"Terkadang kita hanya bersyukur ketika sembuh, dan lupa ketika kambuh, namun ia yang membuatmu pulih tak pernah kau alih"
"Banyak cerita yang mungkin tak bisa diceritakan semuanya, ada banyak cerita yang tak bisa diungkapkan faktanya, banyak pengorbanan yang tak terlihat oleh mata, namun dirasakan manfaatnya."
Digaris depan yang terdepan : berbayang tak terawang
Mungkin banyak dari kita yang pernah bertanya tentang apa cita cita kamu besar nanti? Kita tak jarang mendengar bahwasannya anak-anak ingin bercita-cita menjadi seorang dokter, ini adalah hal yang lumrah, mungkin ini dipengaruhi oleh bagaimana ia melihat sosok dokter itu, dipandangannya, dokter adalah sosok pahlawan nan pemberani, tak takut apapun, suka menolong dan banyak hal lainnya. Di dalam bayangannya, dokter adalah orang yang sangat spektakuler, ia rela berkorban apapun demi menyelamatkan nyawa orang lain, tak terlepas dari prinsip anak- anak yang sering berimajinasi, menjadikan dokter adalah pilihan yang sangat tepat untuk dicita-citakan oleh anak-anak. Oleh karena itu kita harus mengetahui perjalanan seorang pahlawan yang sangat diidolakan oleh anak-anak ini.
Kisah ini dimulai di kota Padang, tahun 1946. Anak dari keluarga biasa (Miskin) yang punya mimpi yang tidak biasa, ingin jadi dokter katanya. Ia bernama lengkap Dr. Lie Augustinus Dharmawan, namun sejak kecil, ia dikenal dengan nama Lie Tek Bie. Ia lahir di Kota Padang pada tanggal 16 April 1946. Ayahnya bernama Lie Goan Hoey, sedangkan ibunya bernama Pek Leng Kiau, yang akrab dipanggil Julita Diana.
Dr. Lie Augustinus Dharmawan menempuh pendidikan dasar di SD Ying Shi, Padang. Setelah lulus SD, ia melanjutkan pendidikannya di SMP Katolik Pius. Kemudian untuk jenjang sekolah menengah atas, Lie Dharmawan bersekolah di SMA Don Bosco yang juga terletak di kota Padang.
Dr. Lie Augustinus Dharmawan lahir di tengah situasi kerusuhan antara Tentara Republik Indonesia dan Belanda. Karena konflik tersebut, Dr. Lie Augustinus Dharmawan dan keluarganya terpaksa mengungsi demi keselamatan. Dalam silsilah keluarganya, ia adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Saat dalam pelarian, salah satu adiknya yang berusia lima tahun menderita disentri angkut dan ia meninggal karena penanganan yang terlambat oleh tenaga medis pada masa itu. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1956, ayah Dr. Lie Augustinus Dharmawan juga menyusul kepergian adiknya itu.
kejadian menyedihkan dalam hidupnya itu membentuk tekad Dr. Lie Augustinus Dharmawan untuk menjadi seorang dokter hebat. Dalam perjalanan meraih cita-citanya, ia menghadapi berbagai rintangan, termasuk dipandang sebelah mata serta ditertawakan oleh orang-orang sekitarnya karena mimpi yang dianggap ketinggian, diskriminasi ras yang sangat kuat pada masa itu, dan kesulitan dalam ekonomi, mengingat bahwa Dr. Lie Augustinus Dharmawan bukan dari keluarga yang berada. Namun, semua tantangan ini tidak mengurangi semangatnya untuk mencapai impian besarnya untuk menjadi seorang dokter hebat. Karena masalah ekonomi, Dr. Lie Augustinus Dharmawan pun berusaha bekerja serabutan untuk mengumpulkan biaya kuliah dan untuk membiayai adik adiknya. Tekadnya yang kuat membawanya terbang jauh ke Negri orang Deutschland (Jerman) pada usia 21 tahun, kuliah kedokteran di Freie University, Berlin dengan cara menabung dan dibantu oleh sang kakak. Di negeri orang, ia banting tulang tak kenal lelah untuk ilmunya, Selama studi di Jerman, ia bekerja sebagai kuli bongkar muat barang dan di panti jompo untuk membiayai kuliahnya, kerja sambilan ini ia ambil untuk bertahan hidup demi gelarnya. Karena prestasinya yang gemilang, ia mendapatkan beasiswa, beasiswa inilah ia gunakan untuk menyekolahkan adik-adiknya. Ia bercerita disalah satu stasiun televisi bahwa ia sempat berkuliah di Eureka Universitas Republika, namun, baru beberapa hari menimba ilmu disana, Universitasnya dibakar massa.
