Mohon tunggu...
M Arfah
M Arfah Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bayar Pajak 100% vs Utang Negara 0%

7 November 2015   12:31 Diperbarui: 26 Februari 2023   10:46 2235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Alkisah, ditengah kelesuan ekonomi yang melanda Indonesia, pemerintah dikabarkan kembali melakukan pinjaman luar negeri untuk membiayai program pembangunan yang sedang berjalan. Hal ini membuat seorang jurnalis tertarik untuk mewawancarai seorang pengamat ekonomi yang berpengalaman di bidangnya mengenai sikap pemerintah yang semakin menambah besarnya nilai pinjaman luar negeri. Berikut kutipan dari wawancara tersebut:

 Jurnalis

 

Pak, bagaimana pendapat Anda mengenai tindakan pemerintah yang kembali menambah pinjaman luar negeri ditengah perekonomian kita yang sedang kurang baik?

Pengamat

 

mungkin kita semua belum bayar pajak 100% atau bahkan belum bayar sama sekali sehingga pemerintah mengambil sikap tersebut?

Jurnalis

 

lho hubungannya apa Pak?

Pengamat

 

sangat berhubungan lho, mari kita bahas mengenai postur APBN untuk melihat hubungan dekatnya. APBN itu menggambarkan bagaimana cara pemerintah mengelola keuangan negara, cara pemerintah mendapatkan dana untuk membangun negara dan cara pemerintah untuk membelanjakan dana tersebut.

 

Kalau kita lihat postur APBN  Tahun 2015 didapati bahwa belanja negara  secara persentase 68% dibiayai melalui Pajak dan Bea Cukai, 20% dibiayai melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta Hibah, dan 12 % dibiayai dengan utang.

 

Apabila selama tahun 2015 berjalan kita belum bayar pajak, bea dan cukai tersebut sebesar 100%, maka jangan harap angka 68% akan tercapai. Makanya jangan heran kalau pada tahun berjalan justru pemerintah memperbesar utang negara demi menjaga tetap berlangsungnya pembangunan.

 

Pertanyaannya adalah seperti yang sudah saya ajukan tadi, jangan-jangan kita belum  membayar pajak dengan benar tapi sudah berkomentar ini-itu tentang langkah pemerintah untuk berutang.

 

Analoginya adalah seperti ini. Bayangkan kita akan membeli sebuah motor secara kredit karena belum mampu membelinya secara tunai pada tahun ini. Setelah memperhitungkan penghasilan kita secara cermat, kita sepakat dengan pihak penjual untuk melakukan cicilan dengan nilai tertentu setiap bulannya. Apabila ternyata setelah beberapa bulan penghasilan kita tidak mencukupi karena sesuatu dan lain hal, maka apa yang akan kita lakukan, jawaban tercepatnya adalah dengan berutang pada orang lain untuk membayar cicilan tersebut.

 

Begitu pulalah pemerintah, pada awal tahun program-program pembangunannya akan berjalan dan semua ini akan dibiayai melalui pajak yang kita bayar, sekali saja kita tidak membayar pajak maka program pemerintah akan terganggu dan akan ditutupi dengan melakukan utang.

 

Pertanyaan selanjutnya? Berarti siapakah yang paling menentukan langkah pemerintah untuk mengambil utang negara ini?

Jurnalis

 

Hmm, cukup menarik atas penjelasannya pak, saya baru mengerti akan hal ini. Berarti bapak mengatakan justru yang menentukan apakah pemerintah berutang atau tidak adalah rakyatnya sendiri, yang ditentukan dengan pembayaran pajak mereka?

Pengamat

 

Tidak tepat juga bila dikatakan seperti itu, masih ada faktor-faktor penentu lainnya, tapi menurut saya rakyat dan pemerintahlah yang paling berperan besar akan hal itu. Apabila rakyatnya semua sadar akan pentingnya membayar pajak dengan benar untuk mendukung pembangunan nasional dan pemerintah pun sangat cermat mengelola keuangan negara maka bukan tidak mungkin tercapai bahwa 100% belanja negara dibiayai oleh pajak dan 0% dari utang. Itulah harapan ke depan dari kita semua. Kita sendiri yang membangun negeri ini, dengan uang kita sendiri, bukan uang orang lain.

Jurnalis

 

Tapi, selama ini rakyat masih ragu-ragu dalam membayar pajak sehingga bersikap tidak sepenuhnya membayar pajak dengan benar atau bahkan mengambil sikap untuk tidak membayar pajak karena berpikiran bahwa nantinya pajak mereka akan dikorupsi saja

Pengamat

 

Yah kalau begitu, terimalah bahwa pemerintah akan berutang terus menerus dan jangan protes, toh kita pun tidak membantu pemerintah sama sekali, itu jawaban ekstrimnya. Memang masih banyak yang  salah paham dan belum mengerti akan proses dan seluk beluk perpajakan. Mari kita bahas.

 

Mari kita bicara APBN, pada tahun 1960 sampai pada tahun 1970-an, disaat kita masih memiliki cadangan minyak yang melimpah ruah, porsi penerimaan negara didominasi oleh bukan pajak. Baru ketika cadangan minyak kita sudah menipis pada tahun sekitar 1980-an  sampai sekarang, penerimaan negara didominasi oleh pajak. Tentu saja hasil pembangunan yang berkelanjutan hingga sekarang masih dirasakan adalah bukti bahwa APBN kita masih tetap berjalan walau tidak dibiayai lagi dengan minyak.

 

Jadi, kalau ada pertanyaan kemana dana pajak kita semua menguap, jawabannya adalah pajak kitalah yang menggantikan minyak bumi kita selama ini dalam membiayai negara dan hasil pembangunan yang sampai sekarang masih kita rasakanlah adalah buktinya. Jalan dan jembatan yang kita lalui, rumah sakit yang dibangun dan sekolah tempat kita belajar, gaji guru yang mengajar kita, dan banyak lagi hasilnya. Kita terkadang tidak sadar bahwa kita telah memanfaatkan hasil APBN dan tetap masih bingung kemana larinya uang pajak kita.

 

Jangan menjadi “free rider” apalagi dalam negara sendiri. Sudah menikmati fasilitas negara dari hasil APBN, tapi tidak mau memberi apa-apa bagi bangsa dan negaranya sendiri. Bahkan terkadang menjadi provokator, mencari teman untuk menjadi sama-sama “free rider” untuk tidak membayar pajak, bahkan mengajak untuk boikot tidak bayar pajak tapi tetap juga menolak negara untuk berutang. Tunggulah kehancuran negara dari orang-orang seperti ini. Negara dapat dana dari mana.

 

Kalau masih ragu-ragu karena para pejabat korup, mari kita bahas secara detail lagi. Pajak adalah dana yang diambil dari masyarakat dengan niat baik dan disalurkan dengan niat baik pula. Contohnya adalah pajak diambil, dimasukkan ke kas negara lalu disalurkan kepada Kementerian Pendidikan jadilah gaji guru, sekolah, universitas dan lain-lain. Disalurkan kepada Polri dan TNI, jadilah keamanan dan ketertiban negara. Disalurkan kepada Kementerian  Pekerjaan Umum, jadilah jalan dan Jembatan. Disalurkan kepada KPK untuk memberantas korupsi. Disalurkan kepada BNN untuk memberantas narkotika. Dan masih banyak lagi.

 

Nantilah bila baru sampai kepada orang per orang dalam hal ini para pejabat yang menerima dana tersebut, sering terseliplah niat buruk untuk menyalahgunakan. Pertanyaannya sekarang apakah karena orang tersebut, maka niat baik kita untuk membiayai pendidikan, membiayai keamanan dan ketertiban, membiayai  jalan dan jembatan, memberantas korupsi dan narkotika juga harus terhenti, apa kita harus ikut-ikutan berniat buruk?

 

Jawabannya adalah dengan menegakkan hukum terhadap para koruptor, bukan dengan keraguan membayar pajak. Tuhan sudah memilihkan hukuman yang tepat kepada para koruptor dengan hukuman “potong”  tangan. Mungkin maksudnya hanya dengan itulah para koruptor baru bisa merasakan pahitnya arti “dipotong”. Sama seperti yang dirasakan oleh masyarakat yang sudah susah payah mendapatkan uang dan “dipotong” pajak tapi ternyata dikorupsi atau masyarakat/negara yang harusnya mendapatkan hak-hak atas penyaluran dana pajak tapi ternyata “dipotong” dan dikorupsi oleh para koruptor.

Sepertinya memang sudah tidak mempan lagi bagi para koruptor dengan hukum buatan manusia yang hukumannya adalah “potong” masa tahanan.

Jurnalis

 

Hmmmm…jadi keraguan membayar pajak bukan solusi menurut Bapak ya, tapi mengapa kita tetap membayar biaya-biaya untuk pelayanan publik padahal kita sudah membayar pajak Pak?

Pengamat

 

Kembali lagi, kita sudah bayar pajak 100% nggak? Atau bahkan belum bayar pajak sama sekali? Masih ingat kan dengan postur APBN 2015 dalam persentase. Pajak 68%, PNBP dan Hibah 20%, dan utang 12%. Nah biaya-biaya pelayanan publik tersebut dimasukkan sebagai PNBP yang 20%.

 

Dana pajak mungkin hanya cukup untuk membayar pembangunan gedung atau gaji para pegawainya, tapi untuk menutup biaya operasionalnya maka dikenakan biaya pelayanan publik sebagai PNBP.

 

Bayangkan bayar pajak 100% aja belum cukup untuk membiayai negara karena hanya maksimal mencapai 68% penerimaan negara. Kita masih harus menambah biaya-biaya pelayanan publik lagi yang mencapai 20% dari penerimaan negara. Bayangkan kalau banyak yang tidak bayar pajak, biaya pelayanan publik membengkak, dan utang membesar pula.

 

Tapi ingat PNBP adalah biaya resmi instansi, kalau biaya pungutan liar, atau tidak resmi tidak akan masuk ke kas negara melainkan ke saku orang lain.

Jurnalis

 

Cukup jelas pembahasan dari Bapak, mulai sekarang saya akan membayar pajak 100% berapapun nilainya, karena itu akan mendukung secara penuh program pembangunan nasional. Itulah wujud partisipasi saya sebagai warna negara yang baik. Dan dengan langkah itu pulalah saya turut mendukung negara terbebas dari utang. Saya bisa membayangkan bila semua melakukan hal yang sama 100% negara kita menjadi mandiri. Dari kita, oleh kita dan untuk kita sendiri. 

Pengamat

 

Bagus, sebaliknya bagi yang tidak membayar pajak 100% dengan benar bahkan yang lebih parah tidak membayar pajak sama sekali berarti secara tidak sadar mendukung negara berutang lebih banyak. Padahal bisa jadi mereka sangat sering memprotes kebijakan negara untuk berutang. Jangan sampai kita tidak memberikan sumbangsih apapun untuk negara kita

Jurnalis

 

Baik pak, ngomong-ngomong bapak sebagai pengamat ekonomi sudah bayar pajak belum?

Pengamat

 

Yuk, kita bareng ke bank, bayar pajak sama-sama

Jurnalis

 

@#@???? (berarti belum dong Pak)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun