Mohon tunggu...
Muhammad Muhsin Afwan
Muhammad Muhsin Afwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penghulu di Kementrian Agama Kota Dumai

alumni uin suska fakultas syari'ah dan hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Nikah Harus ke KUA?

18 Juni 2022   17:42 Diperbarui: 20 Juni 2022   09:59 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Prolog

Dewasa ini, masyarakat sering dihebohkan dengan beberapa kasus pernikahan siri. Di antaranya pernikahan beda agama yang dilakukan seorang pejabat publik belum lama ini. Peristiwa ini mengundang kritik dan keprihatianan dari berbagai kalangan. Selanjutnya pernikahan yang terjadi antara dua orang wanita di Jambi yang masih hangat diperbincangkan. Ironisnya sang istri EN baru mengetahui bahwa suaminya Er merupakan seorang wanita setelah pernikahan berjalan 10 bulan.  Lantaran merasa ditipu, EN melaporkan Er ke pihak berwajib untuk mempertanggugjawabkan perbuatannya.

Dua kasus di atas merupakan sekelumit dari berbagai problematika akibat pernikahan siri yang tidak tercatat dalam administrasi negara. Sayangnya, sekalipun berbagai fakta telah menunjukkan resiko menikah secara siri, sebagian masyarakat tetap melakukannya tanpa rasa bersalah. Tidak jarang kita mejumpai pasangan yang hidup bersama tanpa memegang bukti pencatatan nikah dari negara.

Pencatatan nikah yang merupakan ketentuan pemerintah di berbagai negara sering dipandang sepele di negeri ini. Segelintir masyarakat memandang pencatatan nikah hanyalah formalitas belaka yang tidak termasuk aspek prinsipil dalam pelaksanaan pernikahan. Akibatnya pernikahan secara siri (tidak tercatat) masih banyak dijumpai di lapangan.

Pandangan di atas didasarkan atas ketentuan fikih klasik yang tidak mengkategorikan pencatatan pernikahan sebagai salah satu syarat maupun rukun nikah. Dengan demikian sebagian oknum memandang pernikahan tetap dipandang sah sekalipun tidak tercatat dalam administrasi negara. Selain itu pernikahan yang tidak tercatat masih mendapat legitimasi di tengah masyarakat, sehingga pasangan suami istri tetap dapat hidup tentram di lingkungannya.

Jika pandangan di atas dibiarkan, maka pernikahan siri yang rentan akan persoalan sulit dicegah. Oleh sebab itu diperlukan edukasi terhadap masyarakat tentang urgensi pencatatan pernikahan beserta kemaslahatan yang terkandung di dalamnya. Tulisan ini bertujuan mengulas secara ringkas tentang pentingnya pencatatan nikah demi mencegah terjadinya nikah siri di Indonesia.

Urgensi Pencatatan Nikah 

Sebagai negara religius yang menjadikan ketuhanan sebagai dasar negara, dalam ketentuan yang berlaku di Indonesia, pernikahan yang sah secara agama dianggap sah dalam ketatanegaraan (UU No 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat 1). Namun, dalam rangka menertibkan pernikahan yang ada, pemerintah menetapkan adanya pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Pencatatan pernikahan merupakan bentuk kehadiran negara sebagai perlindungan terhadap hak asasi warga negara khususnya dalam aspek berkeluarga yang diatur dalam Pasal 28 B UUD 1945. Dalam rangka melaksanakan perlindungan yang optimal, berbagai syarat dan ketentuan ditetapkan demi kebaikan rakyat.

Sejalan dengan upaya perlindungan sebagai fungsi negara, seluruh persyaratan yang ditetapkan dalam administrasi perkawinan sejatinya merupakan pemeliharaan akan terpenuhinya syarat dan rukun yang ada dalam agama. Dokumen-dokumen yang dipersyaratkan merupakan bentuk kehati-hatian yang diajarakan dalam Al Quran sehingga pemerintah dapat menjamin keabsahan pernikahan dan menghindarkan masyarakat dari berbagai kemudharatan. Perintah menghindari kemudharatan secara tegas dinyatakan dalam QS al-Baqarah [2]: 195  berikut ini:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.........

...... dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

At Thabari menukil pendapat sebagian mufassir yang menjelaskan bahwa makna tahlukah (kerusakan) dalam ayat di atas adalah perbuatan dosa yang dilakukan terus menerus tanpa taubat (At Thabari: 1994). Perbuatan dosa bukan sekedar ditinggalkan, akan tetapi umat islam harus menjauhinya karena dosa yang dipikul akibat dosa akan menyebabkan pelakunya sengsara di dunia maupun dikahirat.

Dalam konteks pernikahan, pasangan suami istri yang menikah tanpa memenuhi syarat dan rukun nikah dipandang batal sehingga hubungan yang dilakukan selama pernikahan berstatus zina (Wahbah Zuhaili: 1985). Sebagaimana yang diketahui, zina merupakan salah satu dosa besar yang mendapat ancaman di dunia maupun akhirat. Di samping itu, sanksi sosial berupa pandnagan miring dari masyarakat dan lingkungan juga menanti bagi pelakunya.

Sebagai upaya perlindungan terhadap warga negara dari perbuatan zina, pemerintah menetapkan beberapa persyaratan administrasi pencatatan pernikahan demi menjamin keabsahan pernikahan. Selain jaminan  akan keabsahan nikah, pencatatan pernikahan juga menghadirkan kepastian hukum bagi pasangan suami istri. Dengan demikian potensi pelanggaran terhadap hak dan kewajiban suami-istri dapat diminimalisir. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan slaah satu pihak, maka negara dapat menjadi tempat pengaduan dan pemecahan masalah.

Semangat menghindari kerusakan dan kemudharatan telah dirumuskan dalam kaidah fikih yang berbunyi:

الضَّرَارُ يُزَالُ

Artinya : "kemudharatan harus dihilangkan".

Pencegahan akan potensi kemudharatan yang dilakukan pemerintah melalui aturan yang ada sudah seharusnya ditaati umat Islam. Seorang muslim seharusnya tidak membahayakan dirinya dengan melaksanakan pernikahan di luar jaminan negara yang rentan akan persoalan dan kecatatan hukum. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW berikut ini:

لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ

Artinya: Seorang muslim dilarang memberi kemudharatan kepada orang lain atau membiarkan dirinya dalam kemudharatan (HR Ibnu Majah no. 2340)

Hadits di atas secara jelas menetapkan larangan bagi setiap muslim untuk mendekati atau menjerumuskan dirinya dalam kemudharatan.   Dalam persoalan nikah siri, tentu banyak mudharat yang menanti bagi pelakunya. Agar lebih mempermudah pemahaman pembaca penulis paparkan beberapa keruskaan yang ditimbulkan nikah siri berikut ini.

Pertama ketiadaan jaminan akan keabsahan pernikahan secara agama. Melalui para penghulu yang ditugaskan di Kantor Urusan Agama (KUA) pemerintah telah mendelegasikan tugas pelayanan dan pengawasan nikah agar sesuai dengan hukum agama Islam yang dianut mayoritas rakyat Indonesia. Penghulu yang ditugaskan telah melalui seleksi ketat dan pelatihan sehingga dipandang cakap dan layak untuk mengemban tugasnya. Dengan menikah secara siri, kedua mempelai secara tidak langsung menjerumuskan dirinya dalam pernikahan yang berpotensi cacat secara hukum agama.

Kedua, perkawinan yang dilakukan tidak diakui dalam administrasi negara. dengan demikian jika terjadi pelanggaran terhadap hak pasangan dan anak, sulit meminta pertanggung jawaban. Dalam konteks ini pihak yang paling dirugikan adalah istri. Di mana seorang wanita dapat ditinggalkan sewaktu-waktu oleh suaminya ata tidak diberi nafkah dalam waktu yang lama. Sungguh ironis ketika ada seorang wanita yang dengan sengaja dan rela dinikahi pria secara siri.

Ketiga, ketidakjelasan status kedua mempelai. Sebagaimana yang diketahui, di Indonesia poligami memiliki persyaratan yang ketat sehingga sulit dilakukan melalui pencatatan resmi. Tidak jarang segelintir oknum tidak bertanggung jawab menjadikan nikah siri sebagai jalan pintas untuk berpoligami. Selain itu, pernikahan sejenis juga berpotensi terjadi melalui nikah siri. Tanpa pemeriksaan yang jelas dna sistematis, sulit dikatehui secara jeals status dan jenis kelamin kedua mempelai. Sehingga seorang wanita berpotensi menikah dengan wanita begitupun halnya dengan pria.  

Berbagai kemudharatan di atas menunjukkan rentannya kerusakan bila nikah siri dilaksanakan. Dengan demikian eksistensi pencatatan perkawinan menjadi sangat esensial sekalipun tidak ditetapkan dalam fikih klasik. Dalam fikih, hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat dan kondisi. Sebagaimana yang dirumuskan ulama dalam kaidah:

:

لا ينكر تغير الاحكام بتغير الا زمان و الامكان و الاحوال

Artinya: "tidak (dapat) diingkari karena hukum berubah karena perubahan waktu tempat dan keadaan"

Kesimpulan

            Sekalipun pencatatan perkawinan tidak diatur dalam fikih klasik, kondisi hari ini mengharuskan adanya jaminan akan keabsahan nikah dari negara. Oleh sebab itu, masyarakat harus membuang paradigma keliru tentang administrasi pernikahan yang diterapkan di KUA kecamatan. Tujuannya semata-mata memberi perlindungan kepada masyarakat khususnya kedua mempelai.

           

DAFTAR PUSTAKA

At-Thabari, Jami' al-Bayan 'an at-Ta'wil Ayat al-Quran, (Beirut: Yayasan ar-Risalah, 1994). Jilid 2.

Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah.( Jakarta: (Raja Grafindo Persada.2002) cet II.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pencatatan Perkawinan

Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-'Aqidah wa as-Syari'ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar Fikr, 2003). Jilid 1.

Abu Daud,  Sunan Abi Daud, ( Mesir: Maktabah Syarikah wa Matba'ah al-Musthafa, 1952). Jilid. 6.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun