Pertama ketiadaan jaminan akan keabsahan pernikahan secara agama. Melalui para penghulu yang ditugaskan di Kantor Urusan Agama (KUA) pemerintah telah mendelegasikan tugas pelayanan dan pengawasan nikah agar sesuai dengan hukum agama Islam yang dianut mayoritas rakyat Indonesia. Penghulu yang ditugaskan telah melalui seleksi ketat dan pelatihan sehingga dipandang cakap dan layak untuk mengemban tugasnya. Dengan menikah secara siri, kedua mempelai secara tidak langsung menjerumuskan dirinya dalam pernikahan yang berpotensi cacat secara hukum agama.
Kedua, perkawinan yang dilakukan tidak diakui dalam administrasi negara. dengan demikian jika terjadi pelanggaran terhadap hak pasangan dan anak, sulit meminta pertanggung jawaban. Dalam konteks ini pihak yang paling dirugikan adalah istri. Di mana seorang wanita dapat ditinggalkan sewaktu-waktu oleh suaminya ata tidak diberi nafkah dalam waktu yang lama. Sungguh ironis ketika ada seorang wanita yang dengan sengaja dan rela dinikahi pria secara siri.
Ketiga, ketidakjelasan status kedua mempelai. Sebagaimana yang diketahui, di Indonesia poligami memiliki persyaratan yang ketat sehingga sulit dilakukan melalui pencatatan resmi. Tidak jarang segelintir oknum tidak bertanggung jawab menjadikan nikah siri sebagai jalan pintas untuk berpoligami. Selain itu, pernikahan sejenis juga berpotensi terjadi melalui nikah siri. Tanpa pemeriksaan yang jelas dna sistematis, sulit dikatehui secara jeals status dan jenis kelamin kedua mempelai. Sehingga seorang wanita berpotensi menikah dengan wanita begitupun halnya dengan pria. Â
Berbagai kemudharatan di atas menunjukkan rentannya kerusakan bila nikah siri dilaksanakan. Dengan demikian eksistensi pencatatan perkawinan menjadi sangat esensial sekalipun tidak ditetapkan dalam fikih klasik. Dalam fikih, hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat dan kondisi. Sebagaimana yang dirumuskan ulama dalam kaidah:
:
لا ينكر تغير الاØكام بتغير الا زمان Ùˆ الامكان Ùˆ الاØوال
Artinya: "tidak (dapat) diingkari karena hukum berubah karena perubahan waktu tempat dan keadaan"
Kesimpulan
      Sekalipun pencatatan perkawinan tidak diatur dalam fikih klasik, kondisi hari ini mengharuskan adanya jaminan akan keabsahan nikah dari negara. Oleh sebab itu, masyarakat harus membuang paradigma keliru tentang administrasi pernikahan yang diterapkan di KUA kecamatan. Tujuannya semata-mata memberi perlindungan kepada masyarakat khususnya kedua mempelai.
     Â
DAFTAR PUSTAKA