Mohon tunggu...
Muhammad Farhan Adhantyo
Muhammad Farhan Adhantyo Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta, PMII Komfisip UIN Jakarta

Terus hidup dan berbuat baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rasisme di AS: Dari Merdeka, Green Book, sampai Kasus George Floyd dan Pengaruhnya terhadap Trump Serta Republik

21 Oktober 2020   22:04 Diperbarui: 21 Oktober 2020   22:16 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membahas masalah rasisme di Amerika Serikat memang tidak ada habisnya. Semenjak menjadi bagian koloni Inggris dahulu, banyak Orang Afrika yang dibawa oleh Inggris menuju Amerika Serikat sebagai budak kontrak.

Amerika Serikat yang kala itu mayoritas berkulit putih pun pada akhirnya kedatangan tamu baru. Ini menjadi titik awal bagi terbentuknya rasisme di Amerika Serikat selama kurun waktu ke depan.

“Kami memegang kebenaran ini menjadi jelas, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka diberkati oleh penciptanya dengan hak tertentu, bahwa di antara ini ada kehidupan, kebebasan dan mengejar kebahagiaan,”

Kira-kira seperti itu bunyi teks proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat dari Inggris yang terkenal sampai saat ini. Teks tersebut dibuat oleh Thomas Jefferson dan George Washington menandatangani teks itu.

Terlihat ada kejanggalan dari kalimat dalam teks itu, karena walau tertera bahwa “semua manusia diciptakan sama”, namun Jefferson dan Washington sama-sama mempunyai budak kulit hitam. Washington bahkan mempunyai budak terbanyak di Fairfax County pada 1789 dan pada 1799 mempunyai budak sebanyak 317 orang termasuk 143 anak-anak.[1]

Dalam hal ini terlihat kontradiksi antar teks proklamasi kemerdekaan AS dengan penerapan aslinya yang mana dalam hal ini Washington yang menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat saja masih tidak menganggap semua manusia diciptakan sama dengan masih banyaknya budak yang dimiliki.

Apa yang dilakukan oleh Washington ini bisa mendorong terciptanya opini publik yang mana orang kulit hitam itu masih dianggap budak dan tidak diakui setara. Pada akhirnya perbudakan kulit hitam ini terus berlangsung lama hingga tiba masa pemerintahan Presiden Lincoln. 

Presiden Abraham Lincoln berusaha untuk membebaskan Amerika Serikat dari perbudakan dengan mengeluarkan Proclamation of Emancipation yang mana sudah sukses dalam membebaskan rakyat dari perbudakan yang merampas hak-hak sebagai manusia.

Apa yang dilakukan oleh Lincoln ini tidak mulus begitu saja, melainkan harus melewati sebuah peristiwa berdarah yaitu Perang Saudara Amerika (American Civil War). Kala itu masih banyak pihak yang masih menolak dihapuskannya perbudakan kulit hitam. Pihak ini umumnya berisi negara-negara bagian selatan Amerika Serikat yang disebut Kubu Konfederasi, sedangkan yang mendukung penghapusan perbudakan berisi negara bagian utara Amerika Serikat yang disebut Kubu Union.

Kubu Union ini bisa dibilang sangat maju dibandingkan Kubu Konfederasi, maka tidak heran Jenderal Robert E. Lee sebagai pemimpin Kubu Konfederasi menyerah dan Union berhasil menang. Presiden Lincoln pada akhirnya berhasil menyatukan opini publik melalui Pidato Gettysburg yang sangat terkenal. Sayangnya Lincoln lebih dahulu terbunuh oleh salah satu pendukung Konfederasi, sebelum bisa menyelesaikan semua masalah perbudakan kulit hitam ini.[2]

Setelah terbunuhnya Presiden Lincoln, walau perbudakan sudah tiada, namun masih tersisa rasisme terhadap orang kulit hitam. Wilayah utara dan selatan Amerika Serikat masih mempertahankan opini publiknya masing-masing mengenai orang kulit hitam seperti saat Civil War dahulu. 

Hal ini terlihat dengan diterbitkannya sebuah Buku hijau (The Negro Motorist Green Book) ciptaan Victor Hugo Green tahun 1936 bagi orang kulit hitam yang ingin berkelana di wilayah Amerika Serikat bagian selatan yang terkenal sangat rasis.[3] Victor Hugo Green sendiri merupakan seorang pegawai kantor pos keturunan Afro-Amerika yang hidup di zaman diskriminasi ras masih legal.

Green Book ini berisi tempat-tempat mana saja, seperti hotel, rumah makan, dan sebagainya di wilayah selatan Amerika Serikat yang aman bagi kulit hitam dari serangan kulit putih yang menjadi mayoritas di daerah sana. Ada sebuah kisah nyata yang menarik mengenai Green Book ini yang sampai dibuatkan sebuah film yang berhasil memenangkan penghargaan bergengsi Oscar beberapa tahun lalu.

Kisah ini mengenai seorang pemusik kulit hitam, kaya raya, dan terpelajar bernama Dr. Don Shirley yang dengan sengaja membuat tur konser di daerah selatan untuk mencoba melawan opini publik yang mendiskriminasi orang kulit hitam.

Dalam perjalanan tur di selatan itu, Don menyewa Tony Vallelonga alias Tony Lip seorang kulit putih yang pada awalnya bersifat rasis terhadap orang kulit hitam, namun akhirnya sadar akan sifatnya yang salah setelah berbincang selama perjalanan di mobil serta menganggap Don sebagai kawan.

Selama perjalanan tur di selatan itu Don dipuji dan diberi tepuk tangan saat tampil di panggung sebagai musisi yang jenius, namun tetap mendapatkan perilaku rasis karena warna kulit hitamnya.

Selama turnya itu Don sering dilarang menggunakan toilet yang sama dengan orang kulit putih, pianonya diisi dengan sampah, dilarang makan di restoran mewah, dan sebagainya. Pada saat Don mendapatkan diskriminasi, Tony hadir selalu hadir untuk membelanya.

Ada sebuah pesan dari kisah ini, yaitu opini mengenai rasisme ini bukan lahir dari diri sendiri, tapi terbentuk dari opini publik. Ini terlihat pada pandangan Tony yang awalnya rasis terhadap kulit hitam, namun semua pandangan itu berubah semenjak kenal dekat dengan Don yang merupakan orang kulit hitam yang cukup terpelajar dan kaya.

Dalam opini publik, hal ini termasuk dalam Bandwagon Effect Theory yang mana dalam teori ini menjelaskan situasi seseorang yang menyesuaikan diri dengan pendapat mayoritas agar dirinya tidak terisolasi.[4] Teori ini dirasa cocok dalam menjelaskan mengapa orang Amerika Serikat bagian selatan terlihat sangat rasis terhadap orang kulit hitam.

Rasisme di Amerika Serikat mulai meningkat lagi semenjak Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat menggantikan Obama. Dalam pidatonya dan wawancaranya, Trump sangat sering sekali membuat pembicaraan yang bernada rasis seperti yang dilansir dari penelitian Brookings Institution.

Sejak Trump berkuasa juga kekerasan terhadap minoritas serta kejahatan rasial terus tumbuh tinggi yang mana paling tinggi sejak peristiwa 9/11 lalu berdasarkan data dari FBI.

Banyak pengamat yang berpendapat bahwa kemenangan Trump dalam pemilu kemarin akibat warga negara asli Amerika Serikat takut akan pekerjaannya diambil oleh warga imigran yang datang dari luar negeri. Tidak heran makanya jika dalam kampanye, Trump selalu memantik hal-hal yang berbau rasisme, seperti menyebut imigran Meksiko dan orang kulit hitam sebagai penjahat.

Hal seperti ini dilakukan terus-menerus oleh Trump dari masa kampanye sampai sekarang, maka tidak heran jika Hypodermic Needle Theory sangat cocok dalam menjelaskan bagaimana opini publik yang terbentuk dalam masyarakat Amerika Serikat Sekarang. Hypodermic Needle Theory ini diibaratkan sebagai jarum suntik yang disuntikkan secara terus-menerus kepada publik sehingga membentuk suatu opini publik yang seragam.[5] 

Pada akhirnya ini menyebabkan terbentuknya opini publik di Amerika Serikat yang menganggap orang kulit hitam itu penjahat. Terbukti dari adanya beberapa kasus diskriminasi dari polisi semenjak Trump berkuasa, seperti penembakan Stephon Clark sampai meninggal oleh 2 polisi yang mengira dia memegang pistol padahal lagi menelepon di halaman belakang rumah neneknya dan 2 polisi itu yaitu Marcadal dan Robinet tidak dihukum atas perbuatannya.

Kemudian ada penembakan Atatiana Jefferson sampai tewas oleh polisi bernama Aaron Dean yang menerima telepon bahwa pintu rumah Jefferson terbuka dan mengira ada pencurian. Selanjutnya ada Breonna Taylor yang ditembak hingga tewas oleh polisi bernama Jonathan Mattingly, Brett Hankison, dan Myles Cosgorve saat kekasihnya baku tembak dengan polisi.

Terbaru yang sedang viral adalah pembunuhan terhadap George Floyd yang lehernya ditindih sampai tidak bisa bernafas oleh polisi bernama Derek Chauvin saat proses penangkapan dirinya.

Kasus yang terakhir ini berakibat sangat parah sampai menimbulkan beberapa aksi demonstrasi di banyak negara bagian Amerika Serikat sampai berujung penjarahan pada toko-toko barang mewah sampai Presiden Trump sempat diungsikan ke dalam bungker Gedung Putih.

Banyak kasus rasisme ini selama pemerintahan Trump bisa sangat membahayakan bagi Republik dan Trump itu sendiri jika mencalonkan kembali pada Pemilu Amerika Serikat berikutnya. Trump masih mempunyai janji politik pada tahun 2017 yang masih belum ditepati, yaitu menyelesaikan isu ras yang jadi latar belakang terjadinya kerusuhan di Amerika Serikat.

Ditambah lagi dengan masalah banyak warga Amerika Serikat yang kehilangan pekerjaannya akibat pandemi COVID-19 ini menambah suram elektabilitas dari Trump dan Republik jika belum berhasil juga menuntaskan semua masalah yang ada sebelum berlangsungnya pemilu yang rencananya akan diadakan pada 3 November tahun 2020.

Joe Biden yang menjadi jagoan baru dari Demokrat untuk maju menantang Trump pada pemilu esok bisa menggoreng isu-isu mengenai rasialisme dan pengangguran ini sebagai bahan serangan terhadap Trump serta Republik jika Trump belum berhasil mengatasi masalah ini. 

Lebih parah jika Trumph harus merelakan posisinya digantikan oleh Biden akibat banyaknya rakyat Amerika Serikat yang kurang puas dengan kinerja pemerintahannya.

Daftar Pustaka

[1] Morgan, Kenneth. George Washington and the Problem of Slavery. Cambridgeshire: Cambridge University. 2000.

[2] Faidi, A. . GeoAbraham Lincoln. Yogyakarta: Laksana. 2018.

[3] Green, Victor H. . The Negro Motorist Green Book. New York: St. Nicholas Ave. 1938.

[4] Colman, Andrew. Oxford Dictionary of Psychology. New York: Oxford University Press. 2003.

[5] Lowery, Shearon. Milestones in Mass Communication Research: Media Effects. USA: Longman Publishers. 1995.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun