Mohon tunggu...
MUHAMMAD AL DARREL
MUHAMMAD AL DARREL Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa Aktif

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Keamanan Maritim Diplomatik di Laut China Selatan: Tantangan atau Peluang

17 Desember 2024   23:39 Diperbarui: 17 Desember 2024   23:39 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

BAB I 

PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan

Laut China Selatan telah menjadi pusat perhatian global dalam beberapa tahun terakhir, tidak hanya karena kekayaan sumber daya alamnya, tetapi juga karena kompleksitas konflik yang melibatkan klaim teritorial dari berbagai negara. Ketegangan ini melibatkan Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, yang masing-masing memiliki kepentingan strategis di kawasan tersebut. Konflik ini tidak hanya menciptakan tantangan bagi keamanan maritim, tetapi juga mempengaruhi hubungan diplomatik antara negara-negara yang terlibat. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana dinamika sengketa ini membentuk kebijakan luar negeri dan interaksi antarnegara di Asia Tenggara.

Sejak tahun 2010, sengketa di Laut China Selatan telah meningkat menjadi arena persaingan antara kekuatan besar, terutama antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Tindakan agresif Tiongkok dalam memperluas klaim wilayahnya telah memicu reaksi dari negara-negara tetangga dan meningkatkan ketegangan bilateral. Negara-negara ASEAN berusaha untuk mengelola hubungan ini melalui diplomasi multilateral dan dialog, namun seringkali terhambat oleh perbedaan kepentingan dan pendekatan masing-masing negara. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara kepulauan yang strategis memiliki peran penting dalam mempromosikan stabilitas dan keamanan di kawasan.

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam esai ini adalah bagaimana konflik di Laut China Selatan mempengaruhi hubungan diplomatik antara negara-negara yang terlibat. Dengan menganalisis dampak dari sengketa ini terhadap interaksi diplomatik, esai ini akan mengeksplorasi bagaimana negara-negara di kawasan berupaya merespons tantangan yang muncul sambil mencari peluang untuk kerjasama yang lebih konstruktif. Pendekatan diplomatik yang fleksibel dan kerja sama regional akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas dan menciptakan solusi damai bagi konflik yang berkepanjangan ini.

Dalam menghadapi tantangan ini, negara-negara di kawasan Laut China Selatan dihadapkan pada pilihan sulit antara mempertahankan kedaulatan nasional dan membangun kerjasama yang saling menguntungkan. Di satu sisi, ketegangan yang terus meningkat dapat mendorong negara-negara untuk memperkuat posisi militer mereka dan mengadopsi sikap defensif, yang pada gilirannya dapat memperburuk hubungan diplomatik dan meningkatkan risiko konflik. Disisi lain, ada peluang untuk menjalin dialog yang lebih konstruktif melalui forum-forum regional seperti ASEAN, yang dapat membantu meredakan ketegangan dan memfasilitasi penyelesaian sengketa secara damai. 

Dengan memanfaatkan pendekatan diplomasi yang inklusif dan kolaboratif, negara-negara di kawasan dapat menciptakan landasan untuk stabilitas jangka panjang, sekaligus memastikan bahwa kepentingan nasional mereka tetap terjaga. Esai ini akan menggali lebih dalam mengenai dinamika ini, serta bagaimana negara-negara dapat beradaptasi dalam menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada di Laut China Selatan.

1.2 Latar belakang

Konflik di Laut China Selatan (LCS) dimulai dari klaim teritorial yang kompleks dan berlarut-larut antara beberapa negara, terutama Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Klaim China atas wilayah ini didasarkan pada peta sembilan garis putus-putus yang dikeluarkan pada tahun 1947, yang menandakan hampir seluruh area di dalam garis tersebut sebagai bagian dari teritorialnya. Sejak dekade 1970-an, ketegangan meningkat seiring dengan perebutan sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi. Cina melakukan berbagai kegiatan militer, termasuk pembangunan fasilitas di pulau-pulau yang diklaimnya dan pengambilalihan Kepulauan Paracel dari Vietnam Selatan pada tahun 1974. Ketegangan ini semakin diperburuk oleh tindakan agresif China di Kepulauan Spratly dan klaim sepihak yang dilakukan oleh negara-negara lain. 

Dinamika konflik di LCS semakin rumit dengan keterlibatan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, yang berupaya menjaga kebebasan navigasi dan mendukung sekutunya di kawasan tersebut. Meskipun ada upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan, seperti pertemuan antar negara ASEAN dan Cina, hasilnya seringkali terhambat oleh ketidakpercayaan dan tindakan militer yang terus berlanjut. Dengan latar belakang sejarah yang panjang dan kepentingan strategis yang tinggi, konflik di Laut China Selatan tetap menjadi tantangan serius bagi stabilitas regional serta hubungan internasional di Asia Tenggara.

  Negara-negara yang terlibat dalam konflik di Laut China Selatan menerapkan berbagai doktrin dan strategi militer untuk melindungi kepentingan nasional mereka. Republik Rakyat Cina (RRC), sebagai aktor dominan, mengadopsi doktrin militer yang berfokus pada pertahanan aktif dan penguatan kekuatan proyeksi. Cina telah membangun sejumlah pangkalan militer di pulau-pulau yang diklaimnya, seperti di Kepulauan Spratly, untuk memperkuat kehadiran militernya dan mencegah ancaman terhadap wilayahnya. Melalui strategi ini, Cina tidak hanya mempertahankan klaim teritorialnya tetapi juga berusaha mencapai posisi hegemoni di kawasan. Doktrin Xi Jinping menekankan pentingnya penggunaan semua kemampuan yang ada, termasuk kekuatan militer dan ekonomi, untuk mencapai kepentingan nasional, bahkan jika itu berarti harus berkonfrontasi dengan negara lain seperti Amerika Serikat.

  Di sisi lain, negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia juga mengembangkan strategi militer mereka sendiri dalam menghadapi ketegangan di Laut China Selatan. Filipina, misalnya, telah meningkatkan kerjasama militer dengan Amerika Serikat melalui perjanjian seperti Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA), yang memungkinkan akses lebih besar bagi pasukan AS ke pangkalan militer Filipina. Vietnam mengandalkan kekuatan angkatan lautnya yang terus diperkuat untuk melindungi klaim atas Kepulauan Spratly dan Paracel, serta melakukan latihan militer secara rutin untuk menunjukkan ketahanan terhadap tekanan dari Cina. Malaysia, meskipun lebih berhati-hati dalam pendekatannya, juga meningkatkan kehadiran angkatan lautnya di wilayah tersebut guna melindungi kepentingan sumber daya alamnya. Dengan demikian, setiap negara terlibat dalam pengembangan doktrin dan strategi militer yang mencerminkan kebutuhan keamanan nasional mereka dan respons terhadap dinamika geopolitik yang kompleks di Laut China Selatan.

BAB II 

PEMBAHASAN

2.1 Pembahasan

  Mekanisme resolusi konflik di Laut China Selatan melibatkan beberapa pendekatan, termasuk dialog bilateral, mediasi internasional, dan implementasi hukum laut internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Dialog bilateral menjadi salah satu cara utama yang digunakan oleh negara-negara yang terlibat untuk menyelesaikan sengketa. Misalnya, Malaysia dan Cina telah sepakat untuk mengatasi masalah di Laut China Selatan melalui jalur dialog, dengan fokus pada kerjasama dan penyelesaian masalah secara mandiri. Pertemuan antara pemimpin kedua negara menunjukkan komitmen untuk membangun hubungan bilateral yang lebih kuat dan mengedepankan penyelesaian masalah melalui upaya diplomatik. Selain itu, dalam KTT ASEAN, para pemimpin juga menekankan pentingnya penyelesaian sengketa melalui dialog dan menghormati konvensi internasional seperti UNCLOS, yang memberikan kerangka hukum untuk mengatur hak-hak maritim di kawasan tersebut.

  Di samping dialog bilateral, mediasi internasional juga menjadi bagian dari upaya penyelesaian konflik. Negara-negara seperti Indonesia berperan aktif dalam mendorong pembentukan mekanisme mediasi yang lebih efektif di tingkat regional untuk menangani sengketa di Laut China Selatan. Hal ini mencakup penguatan kerjasama dalam implementasi UNCLOS dan penghormatan terhadap hak-hak kedaulatan negara-negara pesisir. Dengan adanya kerangka hukum internasional yang jelas, diharapkan negara-negara yang terlibat dapat menemukan solusi damai dan berkelanjutan untuk konflik yang ada. Namun, tantangan tetap ada, terutama terkait dengan ketidakpastian situasi di lapangan dan tindakan agresif yang dilakukan oleh beberapa pihak, seperti insiden-insiden antara kapal-kapal penjaga pantai Cina dan Filipina yang menunjukkan bahwa meskipun ada upaya dialog, ketegangan masih sering terjadi.

  Evaluasi efektivitas diplomasi maritim dalam mengatasi konflik di Laut China Selatan menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa kemajuan, tantangan tetap ada. Diplomasi maritim, melalui dialog bilateral dan multilateral, telah berperan dalam menciptakan forum bagi negara-negara yang terlibat untuk mendiskusikan klaim dan kepentingan mereka. Misalnya, pertemuan antara Cina dan Filipina pasca-keputusan arbitrase internasional menunjukkan upaya untuk membangun kesepakatan bersama dalam pengelolaan sumber daya di Laut China Selatan. Namun, meskipun ada inisiatif seperti latihan militer bersama dan perjanjian maritim regional yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama, ketegangan masih sering muncul akibat tindakan agresif dari beberapa negara, terutama Cina, yang terus memperkuat kehadiran militernya di wilayah yang dipersengketakan.

  Di sisi lain, diplomasi maritim juga menghadapi hambatan signifikan yang menghambat efektivitasnya. Perbedaan kepentingan nasional dan pendekatan yang berbeda terhadap isu-isu seperti penangkapan ikan ilegal dan klaim teritorial seringkali menyebabkan ketidakpastian dan ketegangan. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan komunikasi dan transparansi antar negara, tindakan sepihak seperti pembangunan pulau buatan oleh Cina telah memperburuk situasi. Oleh karena itu, meskipun diplomasi maritim memiliki potensi untuk meredakan ketegangan, hasilnya masih bervariasi tergantung pada komitmen politik negara-negara yang terlibat dan dinamika geopolitik yang lebih luas di kawasan.

 Konflik di Laut China Selatan memiliki implikasi yang signifikan baik pada tingkat regional maupun global, mempengaruhi dinamika geopolitik di Asia-Timur dan keamanan maritim secara keseluruhan. Di tingkat regional, ketegangan antara negara-negara yang terlibat---seperti Republik Rakyat Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei---dapat menyebabkan insiden militer yang tidak diinginkan dan meningkatkan risiko konflik bersenjata. Selain itu, wilayah ini merupakan jalur perdagangan maritim yang penting, dengan sekitar $5 triliun perdagangan global melintasi perairan tersebut setiap tahunnya. Gangguan terhadap lalu lintas maritim akibat konflik dapat berdampak negatif terhadap perekonomian lokal dan regional. Persaingan atas sumber daya alam juga dapat mengganggu kerja sama regional dan memperburuk kerusakan lingkungan laut, seperti kerusakan terumbu karang dan hilangnya keanekaragaman hayati.

  Di tingkat global, konflik ini menarik perhatian negara-negara besar seperti Amerika Serikat, yang berkomitmen untuk menjaga kebebasan navigasi di kawasan tersebut. Intervensi asing ini dapat memperumit situasi dan meningkatkan ketegangan, dengan potensi dampak terhadap tatanan geopolitik global. Selain itu, degradasi lingkungan laut di Laut China Selatan dapat mempengaruhi ekosistem secara global, berdampak pada rantai makanan laut dan stabilitas lingkungan. Dengan demikian, stabilitas keamanan di Laut China Selatan sangat penting untuk stabilisasi logistik internasional; eskalasi ketegangan di kawasan ini dapat mengganggu lalu lintas logistik global dan berdampak negatif pada perekonomian dunia.

BAB III  

Kesimpulan

3.1 Kesimpulan

Analisis hubungan diplomatik di Laut China Selatan menunjukkan bahwa konflik di wilayah tersebut telah mempengaruhi interaksi antara negara-negara yang terlibat dengan cara yang signifikan. Negara-negara seperti Republik Rakyat Cina, Filipina, Vietnam, dan Malaysia terjebak dalam ketegangan akibat klaim teritorial yang tumpang tindih dan aktivitas militer yang meningkat. Meskipun ada upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan, seperti dialog bilateral dan pertemuan di tingkat ASEAN, hasilnya masih bervariasi. Diplomasi maritim telah berperan dalam beberapa kasus untuk mengurangi ketegangan, tetapi seringkali terhambat oleh tindakan sepihak dan kebijakan agresif dari negara-negara tertentu, terutama Cina.

Untuk meningkatkan efektivitas diplomasi maritim dalam mengatasi konflik di Laut China Selatan, beberapa saran dan rekomendasi dapat dipertimbangkan. Pertama, pentingnya kolaborasi internasional dalam menyelesaikan sengketa laut harus ditekankan. Negara-negara yang terlibat, termasuk anggota ASEAN, perlu memperkuat kerjasama dan dialog untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Upaya ini dapat mencakup pembentukan forum regional yang lebih aktif untuk mendiskusikan isu-isu maritim dan berbagi informasi serta praktik terbaik dalam pengelolaan sumber daya laut. Selain itu, keterlibatan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang dalam dialog ini juga dapat membantu menciptakan keseimbangan kekuatan dan mendorong penyelesaian damai.

Kedua, perlunya implementasi hukum laut internasional yang lebih kuat, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), sangat penting untuk memberikan kerangka hukum yang jelas bagi penyelesaian sengketa. Negara-negara yang terlibat harus berkomitmen untuk menghormati putusan arbitrase internasional dan mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum internasional ke dalam kebijakan maritim mereka. Selain itu, pengembangan kode tata perilaku (Code of Conduct) di Laut China Selatan antara negara-negara yang mengklaim wilayah akan menjadi langkah positif untuk mengurangi ketegangan dan mencegah insiden militer. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan diplomasi maritim dapat berfungsi lebih efektif dalam menciptakan stabilitas dan keamanan di kawasan tersebut.

Daftar pustaka

"4 Negara Yang Terlibat Sengketa Dengan China Di Laut China Selatan." Internasional, cnnindonesia.com, 11 Jan. 2024, www.cnnindonesia.com/internasional/20240109202641-113-1047394/4-negara-yang-terlibat-sengketa-dengan-china-di-laut-china-selatan. Accessed 17 Dec. 2024.

Angraini, Ana Fatmawati, Tri Wulan Dhari Asriningrum, Indri Yulastri, dan Felly Nabilla Faradilla. "AKIBAT SENGKETA LAUT TIONGKOK SELATAN PADA HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA AMERIKA SERIKAT DAN TIONGKOK DARI PERSPEKTIF HUKUM LAUT INTERNASIONAL." Jurnal.law, 2 Sept. 2023.

Dwi, Andika, dan Dewi Rina Cahyani. "Deretan Negara Yang Bersengketa Di Laut China Selatan, Indonesia Masuk!" Tempo, 9 Feb. 2023, www.tempo.co/internasional/deretan-negara-yang-bersengketa-di-laut-china-selatan-indonesia-masuk--220668. Accessed 17 Dec. 2024.

Antara, dan Suci Sekarwati. "Malaysia Sepakat Atasi Sengketa Laut Cina Selatan Lewat Dialog." Tempo, 21 June 2024, www.tempo.co/internasional/malaysia-sepakat-atasi-sengketa-laut-cina-selatan-lewat-dialog-47341. Accessed 17 Dec. 2024.

Yunizar, Faradila Dwi. "EFEKTIVITAS DIPLOMASI KEAMANAN MARITIM DALAM MENANGANI KASUS ILLEGAL FISHING DI LAUT NATUNA." Journal of Integrative International Relations, vol. 8, no. 1, 23 May 2023, pp. 1--14, https://doi.org/10.15642/jiir.2023.8.1.1-14. Accessed 25 July 2024.

Rustam, Ismah, Ahmad Mubarak Munir, dan Kinanti Rizsa Sabilla. "Strategi China Dalam Melindungi Keamanan Nasionalnya Di Wilayah Sengketa Laut China Selatan." 14 July 2012.

Kurniawan, Lutfi. "DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA MELALUI NAVAL DIPLOMACY DAN SEA POWER DI LAUT CINA SELATAN PADA TAHUN 2020." Jurnal.balitbangda.lampungprov.go.id/ , 28 July 2023.

Kenneth, Nathanael, Moody Rizqy Syailendra Putra, Rainer Christian, dan Juan Benedict Chandra. "Dampak Konflik Sengketa Laut Cina Selatan Terhadap Keamanan Negara Berdasarkan Hukum Internasional." Jurnalsyntaxadmiration, 2 Oct. 2024.

Parangdaru, Inggrha. "Sengketa Laut China Selatan Dan Ancaman Kedaulatan Indonesia -- Kompaspedia." Kompaspedia, 16 Apr. 2024, kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/sengketa-laut-china-selatan-danancaman-kedaulatan-indonesia.

Susilo, Nina. "Di KTT ASEAN 2024, Disepakati Penyelesaian Laut China Selatan Melalui Dialog." Kompas.id, Harian Kompas, 10 Oct. 2024, www.kompas.id/baca/internasional/2024/10/10/penyelesaian-laut-china-selatan-melalui-dialog-jadi-komitmen. Accessed 17 Dec. 2024.

"Sejarah Konflik Laut China Selatan Yang Jadi Rebutan." Internasional, cnnindonesia.com, 13 May 2022, www.cnnindonesia.com/internasional/20220511135122-118-795477/sejarah-konflik-laut-china-selatan-yang-jadi-rebutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun