Mohon tunggu...
Muhammad Alif Dermawan
Muhammad Alif Dermawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bermain Game

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

The Politic Of The Urban Poor: Studi Kasus Kebijakan Pemerintahan Negara Malaysia dan Filipina Terhadap Masyarakat Miskin Kota

31 Desember 2024   21:43 Diperbarui: 31 Desember 2024   21:56 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Output kajian dalam makalah ini membandingkan bentuk kesamaan sistem politik yang dikorelasikan dengan efektivitas kebijakan ekonomi yang diaplikasikan di dua negara berbeda, tepatnya Malaysia dan Filipina. Subjek kajian adalah penanganan terkait persoalan masyarakat miskin perkotaan, atau urban poor, berdasarkan tiga aspek utama: kepemilikan lahan, infrastruktur dan layanan fisik, serta suara masyarakat dan pemberdayaan. Analisis yang dilakukan terhadap persoalan tersebut direlevansikan atas teori ekonomi institusional dan teori demokrasi, melalui kerangka teori tersebut ditunjukkan bahwa pendekatan dan hasil kebijakan kedua negara ini terhadap masyarakat miskin kota sangat berbeda. Melalui teori demokrasi Robert Dahl menjelaskan dengan mengatakan bahwa demokrasi bukan hanya sebuah sistem politik yang memungkinkan masyarakat untuk memilih pemimpin mereka sendiri, tetapi juga sebuah cara untuk mengontrol negara dan menuntut orang untuk bertanggung jawab. Karena mereka adalah kelompok masyarakat yang paling membutuhkan perlindungan dan akses terhadap layanan dasar, oleh karenanya partisipasi politik menjadi penting dalam masyarakat miskin terkhusus dalam konteks perkotaan. Ketika demokrasi berjalan dengan baik, masyarakat miskin kota dapat menyuarakan kebutuhan mereka dan mengharapkan tindakan proaktif yang efektif dari pemerintah.

Dalam konteks Malaysia, demokrasi yang relatif stabil dan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, tercermin dalam kebijakan yang inklusif, seperti perumahan dan layanan kesehatan bagi penduduk miskin kota. Malaysia sangat terbuka untuk partisipasi masyarakat, terutama melalui program pemberdayaan lokal, yang memberikan lebih banyak redistribusi pendapatan melalui subsidi sosial bagi penduduk miskin kota. Sebaliknya Filipina, menunjukkan sisi lain dari teori demokrasi: meskipun memungkinkan partisipasi yang tinggi, kebijakan tidak selalu memenuhi kebutuhan penduduk miskin kota. Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan ini adalah bahwa stabilitas politik terganggu oleh kepentingan elit dan institusi yang tidak cukup kuat. Dalam demokrasi yang masih dianggap lemah, seperti Filipina, partisipasi politik yang tinggi tidak mungkin terjadi tanpa kebijakan yang benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat urban yang miskin. Demokrasi yang responsif membutuhkan struktur institusional yang kuat agar mampu menerjemahkan tuntutan masyarakat urban yang miskin.

Melalui pandangan teori ekonomi institusional, Kebijakan kesehatan gratis dan program Rumah Mesra Rakyat adalah bentuk contoh organisasi yang kuat di Malaysia. Institusi yang stabil di Malaysia memungkinkan kolaborasi antara sektor publik dan swasta, yang turut mendukung berbagai program pemberdayaan bagi masyarakat miskin kota, seperti yang terjadi di Kedah. Kebijakan-kebijakan ini juga memastikan bahwa pemerintah mampu mengimplementasikan kebijakan yang berkelanjutan dan efektif. Sebaliknya, terdapat persoalan institusional di Filipina yang menghambat penerapan kebijakan ekonomi yang konsisten dan inklusif. Dalam konteks Filipina, sangat sulit untuk mengatasi kemiskinan perkotaan secara menyeluruh, bahkan dengan adanya program seperti 4PH. Ketidakcukupan infrastruktur dan layanan dasar menjadi masalah besar karena lemahnya lembaga yang mengatur alokasi dana, regulasi tanah, dan pengembangan perumahan terjangkau. Akibatnya, kebijakan seringkali berfokus pada solusi jangka pendek dan mengabaikan masalah utama yang dihadapi penduduk miskin kota, seperti akses terhadap pekerjaan yang layak atau kepemilikan tanah yang aman.

Melalui penggambaran sebelumnya tidak heran bila korelatifitas data terkait indeks demokrasi di Malaysia cenderung lebih baik dari Filipina. Malaysia menempati persentase 7,3% sedangkan Filipina tertahan pada angka 6,73. Tidak sampai disitu dilanjutkan perbandingan antara Malaysia dan Filipina juga ditemukan perbedaan yang signifikan dalam konteks index perekonomian. Kesejahteraan yang tergambarkan melalui hasil data yang ditemukan. GDP/PDB index perekonomian Malaysia berada di atas Filipina dengan persentase angka 372,98 dibandingkan dengan Filipina yang stagnan pada angka 348,26. Bentuk efektivitas implementasi kebijakan ekonomi dalam masyarakat perkotaan juga harus dibuktikan dengan rendahnya

kesenjangan kesejahteraan sosial yang terjadi. Berangkat dari hal tersebut Malaysia juga menempati persentase yang signifikan dengan gini index 41,10 dibandingkan dengan Filipina yang harus puas pada persentase 29,60. Oleh karena itu melalui teori ekonomi institusional dan demokrasi menekankan bahwa keberhasilan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat miskin kota, membutuhkan sinergi antara responsivitas politik dan stabilitas institusional. Jika demokrasi tidak memiliki institusi yang kuat, kepentingan elit dapat memperburuk ketidaksamaan. Sebaliknya, ketika institusi tidak kuat dan tidak terlibat dalam politik, kebijakan akan tidak responsif atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari perspektif ini, Malaysia menunjukkan bagaimana demokrasi yang kuat dan institusi yang stabil dapat mendukung kebijakan yang responsif dan efektif bagi masyarakat kota miskin. Program yang inklusif dan kolaboratif yang melibatkan sektor publik dan swasta menunjukkan pendekatan yang seimbang antara demokrasi dan ekonomi institusional. Sementara itu, Filipina menghadapi tantangan dalam memperkuat institusinya untuk mewujudkan demokrasi yang bukan sekadar paritas.

Kita memahami bahwa keberhasilan kebijakan di negara berkembang tidak hanya bergantung pada demokrasi dan sistem politik, tetapi juga pada kekuatan institusi yang mendukung kebijakan. Sangat penting bagi demokrasi dan institusi yang kuat untuk mendorong kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan, terutama dalam hal menangani kemiskinan perkotaan. Hasil ini menjadi pelajaran penting bagi negara-negara berkembang lainnya bahwa pembaruan demokratisasi dan penguatan institusi harus dilakukan bersama-sama agar kebijakan publik dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara menyeluruh dan efektif. Meskipun kedua negara tersebut menggunakan sistem politik yang sama yakni demokrasi. Namun dikarenakan memiliki kompleksitas persoalan dan tata kelola yang berbeda maka akan berimplikasi pada output yang berbeda pula, terkhusus dalam hal ini secara substansial ditujukan pada keberdampakan sistem demokrasi terhadap efektivitas perkembangan perekonomian masyarakat miskin kota.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun