Salah satu faktor utama yang memungkinkan terjadinya korupsi adalah kesempatan. Dalam kasus proyek e-KTP, terdapat banyak peluang bagi oknum untuk melakukan korupsi. Proyek ini melibatkan anggaran yang sangat besar dan kompleksitas administrasi yang tinggi, sehingga menciptakan celah untuk penyimpangan. Kelemahan dalam sistem pengawasan dan pengendalian internal membuat oknum merasa dapat melakukan korupsi tanpa risiko yang berarti. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa korupsi sering terjadi di lingkungan dengan pengawasan yang lemah.
- Keserakahan
Keserakahan juga menjadi faktor pendorong utama dalam kasus ini. Setya Novanto dan pihak-pihak lain yang terlibat diduga memiliki niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari proyek e-KTP. Dorongan untuk memperkaya diri sendiri, meskipun sudah memiliki cukup banyak, menunjukkan tingkat keserakahan yang tinggi. Hal ini mencerminkan bagaimana oknum dapat mengabaikan etika dan tanggung jawab demi mendapatkan keuntungan pribadi.Â
- Kelemahan Sistem
Pendekatan Bologna menekankan bahwa korupsi sering terjadi karena kelemahan dalam sistem pengendalian internal. Dalam kasus e-KTP, sistem pengawasan yang lemah dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran memberi ruang bagi praktik korupsi. Ketidakmampuan sistem untuk mendeteksi dan mencegah penyimpangan membuat korupsi semakin sulit diatasi.
- Pengungkapan
Faktor terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah pengungkapan. Risiko korupsi terungkap dalam proyek ini juga rendah, terutama pada tahap awal. Hal ini membuat pelaku merasa aman untuk melanjutkan tindakan korupsi tanpa takut akan konsekuensi hukum. Ketidakpastian tentang kemungkinan terungkapnya korupsi berkontribusi pada keberanian individu untuk melakukan penyimpangan.
Dari analisis yang dilakukan berdasarkan pendekatan Jack Bologna, dapat disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia, khususnya dalam kasus proyek e-KTP, disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait. Peluang untuk melakukan korupsi sangat besar, terutama karena proyek ini melibatkan anggaran yang besar dan kompleksitas administrasi yang tinggi. Hal ini menimbulkan celah bagi oknum untuk menyalahgunakan kekuasaannya.
Selain itu, keserakahan menjadi motivasi utama para pelaku korupsi. Banyak di antara mereka, seperti Setya Novanto, yang berkecukupan secara finansial, tetapi tetap ingin mendapatkan keuntungan pribadi yang lebih. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi karena kebutuhan, tetapi juga karena keinginan untuk memperkaya diri sendiri.
Sistem pengawasan yang lemah juga turut menyebabkan tingginya angka korupsi. Ketidakmampuan sistem dalam mendeteksi dan mencegah penyimpangan membuat praktik korupsi semakin sulit diatasi. Selain itu, rendahnya risiko pengungkapan membuat para pelaku merasa aman untuk melanjutkan tindakan korupsi tanpa takut akan konsekuensi hukum.
Untuk mengatasi masalah korupsi ini, sangat penting untuk memperkuat sistem pengawasan dan pengendalian internal. Menciptakan lingkungan yang lebih transparan dan akuntabel juga menjadi langkah penting dalam mencegah terulangnya praktik korupsi di masa mendatang. Dengan demikian, upaya pencegahan dan penegakan hukum yang lebih baik dapat membantu mengurangi tingkat korupsi di Indonesia.