Kita kaya sumber daya alam, tetapi miskin sumber informasi. Sehingga, kekayaan yang kita miliki hanya sebatas kekayaan semu. Disinformasi serta minimnya pengetahuan inilah yang memaksa sebagian sumber daya manusia memilih untuk pindah ke kota. Di sinilah ironisnya: Â lahir di desa, besar di desa, hidup sehat di tanah agraris, tetapi mati di kota sebagai kaum urban.
Informasi itu dapat dilihat, tetapi tak dapat dinikmati, terlebih untuk sampai mengolah dan menjadikannya sebuah aset yang kelak dapat dinikmati untuk generasi mendatang.
Merebaknya informasi seharusnya dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas terserapnya arus informasi. Kemudian, dapat dijadikan sebuah referensi di semua lini tanpa terkecuali. Mulai dari dewasanya para kaum urban di perkotaan sampai balitanya kaum di pelosok desa yang berkutat pada tanah serta tumbuhan yang hidup di atasnya.
Derasnya perputaran pertumbuhan ekonomi dan pergantian musim teknologi yang begitu cepat dan masif, seharusnya dapat menjadi sebuah batu loncat untuk mencapai kesejahteraan. Baik kesejahteraan dalam hidup maupun kesejahteraan dalam mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai dengan bertambahnya khasanah ilmu pengetahuan.
Namun, realitas itu jauh dari sebuah pengharapan yang dapat mengantar sebagian sumber daya manusia menjadi lebih unggul. Tergerus dalam derasnya akses digital dan pertukaran informasi, menjadi salah satu penyebab kita tertinggal dalam sektor ekonomi kreatif yang modern. Sehingga jelas, ada yang terpangkas dari terbentuknya sebuah sistem itu, yakni tidak terjangkitnya sebuah jentik literasi dalam lingkungan masyarakat agraris di pelosok.
Minimnya kesadaran ini harus menjadi sebuah kekhawatiran sekaligus kegelisahan bagi masyarakat agraris. Hal ini harus menjadi perhatian, betapa pentingnya terobosan baru yang kreatif berdasar pada pengetahuan dan riset demi keseimbangan yang berkesinambungan dalam hal mengelola lahan. Bukan sekadar mengandalkan cara-cara konvensional.
Langkah ini sebagai upaya pencegahan berlarutnya kultur yang dianggap sebagai finishing yang mutakhir, sekaligus perlahan mengenalkan masyarakat kepada peradaban baru yang lebih menekankan pada disiplin ilmu. Sehingga, yang bekerja bukan hanya semata-semata otot, melainkan kesatupaduan antara otak dan praktik.
Kesatupaduan antara teori dan praktik dalam mengelola lahan inilah yang kemudian disebut agroliterasi. Jika yang bekerja hanya otot, kita tak lebih dari sebuah mesin robot, kaku dan akan lapuk termakan waktu. Irsan dalam bukunya yang berjudul Agroliterasi terbitan 2019 telah membahas soal itu.
Istilah Agrolitercy, tulis Irsan, pada mulanya digunakan Ernest Gellner dalam bukunya Nations and Nationalism, yang diartikan sebagai sistem pemerintahan atau sistem sosial yang di mana mayoritas orang adalah petani produsen pertanian dikendalikan elite kecil yang melek huruf terbatas.
Pentingnya agroliterasi bagi masyarakat agraris adalah untuk senantiasa menjaga semangat sumber daya yang mumpuni serta menjaga kestabilannya sejak dini. Sehingga, komponen masyarakat yang tergabung di dalamnya dari berbagai rentetan umur mendapatkan edukasi sejak belia.
Beberapa tahun silam, BPS (Badan Pusat Statistik) menerbitkan laporan bertajuk Sensus Pertanian 2013. Dalam satu bagian publikasinya, BPS mendata jutaan petani di Indonesia dalam kelompok usia. Dari total 26.135.469 petani saat itu terdata kelompok usia 45---54 tahun memiliki jumlah absolut terbanyak: 7.325.544 orang.
Jumlah terbesar kedua pada kelompok usia 35---44 tahun (6.885.100 orang) disusul oleh kelompok yang lebih muda dengan umur 25---35 tahun. Jika diringkas, 60,8 persen petani Indonesia berada dalam usia di atas 45 tahun.
Menyusutnya hingga 5 juta orang dalam kurun waktu 2003---2013 oleh angkatan muda menandakan tidak adanya hal yang begitu menarik bagi mereka terhadap lingkungan pertanian. Bagi mereka, kegiatan bertani bukan hal yang menjanjikan dan mempunyai masa depan yang brilian seiring dengan naiknya kebutuhan hidup sehari-hari.Â
Ini menandakan kegiatan dalam mengolah tanah dalam masyarakat agraris masih sangat kaku dan dianggap sebagai hal yang monoton serta hasil  yang sudah dapat ditebak. Hasil yang jauh dari ekspektasi jika dibenturkan dengan kenyataan melambungnya harga bahan pokok untuk hidup sehari-hari. Sehingga, pelariannya adalah mencari pekerjaan yang menurutnya lebih layak dan dianggap lebih bisa menopang biaya dan gaya hidup. Sebagai dampaknya, perputaran ekonomi dalam struktur masyarakat agraris tidak terakomodasi dengan baik serta terancamnya lahan yang hijau.
Dari data BPS tersebut, kita menaruh harapan. Jika saja angkatan muda senantiasa berkorelasi dan membentuk sebuah wajah yang dapat menjadi cerminan, tentu saja sumber daya alam yang melimpah ditopang dengan baik oleh sumber daya manusia yang unggul.
Sumber daya manusia yang memiliki  jiwa muda serta etos kerja yang prima menghasilkan produktivitas yang mapan. Dalam hal ini ditunjang oleh meleknya terhadap arus informasi (memiliki jiwa literasi).
Literasi ini merupakan langkah kecil untuk perubahan yang besar. Di antaranya adalah membiasakan diri untuk melakukan edukasi. Mulai dari berbagi pengalaman yang diperoleh dari praktik maupun teori kemudian diejawantahkan melalui tindakan-tindakan. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari penggalian sumber informasi sebagai landasan untuk bertindak.Â
Hal yang sangat tidak lazim bagi masyarakat agraris karena terbiasa dengan kehidupan yang prioritas utamanya hanya hasil, tentu membutuhkan sebuah stimulus. Salah satunya dengan cara membuat mereka terbiasa mendengar atau menyaksikan langsung ruang-ruang yang bersifat ilmiah setiap akhir pekan. Agar, masyarakat dapat beradaptasi secara perlahan.
Penyediaan sarana dan prasarana tentu saja sangat dibutuhkan. Bahkan, harus diberadakan agar terbentuk kebiasaan-kebiasaan dengan harapan masyarakat mampu mengenal dan mendekatkan diri pada dunia literasi.
"Membaca untuk kesejahteraan adalah bagian awal untuk berdaya, selangkah untuk berdaulat dalam pertanian"
Menjadi agropolitan, selain berbicara tentang aspek ekonomi, juga dapat menuntun kearifan dan refleksi dalam aspek pendidikan, literasi, lingkungan hidup, kultur sosial dan politik. Semua ini tidak terlepas dari tujuan hidup yang sangat mendasar dalam menata masa depan masyarakat agraris.
Untuk sampai kepada tujuan itu, hal yang harus dibersihkan selain hama adalah pemikiran yang tertutup. Yang harus digarap selain lahan adalah kebiasaan-kebiasaan baru.
Sulitnya menerima perubahan bagi sebagian besar kelompok konservatif berakibat tertutupnya corong-corong penemuan. Tidak terbukanya keran ide serta gagasan berbanding lurus dengan lebih besarnya pasok tenaga yang keluar dibanding tiang pengunci yang masuk. Hal ini menggiring kepada menyusutnya kehidupan bertani dalam berproduksi.
Pegiat serta aktivis literasi dihimbau oleh Irsan agar bisa menjadi juru selamat. Bukan hanya mengadakan lapak baca di kampus yang notabenenya berisi manusia-manusia (yang katanya akademisi) dan tidak pernah lepas dari perbincangan ilmiah, melainkan mereka harus menjadi promotor tunggal untuk menciptakan dunia baru di lingkungan agraris.Â
Jika perlu, mereka harus kembali ke tanah asal dan mengambil bagian secara langsung sebagai pelaku yang kemudian hari bisa hidup serta menghidupkan tanah dan mata rantai perputaran ekonomi yang berbasis agroliterasi. Sehingga, disabang hari mereka bisa mengucapkan selamat tinggal kepada kehidupan yang tidak berdaya di atas tanah sendiri.
Oleh Muhammad Akbar, Mahasiswa Mesin Universitas Negeri Makassar. Ketua Bidang Sosial Politik IPPM Pangkep, Komisariat UNM periode 2015---2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H