Meskipun cancel culture memiliki tujuan mulia untuk memperjuangkan keadilan, pelaksanaannya tidak selalu ideal.Â
Kritik terhadap fenomena ini muncul karena prosesnya sering kali tidak memberi ruang bagi dialog atau kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Akibatnya, cancel culture terkadang lebih menyerupai hukuman sosial yang brutal daripada upaya kolektif untuk menciptakan perubahan positif.
Drama di Balik Cancel Culture
Di balik semangat perlawanan, cancel culture juga kerap berubah menjadi ajang drama. Alih-alih menjadi alat untuk menegakkan keadilan, fenomena ini sering kali didorong oleh emosi dan opini yang belum tentu didasarkan pada fakta yang lengkap.Â
Dalam banyak kasus, seseorang bisa "di-cancel" hanya karena salah paham, informasi yang keluar dari konteks, atau bahkan rumor yang belum terverifikasi.
Lebih parah lagi, cancel culture sering kali menciptakan budaya "trial by social media," di mana opini publik langsung menjatuhkan vonis tanpa memberi ruang bagi proses klarifikasi atau pembelaan diri.Â
Ketika sebuah isu viral, tekanan untuk mengikuti arus dan terlibat dalam pembatalan menjadi sangat kuat, sehingga individu-individu sering merasa perlu untuk ikut "mencancel" tanpa benar-benar memahami situasi.
Drama ini tidak hanya merugikan pihak yang menjadi sasaran, tetapi juga memperkeruh ruang diskusi publik. Alih-alih menjadi tempat untuk edukasi dan solusi, media sosial berubah menjadi arena perdebatan yang penuh kebencian, saling tuding, dan pembenaran diri. Akibatnya, fokus utama untuk menciptakan perubahan atau keadilan sering kali teralihkan oleh drama dan konflik yang tidak produktif.
Fenomena ini juga menimbulkan pertanyaan penting: apakah cancel culture benar-benar tentang keadilan, atau hanya bentuk lain dari mob mentality yang merusak? Di sinilah kita perlu berhenti sejenak untuk merenungkan, bagaimana kita dapat menggunakan kekuatan kolektif ini dengan lebih bijaksana.
Efektivitas dan Risiko Cancel Culture