“Semoga bae bisa payu larang ya, Pak. Weduse kan wis gede-gede. Semoga dewek bisa nempur maning, Gusti.” Jawab Mbok Tutur setengah senang.
Tak sadar terdengar suara budin yang sudah masak. Lalu Mbok Tutur bergegas mengambil tongkatnya dan berjalan menuju bakaran tersebut untuk mencari budin yang telah tertimbun.
“Nah, kie budine. Waduh geseng kie. Semoga esih kena dipangan Bapak.” Mbok Tutur berkata sendiri.
Lalu ia bergegas menuju suaminya yang masih lunglai bersender pada bambu gubuk. Gubuk yang tak layak untuk digunakan untuk berteduh. Payonnya sudah berlubang semua. Bambunya sudah miring seperti hampir roboh. Tapi bagaimana lagi? Hendak membuat gubuk, nempur saja tak bisa. Suara jangkrik semakin mengentir menandakan sore sudah datang.
“Kie, Pak, budine. Malahan geseng rumpeng. Semoga si esih bisa dipangan.” Tunjuk Mbok Tutur pada Pak Darsim.
Tanpa diberi aba-aba Pak Darsim langsung melahap budin tersebut tanpa dikupas terlebih dahulu. Budin gosong yang penuh dengan arang. Giginya menjadi hitam seperti arang tadi. Tapi, ia tak peduli. Begitu lahap ia dalam mencerna budin tersebut. Ia seperti tak punya pikiran bahwa beban hidupnya sebenarnya masih banyak. Mbok Tutur hanya memfokuskan pandangan pada gigi hitam Pak Darsim dan tertawa-tawa tanpa beban. Mereka terlihat bahagia sekali, tertawa-tertawa tidak jelas. Tapi, sebenarnya kehidupannya suram penuh penantian. Tapi penantian pada tumbuhan tak aka nada ujungnya.
Desember 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI