Pagi elok itu menunjukan cengkeraman jari-jari matahari yang seperti hampir mengambil ubun-ubun. Tapi, itu hanya dirasakan oleh Pak Tani. Tidak dengan para burung yang semakin semangat untuk mengeluarkan segala perasaan kesal di batinnya. Bagaimana tidak? Buah-buahan, padi-padian, binatang-binatang serangga susah ditemui. Saat seperti itu burung pipit sudah tidak menjadi musuh Pak Tani justru mereka saling bersahabat karena kesengsaraan.
Pagi itu Mbok Tutur hendak mengirim nasi dan lauk untuk suaminya. Dia berjalan lambat-lambat, kakinya sudah tak mampu memapah beban badannya lagi. Usianya sudah tua! Tapi semangatnya tak bisa tua! Suaminya merupakan seorang petani penggarap lahan seorang tuan tanah, yaitu Juragan Edi yang tanahnya berserakan. Kali itu, Mbok Tutur mencoba menaiki batu tumpuan galengan yang cukup tinggi. Batu itu terlihat hitam bening dan sangat licin. Dan benar saja saat menanjaki batu itu Mbok Tutur terpeleset dan semua kiriman untuk suaminya jatuh ke sawah. Padahal itu pesediaan makanan terakhir yang ada di gubuknya. Bagaimana mereka mau makan nanti? Duh Gusti.
“Duh, biyung. Panganan mung-mungan nggo Darsim malah tumplek” terlihat wajah sedih bercampur marah.
Dia tahu suaminya pasti tengah menunggu kiriman itu. Saat itu matahari sudah di atas ubun-ubun yang menandakan waktu makan. Pasti Darsim sudah kelaparan dan kepanasan di gubuknya. Bagaimana kalau ia tahu makanan jatahnya ini tumpah berceceran? Betapa takut diriku untuk menghadapnya. Tapi, aku percaya di sisi lain ia mengerti keadaanku yang seperti ini. Maka Mbok Tutur kembali berdiri dan berjalan pelan seperti keong yang hendak menjemput lumut.
Saat ia berdiri bebek-bebek milik Pak Sardi menyerbu tumpahan nasi di sawah tadi. Alangkah sedih diri Mbok Tutur karena semua itu sia-sia. Tapi, tak apa suaminya orang yang baik. Mbok Tutur segera bergegas ke ladang suaminya untuk memberitahu akan hal itu. Angin sayup mengibaskan rambut putih perempuan itu. Tanah galengan membentuk jejak kaki tua yang telah keriput itu.
Saat angin tengah menyegarkan harinya, Mbok Tutur berpapasan dengan Pak Kaper yang telah meninggalkan ladangnya. Mungkin pekerjaannya itu telah selesai. Hingga akhirnya Ia pulang.
“Uwisan rampung nggone nggaleng apa, Pak?” Tanya Mbok Tutur membuka percakapan dua manusia itu.
Pak Kaper tak langsung menjawab, yang terlihat hanya muka murung dan keringat yang bertetesan di seluruh badannya. Lalu ia pergi meninggalkan pertanyaan yang terlalu basi itu. Saat itu timbulah pikiran dan perasaan was-was pada seorang Mbok Tutur. Ia merasa ada yang tidak beres di sawah. Kemudian ia semakin mempercepat langkahnya walaupun secepat-cepat langkah Mbok Tutur lebihlah cepat langkah ayam yang tengah menggiring anak-anaknya.
Sesampainya di ladang Juragan Edi, Mbok Tutur semakin bingung karena suaminya tak ada di tempat biasa untuk mengaso. Ia lalu mencari dengan penuh kekhawatiran dan ternyata suaminya tengah merebahkan dirinya di pekarangan kosong. Terlihat dari raut mukanya, Ia tengah kelaparan dan kecapean.
“Lesu ya, Pak?” Tanya Mbok Tutur dengan muka memelas dan meminta maaf,
“uhkk” Terdengar suara batuk kering dari Pak Darsim yang berbadan kurus kering seperti tinggal tulang saja.
“Lesu, ya, Pak? Mesti sampean lesu banget. Bisa ngasi turonan neng lemah kaya kue.” Jawab Mbok Tutur mempertegas pertanyaan yang tak terjawab tadi.
“Iya, Tur, awakku wis suren banget” terlihat muka mata yang berbinar.
Mbok Tutur terdiam sejenak menyesali peristiwa yang tadi. Kalau tahu akan terpeleset dan membuang makanan untuk suaminya yang tengah suren lebih baik tadi dititipkan pada Mbok Sumilah yang sama-sama hendak ke sawah untuk kirim. Ahhh, ini salahnya. Akhirnya ia berbicara apa adanya.
“Pak, maafkan Tutur ini. Aku tadi terjatuh di tanjakan batu sana. Semua makanan yang hendak kuberikan padamu tercecer lalu dimakan oleh bebek-bebek Pak Sardi.” Jawab Mbok Tutur dengan memeluk suaminya yang telah lunglai. Tak sadar air mata orang yang telah keriput itu tercecer ke ubun-ubun suaminya.
“Ya orapapa, Tur. Nyatane aku sing salah kenapa prentah ko ngirim ngene. Ngertia mau aku prentah Sandi sing jere lagi sekolah Daring. Uwis, Tur, orapapa. Esih ana budin kae jajal bakare” Jawab Pak Darsim meyakinkan Istrinya tidak salah.
Tanpa banyak basa-basi Mbok Tutur langsung mencari kayu bakar dan daun kering untuk dijadikan bahan bakar. Ia pun langsung mencabut budin yang ditanam suaminya. Ternyata budinnya masih muda dan kecil-kecil. Tapi, tak apalah daripada suaminya mati kelaparan di pematang sawah. Api telah menyala dan melahap seluruh kayu dan daun. Budin dimasukan dan mereka berdua menunggu dengan berkeluh kesah di gubuk sebelah sawah Juragan Edi.
“Pak, kepriwe parine wis siap panen?” Tanya Mbok Tutur penuh harap agar lumbungnya yang kosong sama sekali kembali terisi.
“Deleng dewek kae.” Jawab Pak Darsim setengah lemas.
Mbok Tutur hanya diam. Dia tidak tahu apa-apa mengenai padi, mengenai musim, dan mengenai iklim tanam. Apalagi sekarang mangsa Jawa sudah tak berlaku. Mereka semua bertanam dengan mangsa karep. Maksudnya para petani menanam sesuai dengan keinginan mereka sendiri tanpa banyak pertimbangan. Tapi ya seperti itu, banyak sekali gagal panennya. Karena sekarang musim tak menentu.
“Wis ko aja ngarep-arep pari kue. Dewek esih due wedus neng ngarep. Insya Allah Minggu ngarep wis bisa didol.” Jawab Pak Darsim yang mencoba menenangkan Mbok Tutur.
“Semoga bae bisa payu larang ya, Pak. Weduse kan wis gede-gede. Semoga dewek bisa nempur maning, Gusti.” Jawab Mbok Tutur setengah senang.
Tak sadar terdengar suara budin yang sudah masak. Lalu Mbok Tutur bergegas mengambil tongkatnya dan berjalan menuju bakaran tersebut untuk mencari budin yang telah tertimbun.
“Nah, kie budine. Waduh geseng kie. Semoga esih kena dipangan Bapak.” Mbok Tutur berkata sendiri.
Lalu ia bergegas menuju suaminya yang masih lunglai bersender pada bambu gubuk. Gubuk yang tak layak untuk digunakan untuk berteduh. Payonnya sudah berlubang semua. Bambunya sudah miring seperti hampir roboh. Tapi bagaimana lagi? Hendak membuat gubuk, nempur saja tak bisa. Suara jangkrik semakin mengentir menandakan sore sudah datang.
“Kie, Pak, budine. Malahan geseng rumpeng. Semoga si esih bisa dipangan.” Tunjuk Mbok Tutur pada Pak Darsim.
Tanpa diberi aba-aba Pak Darsim langsung melahap budin tersebut tanpa dikupas terlebih dahulu. Budin gosong yang penuh dengan arang. Giginya menjadi hitam seperti arang tadi. Tapi, ia tak peduli. Begitu lahap ia dalam mencerna budin tersebut. Ia seperti tak punya pikiran bahwa beban hidupnya sebenarnya masih banyak. Mbok Tutur hanya memfokuskan pandangan pada gigi hitam Pak Darsim dan tertawa-tawa tanpa beban. Mereka terlihat bahagia sekali, tertawa-tertawa tidak jelas. Tapi, sebenarnya kehidupannya suram penuh penantian. Tapi penantian pada tumbuhan tak aka nada ujungnya.
Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H