Negara-negara yang terlibat dalam konflik di Laut China Selatan menerapkan berbagai doktrin dan strategi militer untuk melindungi kepentingan nasional mereka. Republik Rakyat Cina (RRC), sebagai aktor dominan, mengadopsi doktrin militer yang berfokus pada pertahanan aktif dan penguatan kekuatan proyeksi. Cina telah membangun sejumlah pangkalan militer di pulau-pulau yang diklaimnya, seperti di Kepulauan Spratly, untuk memperkuat kehadiran militernya dan mencegah ancaman terhadap wilayahnya. Melalui strategi ini, Cina tidak hanya mempertahankan klaim teritorialnya tetapi juga berusaha mencapai posisi hegemoni di kawasan. Doktrin Xi Jinping menekankan pentingnya penggunaan semua kemampuan yang ada, termasuk kekuatan militer dan ekonomi, untuk mencapai kepentingan nasional, bahkan jika itu berarti harus berkonfrontasi dengan negara lain seperti Amerika Serikat.
 Di sisi lain, negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia juga mengembangkan strategi militer mereka sendiri dalam menghadapi ketegangan di Laut China Selatan. Filipina, misalnya, telah meningkatkan kerjasama militer dengan Amerika Serikat melalui perjanjian seperti Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA), yang memungkinkan akses lebih besar bagi pasukan AS ke pangkalan militer Filipina. Vietnam mengandalkan kekuatan angkatan lautnya yang terus diperkuat untuk melindungi klaim atas Kepulauan Spratly dan Paracel, serta melakukan latihan militer secara rutin untuk menunjukkan ketahanan terhadap tekanan dari Cina. Malaysia, meskipun lebih berhati-hati dalam pendekatannya, juga meningkatkan kehadiran angkatan lautnya di wilayah tersebut guna melindungi kepentingan sumber daya alamnya. Dengan demikian, setiap negara terlibat dalam pengembangan doktrin dan strategi militer yang mencerminkan kebutuhan keamanan nasional mereka dan respons terhadap dinamika geopolitik yang kompleks di Laut China Selatan.
BAB IIÂ
PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan
 Mekanisme resolusi konflik di Laut China Selatan melibatkan beberapa pendekatan, termasuk dialog bilateral, mediasi internasional, dan implementasi hukum laut internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Dialog bilateral menjadi salah satu cara utama yang digunakan oleh negara-negara yang terlibat untuk menyelesaikan sengketa. Misalnya, Malaysia dan Cina telah sepakat untuk mengatasi masalah di Laut China Selatan melalui jalur dialog, dengan fokus pada kerjasama dan penyelesaian masalah secara mandiri. Pertemuan antara pemimpin kedua negara menunjukkan komitmen untuk membangun hubungan bilateral yang lebih kuat dan mengedepankan penyelesaian masalah melalui upaya diplomatik. Selain itu, dalam KTT ASEAN, para pemimpin juga menekankan pentingnya penyelesaian sengketa melalui dialog dan menghormati konvensi internasional seperti UNCLOS, yang memberikan kerangka hukum untuk mengatur hak-hak maritim di kawasan tersebut.
 Di samping dialog bilateral, mediasi internasional juga menjadi bagian dari upaya penyelesaian konflik. Negara-negara seperti Indonesia berperan aktif dalam mendorong pembentukan mekanisme mediasi yang lebih efektif di tingkat regional untuk menangani sengketa di Laut China Selatan. Hal ini mencakup penguatan kerjasama dalam implementasi UNCLOS dan penghormatan terhadap hak-hak kedaulatan negara-negara pesisir. Dengan adanya kerangka hukum internasional yang jelas, diharapkan negara-negara yang terlibat dapat menemukan solusi damai dan berkelanjutan untuk konflik yang ada. Namun, tantangan tetap ada, terutama terkait dengan ketidakpastian situasi di lapangan dan tindakan agresif yang dilakukan oleh beberapa pihak, seperti insiden-insiden antara kapal-kapal penjaga pantai Cina dan Filipina yang menunjukkan bahwa meskipun ada upaya dialog, ketegangan masih sering terjadi.
 Evaluasi efektivitas diplomasi maritim dalam mengatasi konflik di Laut China Selatan menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa kemajuan, tantangan tetap ada. Diplomasi maritim, melalui dialog bilateral dan multilateral, telah berperan dalam menciptakan forum bagi negara-negara yang terlibat untuk mendiskusikan klaim dan kepentingan mereka. Misalnya, pertemuan antara Cina dan Filipina pasca-keputusan arbitrase internasional menunjukkan upaya untuk membangun kesepakatan bersama dalam pengelolaan sumber daya di Laut China Selatan. Namun, meskipun ada inisiatif seperti latihan militer bersama dan perjanjian maritim regional yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama, ketegangan masih sering muncul akibat tindakan agresif dari beberapa negara, terutama Cina, yang terus memperkuat kehadiran militernya di wilayah yang dipersengketakan.
 Di sisi lain, diplomasi maritim juga menghadapi hambatan signifikan yang menghambat efektivitasnya. Perbedaan kepentingan nasional dan pendekatan yang berbeda terhadap isu-isu seperti penangkapan ikan ilegal dan klaim teritorial seringkali menyebabkan ketidakpastian dan ketegangan. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan komunikasi dan transparansi antar negara, tindakan sepihak seperti pembangunan pulau buatan oleh Cina telah memperburuk situasi. Oleh karena itu, meskipun diplomasi maritim memiliki potensi untuk meredakan ketegangan, hasilnya masih bervariasi tergantung pada komitmen politik negara-negara yang terlibat dan dinamika geopolitik yang lebih luas di kawasan.
 Konflik di Laut China Selatan memiliki implikasi yang signifikan baik pada tingkat regional maupun global, mempengaruhi dinamika geopolitik di Asia-Timur dan keamanan maritim secara keseluruhan. Di tingkat regional, ketegangan antara negara-negara yang terlibat---seperti Republik Rakyat Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei---dapat menyebabkan insiden militer yang tidak diinginkan dan meningkatkan risiko konflik bersenjata. Selain itu, wilayah ini merupakan jalur perdagangan maritim yang penting, dengan sekitar $5 triliun perdagangan global melintasi perairan tersebut setiap tahunnya. Gangguan terhadap lalu lintas maritim akibat konflik dapat berdampak negatif terhadap perekonomian lokal dan regional. Persaingan atas sumber daya alam juga dapat mengganggu kerja sama regional dan memperburuk kerusakan lingkungan laut, seperti kerusakan terumbu karang dan hilangnya keanekaragaman hayati.
 Di tingkat global, konflik ini menarik perhatian negara-negara besar seperti Amerika Serikat, yang berkomitmen untuk menjaga kebebasan navigasi di kawasan tersebut. Intervensi asing ini dapat memperumit situasi dan meningkatkan ketegangan, dengan potensi dampak terhadap tatanan geopolitik global. Selain itu, degradasi lingkungan laut di Laut China Selatan dapat mempengaruhi ekosistem secara global, berdampak pada rantai makanan laut dan stabilitas lingkungan. Dengan demikian, stabilitas keamanan di Laut China Selatan sangat penting untuk stabilisasi logistik internasional; eskalasi ketegangan di kawasan ini dapat mengganggu lalu lintas logistik global dan berdampak negatif pada perekonomian dunia.