Mohon tunggu...
Muhammad Alif Syahroni
Muhammad Alif Syahroni Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

dibilang orang ganteng

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Strategi Integrasi dalam Komunikasi Multibahasa

30 Juni 2024   13:46 Diperbarui: 30 Juni 2024   13:49 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Strategi Integrasi dalam Komunikasi Multibahasa

Muhammad Alif Syahroni
Vera Sardila
Program studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Abstrak
Pokok masalah yang diajukan pada artikel ini adalah perlunya meninjau kembali posisi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan untuk menentukan model pendidikan dan pengajaran bahasa di Indoneisa. Masalah tersebut didasarkan pada dua asumsi. Di satu sisi, bahasa sering dianggap sebagai bidang yang kurang penting apabila dibandingkan dengan bidang lain; di sisi lain, pendidikan dan pengajaran bahasa di Indonesia belum didasarkan pada potensi kedwibahasaan dan prinsip-prinsip literasi.
Pendahuluan
Artikel ini berkenaan dengan bagaimana bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing seharusnya diperlakukan atau diposisikan dari sudut pandang demokrasi bahasa. Untuk itu, perlu dilihat kembali kedudukan ketiga kelompok bahasa tersebut. Pada saat yang sama, untuk mendapatkan model pendidikan dan pengajaran bahasa yang cocok, juga perlu disimak kembali bagaimana ketiga kelompok bahasa itu diajarkan. 

Pokok masalah ini didasarkan pada dua asumsi fundamental. Pertama, bahasa sering dianggap sebagai bidang yang periperal apabila dibandingkan dengan bidang lain. Kedua, pendidikan dan pengajaran bahasa di Indonesia yang multikultural dan multilingual ini belum didasarkan pada potensi kedwibahasaan dan prinsip-prinsip literasi.

Pembahasan
Pada kelompok pertama, sebagai bahasa nasional di Indonesia dan sebagai alat komunikasi secara luas sekaligus, Bahasa Indonesia digunakan sebagai media pengajaran di semua tingkat pendidikan, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Selain itu, Bahasa Indonesia juga diajarkan sebagai mata pelajaran selama 6 tahun di sekolah dasar, 3 tahun di sekolah lanjutan pertama, 3 tahun di sekolah lanjutan atas, dan setidaknya satu tahun di perguruan tinggi (kecuali di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, bahasa ini dalam berbagai bentuk diajarkan di sepanjang program). 

Secara historis, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai media pengajaran tidak dapat dilepaskan dari pemilihan bahasa ini sebagai bahasa nasional ketika dikumandangkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 Untuk pembentukan bangsa, pemilihan itu menguntungkan, meskipun mengesampingkan peranan bahasa-bahasa daerah besar seperti bahasa Jawa dan Sunda (Alisyahbana, 1984a: 48) dalam mewariskan sastra dan kebudayaan.


Pada kelompok kedua, bahasa-bahasa daerah yang berjumlah lebih dari 500 buah digunakan sebagai alat komunikasi di masyarakat pendukung bahasa-bahasa itu, tetapi tidak semua bahasa itu digunakan sebagai media pengajaran, kecuali hanya di daerah-daerah dengan siswa yang belum siap untuk menggunakan Bahasa Indonesia sampai tahun ketiga di sekolah dasar. 

Bahasa-bahasa daerah yang mempunyai peranan penting dalam tradisi dan seni diajarkan sebagai mata pelajaran dari sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama/atas. Demikian juga, di Jurusan Bahasa Daerah, bahasa daerah diajarkan di universitas di sepanjang program.

Pada kelompok terakhir, bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah lanjutan pertama selama 3 tahun, di sekolah lanjutan atas 3 tahun, dan di universitas 1 tahun. Akan tetapi, di jurusan bahasa asing, misalnya Bahasa Inggris, bidang ini, dalam berbagai bentuk diajarkan di sepanjang program. Meskipun Bahasa Inggris tidak digunakan sebagai alat komunikasi di masyarakat, bahasa tersebut diajarkan sebagai mata pelajaran wajib di semua tingkat pendidikan di atas, kecuali di sekolah dasar.

Kenyataan lain yang perlu dikemukakan terlebih dahulu adalah bahwa pelaksanaan pendidikan bahasa menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional, tetapi di pihak lain Pusat Bahasa lah yang memiliki kepedulian besar terhadap perkembangan bahasa Indonesia dan daerah (tidak termasuk bahasa asing). 

Namun demikian, di luar harapan bahwa kedua lembaga ini tidak selalu membuat kebijakan kebahasaan yang saling menunjang. Sebagai contoh, Departemen Pendidikan Nasional belum mengganggap bahasa sebagai bidang yang penting dibandingkan dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi Pusat Bahasa menganggap bahwa bahasa merupakan bidang yang sangat penting sehingga seakan-akan lembaga ini mengarahkannya dengan melakukan interferensi melalui standarisasi. 

Dengan interferensi ini, sering dikatakan bahwa bahasa Indonesia tidak berkembang secara wajar dalam hal dinamika fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantiknya. Terbukti bahwa Pusat Bahasa menolak pengaruh dari bahasa daerah atau bahasa asing, meskipun lembaga ini sulit membendung pengaruh tersebut.

Sebagai akibat dari kondisi di atas, pelaksanaan pendidikan ketiga kelompok bahasa tersebut saling berkompetisi dalam hal pembentukan identitas nasional di satu sisi dan kebijakan pemerintah di sisi lain. Pendidikan Bahasa Indonesia diarahkan untuk kepentingan nasional, dan pada saat yang sama, bahasa-bahasa daerah diajarkan sebagai mata pelajaran terutama untuk melestarikan budaya lokal (meskipun hanya bersifat superfisial), sedangkan bahasa asing ditempatkan sebagai sarana instrumental.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Pusat Bahasa memiliki peranan yang besar, tetapi memberikan tekanan yang kuat pada bahasa Indonesia dan sedikit memberikan perhatian pada bahasa daerah atau bahasa asing menimbulkan dampak yang tidak kecil pada pengajaran bahasa. Di satu pihak, meskipun Departemen Pendidikan Nasional bertanggungjawab pada pelaksanaan pendidikan bahasa di negara ini, karena departemen ini tidak menganggap bahasa sebagai bidang yang penting di kurikulum sekolah, kebijakan yang dibuat pun belum dapat mengatasi dampak tersebut.

Dampak yang paling menonjol adalah bahwa kurikulum nasional harus berisi Bahasa Indonesia standar, dan dalam pelaksanaannya, target ambisius dicanangkan agar penutur

Bahasa Indonesia dapat menggunakannya secara baik dan benar di berbagai ranah. Dampak berikutnya adalah bahasa-bahasa daerah secara praktis terabaikan. Bahasa-bahasa ini, terutama beberapa bahasa daerah yang mempunyai penutur dalam jumlah besar, hanya digunakan secara lokal. Pada masyarakat yang multicultural dan multilingual, tidaklah pada

tempatnya untuk tidak memposisikan dan mempromosikan bahasa-bahasa daerah dengan cara yang sama seperti memperlakukan Bahasa Indonesia. 

Memang betul bahwa sudah sering disepakati bahwa bahasa-bahasa daerah harus dilestarikan untuk mendukung kebudayaan lokal, tetapi tindakan yang nyata untuk menempatkan bahasa daerah dalam kerangka pendidikan bahasa yang terencana secara keseluruhan tidak pernah dilakukan. 

Demikian pula, dampak negatif juga dialami oleh bahasa-bahasa asing di negara ini. Bahasa-bahasa ini ditempatkan di kurikulum hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan intrumental, terutama untuk memenuhi keperluan pasar kerja. Keindahan sastra dan kesaling mengertian budaya asing melalui pengajaran bahasa asing jarang tersentuh, kecuali di jurusan bahasa asing di perguruan tinggi.

Dalam hal demokrasi kebahasaan, cara penempatan ketiga kelompok bahasa tersebut menimbulkan diskriminasi linguistik. Dengan meminjam istilah Philipsons (1992), karena cara penempatan tersebut memungkinkan terciptanya kondisi yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang superior dan kedua kelompok bahasa yang lain dikesampingkan, "imperialisme linguistik" sedang terjadi di negeri ini. 

Lagi pula, karena kebijakan bahasa lebih banyak diarahkan untuk kepentingan identitas nasional, keadaan ini juga mendorong terciptanya kondisi yang memungkinkan para penguasa negara di tingkat elite melakukan indoktrinasi ideologi dengan menyalahgunakan pemakaian bahasa, seperti membelokkan makna dengan memanfaatkan eupemisme.

Dengan melihat kenyataan di atas, perlu diargumentasikan bahwa dalam hal pendidikan kebahasaan, ketiga kelompok bahasa tersebut harus diajarkan secara seimbang. Dalam konteks penggunaan bahasa di berbagai ranah, termasuk rahan pemerintahan, tidak saja "demokrasi linguistik" yang perlu diketengahkan (Santosa, 1998a) di berbagai aspek kehidupan, tetapi juga kesadaran berbahasa secara penuh, termasuk dalam pendidikan dan pengajaran bahasa (van Lier, 1995: 98) untuk menempatkan ketiga kelompok bahasa tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Penutup
Pada artikel ini telah dipaparkan sebuah model pendidikan bahasa yang mempertimbangkan ketiga kelompok bahasa tersebut sebagai media pengajaran, tidak sebatas sebagai mata pelajaran. 

Untuk melengkapi model tersebut, telah disarankan untuk menerapkan pengajaran bahasa yang memadukan kandungan materi ke dalamnya. Penerapan model pendidikan dan pengajaran bahasa seperti itu ternyata telah mempraktekkan pelaksanaan pengembangan literasi yang mengedepankan fungsi masing-masing bahasa yang ada di Indonesia.

Daftar Pustaka
Alisyahbana, S.T. (1984a). "The Problem of Minority Languages in the Overall Linguistic Problems of Our Time". In Coulmas, F. Linguistic Minorities and Literacy. Berlin: Mouton Publishers
Phillipsons, R. (1992). Linguistic Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
Santosa, R. (1998a). "Language Democratisation Needs More Understanding", The Jakarta Post, July 13, 1998.
Van Lier, L. (1995). Introducing Language Awareness. London: Penguin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun