Mohon tunggu...
Muhammad akhwan jauhari
Muhammad akhwan jauhari Mohon Tunggu... Penulis - Tingkat 1 Fakultas Usuludin al-Azhar, Kairo, Mesir

Penulis Muhammad Akhwan Jauhari lahir di karang anyar, Lampung selatan, 09 November 1997, Pernah menempuh pendidikan di SDN 1 atap Jati Agung dan MI Al-Islah natar Lamsel, MTS Darul Ihsan,payaman,Nganjuk, dan MTs Psm Pace, Nganjuk, Jatim, Paket C PPTQ Miftahul Jannah, sekampung Lamtim.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ra dan Re

21 Januari 2020   03:08 Diperbarui: 21 Januari 2020   14:59 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.londfesh.wordpress.com

"Ra dan Re"...... Panggilan yang sudah tidak asing kita dengar pastinya.  Nama asli dari keduanya adalah Bara dan Rere.

Rere adalah teman karibku, walaupun kami berteman bukan sejak kecil, akan tetapi persahabatan kami sangatlah kenatal sekental susu bendera.

Rasa lelah selepas ujian termin 1 membawaku untuk beristirahat sejenak. Pikiran yang mulai membeku membuatku malas untuk bergerak. Disaat itu lah rere mulai menghiburku.

"Ra keluar yuk"! Tanya rere dengan nada tinggi.

" Ke mana re"? Jawabku seraya menunduk lirih karena belum makan malam

"Udahlah ayo pokokya seru" Masih dengan nada yang tinggi sambil mengiming-iming

"Oke.. Tapi kenama dulu"? Dengan nada kesal, serasa ingin menjotos muka sebalnya.

"Ke Cafe nonton sepak bola sekalian wffian" Nada yang banayak gaya, seolah-olah anak gaul.

"Di musim dingin suhu yang mencapai 8°C sampai menusuk tulang muda ini, tapi ya sudahlah yang penting nanti aku bisa melihat klub faforitku bertanding". penuh dengan harapan semoga klub kebangganku menang.

Sesampainya di Caffe kamipun langsung mencari tempat duduk. tak ku sangka ternyata cafe itu penuh dengan pengunjung, sehingga kamipun harus berdiri sambil menunggu pengunjung yang hendak pulang. Akan tetapi dipertengahan waktu ada seorang kake-kake yang memanggilku.

"Nak kemarilah" Panggilan kake tua yang lantang, sambi senyuman

"Iya kake" Jawabku seraya menundukan kepala, dengan penuh harapan bisa dapat tempat duduk

"Sini duduk, kamu sudah lama kan berdiri, kake mau pergi" Suara tua yang amat lembut baik hati, seperti ibu yang mengasihi anaknya

"Iya kake makasih tempat duduknya" Hati yang amat bahagia, seraya mendapat warisan 

Kaki-kaki yang sudah lelah berdiri kini sudah mendapatkan tempat duduk, serambi melunjurkan kaki terdengar suara-suara seporter yang amatlah keras membuka ingatanku atas rere yang masih setia berdiri, aku pun bergegas memangil rere untuk berbagi kursi denganku. 

"Re sini duduk" Suara kerasku memanggil rere

"apaan kursi cuma satu masak buat berdua" Jawab rere seraya menolak tapi penuh harapan

"idih...banyak omong buru sini" Dengan wajah masamku agar membuat rere tertunduk

"iya...iya" Suara lemahnya kini telah keluar

Akhirnya aku bisa menaklukkan gaya rere yang sedikit penuh gengsi. Terkadang aku berfikir. Berbagi itu tidak harus menunggu kita memiliki hal lebih, selagi kita masih bisa berbagi, kenapa tidak! bukankah kebaikan itu tidak pernah merugikan kita?

****

Di penghujung waktu pertandingan sepak bola pun, dimenangkan oleh klub kebanggaanku, amatlah bahagia karena gool terakhirnya!, tv yang sudah dimatikan menandakan pengunjung harus beranjak pergi dari cafe tersebut, satu persatu pengunjung mulai keluar, kami pun masih setia duduk di depan tv yang mati, rere pun bergegas kedepan menemui penjaga cafe tersebut untuk meminta pasword wiffi.

Di cafe inilah kami mencari wawasan baru mendownload vidio-vidio yang bisa kami ambil manfaatnya, berhubung paket internet disini mahal di rumah tak menggunakan wiffi pula, Cafe inilah yang menjadi teman setia kami, yah walaupun terkadang sinyalnya tersendat -sendat, disitulah keseruan & kesabaran mendownload kita diuji.

****

Malampun mulai larut angin musim dingin yang berhembus dari utara semilir menyapu kota kairo. Angin itu membawa kesejukan yang amat mendalam sampai-sampai tubuh kamipun menggigil karena dinginya angin malam. 

Di malam yang sepi itu kami pun memutuskan untuk beranjak pulang. Jalanan yang sepi, lampu-lampu yang gelap, suara anjing menggogong membuat suasana semakin hanyut mistis seperti filem-filem horor di bioskop.

****

Suara sendal yang menyeret amatlah bising di telingaku, sembari berjalan ku tengok lorong-lorong gelap itu, terdengar suara bentakan dan tangisan yang menyedihkan, berlahan-lahan kamipun mendekati lorong itu. Ada seseorang ibu memarahi anaknya karena bermain hingga larut malam , kata-kata kasar, sentuhan yang kasar itupun mengingatkanku atas perkatan Novelis Habiburrahman El Shirazy yang ku dengar di Caffe tadi, belau pernah berkata dalam seminarnya.

***

"Anak kecil yang dia terbiasa hidup di keluarga yang kata-katanya kasar jangan pernah berharap anak kecil itu bisa berkata indah, sebaliknya anak kecil yang terbiasa di kuluarga yang penuh tata krama dan sopan santun, kalimat-kalimat orang tuanya memberikan contoh yang indah, maka anak kecil itu pasti bisa berkata dengan indah".

****

Hikmah yang bisa kita petik dari kata-kata itu, terkadang kita yang lebih dewasa atau lebih tua, terlalu mudah dan bangga melontarkan kata-kata kasar kepada adik,teman, bahkan anak kita sendir, bagi yang sudah menikah.

 Tanpa kita sadari sebenarnya efek dari perkatan itu, ber imbas besar pada adik-adik kita dan anak-anak.

.....

* Semoga bermanfa'at *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun