"Dalam beberapa tahun terakhir, istilah healing menjadi sangat populer di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda."
Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan usaha seseorang dalam mencari ketenangan, melepaskan diri dari tekanan hidup, atau sekadar menyegarkan pikiran setelah rutinitas yang melelahkan. Tidak hanya sebuah kata, healing telah berkembang menjadi tren gaya hidup yang kerap diidentikkan dengan perjalanan ke tempat-tempat indah, seperti pantai, gunung, atau resor mewah.
Media sosial turut memperkuat fenomena ini. Unggahan foto dengan latar pemandangan alam yang menenangkan disertai keterangan “butuh healing” menjadi hal yang sangat umum. Namun, di balik popularitasnya, muncul pertanyaan mendasar, apakah healing benar-benar memberikan manfaat emosional dan kebahagiaan yang kita cari, atau justru hanya sekadar pelarian sementara dari kenyataan?
Liburan Sebagai Bentuk Pelarian
Stres dari pekerjaan, tekanan sosial, atau rasa lelah mental sering kali menjadi alasan utama orang memutuskan untuk healing. Dalam rutinitas yang padat dan tuntutan hidup yang terus meningkat, banyak orang merasa terjebak dalam lingkaran aktivitas yang tidak memberi ruang untuk beristirahat atau menikmati hidup. Healing kemudian menjadi semacam pelarian, menawarkan jeda sejenak dari realitas yang melelahkan.
Namun, sering kali tujuan utama ini berubah menjadi sekadar ritual mengikuti tren, terutama ketika liburan lebih berfokus pada dokumentasi di media sosial daripada menikmati momen itu sendiri. Alih-alih benar-benar melepaskan stres, banyak orang justru merasa tertekan untuk memastikan bahwa perjalanan mereka terlihat sempurna di mata orang lain.
Fenomena ini juga diperparah oleh budaya kerja yang mendorong produktivitas tanpa henti. Bagi sebagian orang, healing menjadi kebutuhan mendesak untuk menghindari kelelahan berlebihan atau burnout. Meski begitu, pertanyaan yang kerap muncul adalah apakah liburan tersebut benar-benar menyembuhkan atau hanya memberikan kebahagiaan yang sifatnya sementara?
Beberapa ahli menyarankan bahwa healing sejati tidak hanya tentang melarikan diri dari masalah, tetapi juga melibatkan refleksi mendalam, pengaturan prioritas hidup, dan cara-cara lain untuk mengelola stres secara berkelanjutan. Tanpa hal-hal tersebut, healing hanya akan menjadi solusi sesaat yang tidak menyentuh akar permasalahan.
Healing atau Sekadar Tren Media Sosial?
Di era media sosial, healing juga menjadi bagian dari gaya hidup yang sering dipamerkan secara publik. Istilah ini tidak lagi sekadar tentang mencari ketenangan atau penyembuhan diri, tetapi juga menjadi simbol status atau tren yang ingin diikuti banyak orang. Unggahan foto-foto di lokasi wisata yang indah dengan caption seperti “butuh healing” atau “healing time” menjadi pemandangan umum di berbagai platform, seperti Instagram dan TikTok.
Hal ini menciptakan persepsi bahwa kebahagiaan dan ketenangan dapat diperoleh hanya dengan bepergian ke tempat tertentu atau melakukan aktivitas tertentu. Akibatnya, banyak orang merasa tertekan untuk ikut serta dalam tren ini, meskipun mungkin tidak benar-benar membutuhkan atau mampu melakukannya. Sebagian lainnya bahkan merasa “tertuntut” untuk memastikan bahwa liburan mereka terlihat menarik di mata orang lain, bukan karena mereka ingin menikmati momen itu sendiri.
Ironisnya, alih-alih membawa kedamaian, fenomena ini justru bisa menciptakan stres baru. Tekanan untuk mendapatkan foto yang sempurna, memilih tempat yang “Instagramable,” atau membandingkan diri dengan perjalanan orang lain sering kali membuat esensi healing itu sendiri hilang. Sebuah perjalanan yang seharusnya menjadi waktu untuk beristirahat malah berubah menjadi perlombaan sosial tanpa akhir.
Namun, bukan berarti healing melalui liburan tidak bermanfaat. Ketika dilakukan dengan kesadaran penuh dan tujuan yang tepat, liburan memang bisa menjadi momen untuk menyegarkan pikiran dan menyelaraskan kembali emosi. Tantangannya adalah bagaimana menjauhkan diri dari tekanan media sosial dan fokus pada kebutuhan pribadi selama perjalanan tersebut.
Liburan yang Efektif untuk Kebahagiaan
Meski begitu, liburan tetap memiliki manfaat nyata, asalkan dilakukan dengan tujuan yang tepat. Penelitian menunjukkan bahwa waktu istirahat dari rutinitas dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan kesehatan mental, dan memperkuat hubungan sosial, terutama jika liburan dilakukan bersama keluarga atau teman dekat. Suasana baru dan pengalaman berbeda yang ditawarkan oleh perjalanan juga dapat memicu rasa bahagia, menstimulasi kreativitas, dan memperbaiki suasana hati.
Namun, agar manfaat tersebut dapat dirasakan sepenuhnya, liburan perlu direncanakan dengan baik sesuai kebutuhan pribadi. Jika tujuan utamanya adalah mencari ketenangan, memilih tempat yang sepi dan jauh dari keramaian mungkin lebih tepat dibandingkan destinasi populer yang ramai. Selain itu, memanfaatkan waktu untuk merenung, memutus koneksi sementara dari pekerjaan atau media sosial, dan benar-benar menikmati momen adalah langkah penting agar liburan tidak hanya menjadi pelarian sementara.
Liburan juga memberikan kesempatan untuk refleksi diri. Dengan menjauh dari tekanan sehari-hari, kita dapat melihat masalah atau tantangan hidup dari sudut pandang yang berbeda. Dalam suasana yang lebih santai, sering kali muncul solusi atau ide-ide baru yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Namun, penting untuk diingat bahwa liburan bukan satu-satunya cara untuk "menyembuhkan" diri. Kombinasi dari pola hidup sehat, manajemen stres, dukungan sosial, dan kebiasaan positif sehari-hari adalah kunci untuk menciptakan kebahagiaan yang berkelanjutan. Dengan demikian, liburan bisa menjadi pelengkap, bukan satu-satunya cara, untuk mencapai keseimbangan hidup.
Kesimpulan
Liburan memang dapat memberikan kebahagiaan, tetapi sifatnya sering kali sementara. Setelah kembali ke rutinitas, tantangan hidup yang sama akan tetap ada, menuntut kita untuk menemukan cara yang lebih berkelanjutan dalam menjaga kesehatan mental dan emosional. Oleh karena itu, healing sejati bukan hanya tentang melarikan diri dari masalah, tetapi bagaimana kita membangun mekanisme coping yang sehat dalam kehidupan sehari-hari.
Liburan sebaiknya dipandang sebagai jeda untuk menyegarkan pikiran dan tubuh, bukan solusi utama. Dengan pendekatan yang tepat baik melalui refleksi, koneksi dengan alam, atau hanya sekadar melepaskan diri dari teknologi liburan dapat menjadi momen penting untuk mengisi ulang energi dan mendapatkan perspektif baru. Namun, kebahagiaan yang mendalam dan tahan lama hanya bisa dicapai melalui perawatan diri yang konsisten, hubungan sosial yang sehat, dan keberanian untuk menghadapi realitas hidup dengan penuh kesadaran.
Jadi, meskipun liburan dapat menjadi bagian dari healing, esensinya tetap bergantung pada bagaimana kita memanfaatkan momen tersebut. Apakah kita benar-benar hadir dan menikmati perjalanan, atau hanya sekadar mengikuti tren? Pilihan ada di tangan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H