perubahan positif dalam beberapa kasus, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada risiko besar di baliknya. Ketika dilakukan tanpa dasar yang kuat atau dengan emosi yang tidak terkendali, cancel culture dapat berubah menjadi alat destruktif yang merusak reputasi, karier, dan bahkan kehidupan seseorang. 

Dalam situasi seperti ini, cancel culture sering kali mengabaikan prinsip dasar keadilan, yaitu memberikan ruang bagi klarifikasi, konteks, dan proses pemulihan.

Salah satu risiko terbesar adalah efek jangka panjang terhadap individu yang menjadi target. Mereka tidak hanya kehilangan pekerjaan atau reputasi, tetapi juga sering mengalami tekanan psikologis, seperti kecemasan, depresi, atau rasa tidak aman di ruang publik. 

Bahkan, meskipun tuduhan terhadap mereka kemudian terbukti salah atau dilebih-lebihkan, stigma sosial yang ditinggalkan cancel culture sering kali sulit dihapus.

Selain itu, cancel culture juga dapat menciptakan suasana takut berbicara atau menyampaikan pendapat, terutama dalam topik-topik yang kompleks atau kontroversial. 

Banyak orang menjadi khawatir bahwa satu kesalahan kecil baik disengaja maupun tidak dapat membuat mereka menjadi sasaran boikot massal. Akibatnya, dialog yang sehat dan diskusi yang mendalam tentang isu-isu penting menjadi terhambat, karena orang lebih memilih untuk diam daripada mengambil risiko.

Namun, hal ini tidak berarti cancel culture harus sepenuhnya dihindari. Tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa tindakan ini dilakukan dengan adil, berdasarkan fakta yang akurat, dan dengan tujuan membangun, bukan sekadar menghukum. 

Cancel culture bisa menjadi alat yang efektif jika digunakan untuk menuntut akuntabilitas dan mendorong perubahan sistemik, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak berubah menjadi sekadar aksi emosional yang merusak lebih banyak daripada yang diperbaiki.

Kesimpulan

Cancel culture adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi alat yang kuat untuk melawan ketidakadilan, menuntut akuntabilitas, dan membawa perubahan sosial yang signifikan. 

Ketika digunakan secara bijaksana, cancel culture mampu memberikan suara kepada mereka yang selama ini terpinggirkan dan memperlihatkan bahwa tindakan buruk, terutama dari figur publik atau institusi besar, tidak akan dibiarkan begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun