Hakim akhirnya buka suara, "Baiklah, sudah cukup. Sebelum saya putuskan, saya ingin bertanya pada Terdakwa. Tuhan, apa pembelaan-Mu?"
Untuk pertama kalinya, Tuhan bicara. Suara-Nya lembut namun menggelegar:
"Aku menciptakan kalian dengan akal dan hati. Gunakanlah keduanya dengan bijak. Temukan sendiri jawabannya."
Booom! Tiba-tiba pengadilan lenyap. Iman, Oma Bijak, Ragu, dan semua yang hadir terbangun di tempat tidur masing-masing.
Mimpi? Atau pesan?
Di suatu tempat, Tuhan tersenyum. Ah, manusia. Makhluk-Nya yang paling lucu.
Nah, bagaimana? Puas dengan dongeng receh ini? Atau malah merasa tertusuk? Jangan khawatir, rasa sakit itu tanda Anda masih hidup. Atau setidaknya, masih punya ego yang perlu dibelai.
Lucu ya, bagaimana kita, makhluk yang bahkan tidak bisa menciptakan nyamuk, berani menghakimi Sang Pencipta alam semesta. Seperti bakteri yang protes kenapa petri dish-nya tidak seperti yang dia mau. Absurd? Memang. Tapi begitulah manusia. Sok tahu adalah nama tengah kita.
Oh, dan para ateis yang merasa paling pintar sedunia? Tenang, ini bukan serangan pribadi. Anggap saja ini... cermin. Cermin yang memantulkan betapa konyolnya kita ketika merasa tahu segalanya. Padahal, jangankan memahami Tuhan, memahami diri sendiri saja masih sering gagal.
Tapi hei, mungkin memang itu pointnya. Mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk tahu segalanya. Mungkin justru dalam ketidaktahuan itu, kita bisa menemukan keajaiban hidup. Seperti anak kecil yang takjub melihat pelangi, tanpa perlu tahu fenomena refraksi cahaya.
Jadi, lain kali sebelum Anda berteriak "Tuhan itu kejam!" atau "Agama itu omong kosong!", coba tanya diri sendiri: "Apa aku ini Tuhan? Apa aku tahu segalanya?"