“Kalau kamu jadi dokter jangan memeras orang kecil, mereka akan bayar Kamu, tapi mereka menangis di rumah, karena mereka gak punya uang untuk beli beras” Dr. Lie Agustinus Dharmawan
Singkat cerita, setelah sepuluh tahun berjuang di Jerman, akhirnya Dr. Lie Augustinus Dharmawan menuai hasil dari usahanya. Ia lulus dengan membawa 4 (Empat) gelar spesialis: ahli bedah umum, ahli bedah toraks, ahli bedah jantung, dan ahli bedah pembuluh darah. Setelah menyelesaikan studinya itu ia mendapatkan gelar Dr. Lie Agustinus Dharmawan, Ph.D, Sp.B, Sp.BTKV
Dalam kehidupan pribadinya, Dr. Lie Dharmawan membangun rumah tangga bersama Tan Lie Tjhoen yang juga dikenal dengan nama Listijani Gunawan. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga orang anak yaitu Lie Mei Phing, Lie Ching Ming, dan Lie Mei Sing. Tak melupakan cita-citanya, Dr. Lie Augustinus Dharmawan kembali ke Indonesia bersama istri dan anaknya, memulai segalanya dari awal lagi. Namun, pada tahun itu masih banyak diskriminasi Ras, ia mengalami banyak penolakan. Untuk mengatasi masalah tersebut, Dr. Lie Augustinus Dharmawan mengubah namanya dari Lie Tek Bie menjadi Lie Agustinus Dharmawan. Dengan langkah ini, ia perlahan diterima oleh masyarakat dan kembali membangun karirnya di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, Dr. Lie Augustinus Dharmawan mencapai berbagai prestasi dalam dunia kedokteran. Salah satunya adalah operasi jantung terbuka pertama yang dilakukannya di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Prestasi lain yang paling diingat masyarakat adalah pendirian rumah sakit apung gratis pertama di Indonesia.
Di Indonesia dengan gelar dokter bedahnya, hatinya tak kuasa dan tergerak melihat saudara saudara kita di pulau-pulau terpencil yang susah mendapatkan pengobatan yang murah. Dr. Lie Augustinus Dharmawan, ia sering disebut (dijuluki) Dokter gila oleh orang-orang, karena mimpi gilanya itu, yaitu ingin berlayar menggunakan sebuah kapal untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, ia rela menjual rumah nya hanya untuk sebuah kapal dan pegangan uang sekedar untuk, bisa berlayar menolong banyak orang, Tepat pada tahun 2013, ide besar dan gilanya terwujud, bermula dari sebuah kapal kayu kecil, yaitu dengan mendirikan rumah sakit di atas kapal, yang kemudian dikenal sebagai RSA Dr. Lie Dharmawan, yaitu rumah sakit terapung (floating hospital).
“saya menemukan definisi gila dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyakit gila yang saya idap ini adalah suatu penyakit yang agak jarang dan aneh, merujuk kepada orang atau seseorang yang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan arus dan itu dilakukan dengan sungguh sungguh dengan sepenuh tenaga dengan segenap daya, namun secara medis saya tidak gila” Dr. Lie Agustinus Dharmawan
Awal mula Ide untuk mendirikan rumah sakit apung ini muncul ketika Dr. Lie Augustinus Dharmawan merasa sangat prihatin melihat seorang ibu dari pulau K bersama anaknya yang berusia sembilan tahun yang memiliki penyakit hernia surgery (Usus terjepit), secara medis usus yang seperti ini harus ditangani dalam tempo 6-8 jam harus sudah dibebaskan, jika tidak maka usus ini akan pecah dan mengakibatkan kematian, namun karna pertolongan dari yang maha kuasa, membuat anak tersebut bisa bertahan hidup diluar batas waktu yang diperkirakan. anak dan ibu ini mencari pengobatan selama tiga hari dua malam menggunakan transportasi laut dari Saumlaki menuju pulau K. Karna merasa iba dan merasa senasib Dr. Lie Augustinus Dharmawan bersama rekan-rekannya dari yayasan dokter peduli (doctorShare), mendirikan RSA Dr. Lie Dharmawan, yang diresmikan pada 16 Maret 2009 dan beroperasi pada tahun 2013.
"Saya tidak pernah memikirkan berapa banyak uang yang bisa saya dapatkan dari menolong orang. Yang saya pikirkan adalah berapa banyak nyawa yang bisa saya selamatkan hari ini." Dr. Lie Agustinus Dharmawan
Perlayaran pertama Dr. Lie Dharmawan bersama rekan timnya yaitu Kepulauan seribu, belitung, bangka tengah, pontianak, ketapang, bali, labuan bajo ntt, maluku, dan pada tahun itu sudah membantu 1500 pasien. Pak Lie Dharmawan menghabiskan hidupnya berlayar ke pulau-pulau terpencil Indonesia. Setiap hari, ia bangun pagi-pagi, menyiapkan peralatan medis di kapal yang juga jadi rumah sakit beserta rumah kecilnya itu. Kadang, saat ombak tinggi nan ganas dan cuaca buruk tak terhenti, ia tetap saja berlayar. "Yang sakit tak bisa menunggu," begitu kira-kira prinsipnya.
“Kami punya prinsip, yang tidak punya privileg untuk mendapatkan pertolongan medis yang adekuat (Memadai) saya mau melakukan suatu usaha jemput bola, kalau mereka gak bisa didatangkan kemari, Kenapa bukan kita yang kesana.” Dr. Lie Agustinus Dharmawan
Di dalam kapal itu, Pak Lie menolong tanpa melihat bulu, siapa saja yang butuh pertolongannya ia bantu. Dari nelayan yang tangannya terluka karena kail ikan, ibu hamil yang mau melahirkan, sampai anak kecil yang demam tinggi. Bayarannya? Ah sudahlah, ia tidak pernah mematok harga. Bahkan ia juga sering menggratiskan untuk masyarakat yang tidak mampu.
Jarang ada yang tahu tentang dokter yang satu ini. Media sangat jarang meliputnya. Tapi setiap pelabuhan yang ia singgahi, orang-orang selalu mengenalnya sebagai "dokter baik diatas kapal” Dari Maluku sampai Papua, kapal putihnya terus berlayar menembus badai dan ombak besar.
Kadang dana nya tipis, peralatan yang terbatas, tapi semangatnya seperti ombak Samudra yang tak pernah berhenti. Bagi Pak Lie, senyum bahagia pasien yang sembuh adalah bayaran paling mahal dan berharga.
Sampai suatu hari di tahun 2021, Pak Lie menghembuskan nafas terakhirnya di atas kapal , tempat dimana ia mengobati pasiennya, Bersamaan disaat ia sedang menolong pasiennya. Baru setelah kepergiannya itu orang mulai bicara tentang jasanya. Tapi bagi ia, yang terpenting bukan lah suatu nama besar, melainkan berapa banyak orang yang bisa dibantu dan terbantu, sembuh dan tersenyum lebar.
Seperti bayangan yang terlihat, tapi tidak terterawang, mungkin itulah ia ,orang yang layak untuk disebut Pahlawan bangsa Dr. Lie Dharmawan, tokoh hebat yang Indonesia punya, tanpa nama besar, namun pengabdian yang begitu besar, tanpa memperkenalkan, ia sudah sangat terkenal.
"kami meyakini bahwa kita ini hidup oleh kasih yang sudah kita terima terlebih dahulu dari Tuhan, cinta dan kasih inilah yang mau kita bagikan, Ketika kita menyisakan Sebagian dari uang kita, ketika kita menyisahan sebagian dari waktu kita, ketika kita menyisahkan sebagian atau menyumbangkan sebagian dari kepandaian kita untuk orang-orang yang tidak punya privilege untuk mendapatkan pertolongan, Katakanlah di dalam hal ini khususnya di bidang medis, hati kita akan berbunga-bunga melihat betapa banyak air mata kegembiraan mengalir ketika anaknya, suaminya, istrinya, Ibunya dan lain-lainnya menjadi sembuh, inilah yang menjadi inspirasi bagi kami, inilah yang menjadi motivasi dan sumber energi yang selalu terbarukan ketika mengingat bahwa, kasih itu sesuatu yang indah dan karena kasih itulah kita hidup dan itulah yang mau kami bagikan." Dr. Lie Agustinus Dharmawan
Dr. Lie Augustinus Dharmawan telah meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia. Sosoknya mungkin tak sepopuler pahlawan-pahlawan yang sering kita dengar, namun jejak pengabdiannya terukir begitu dalam di hati masyarakat pesisir dan pulau-pulau terpencil Indonesia. Melalui Rumah Sakit Apung yang ia rintis, ribuan nyawa telah terselamatkan. Filosofi hidupnya yang mengutamakan pelayanan di atas keuntungan materi menjadi teladan bagi generasi dokter masa kini. Kepergiannya di atas kapal - tepat saat sedang menjalankan tugas mulianya - seolah menjadi simbol pengabdian sejati seorang dokter pada panggilan hidupnya. Di tengah era yang semakin materialistis, kisah Dr. Lie Augustinus Dharmawan mengingatkan kita bahwa kemanusiaan dan pengabdian tulus adalah nilai yang tak lekang oleh waktu. Ia membuktikan bahwa untuk menjadi pahlawan, yang dibutuhkan bukanlah nama besar atau pengakuan publik, melainkan kesediaan untuk memberikan yang terbaik bagi sesama, sepenuh hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI