Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah beberapa kali mengungkapkan optimisme dan prasangka keyakinan bahwa Indonesia akan mampu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan pada 2045 ketika negara ini merayakan hari jadinya yang ke-100. Ia berpandangan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen pertahun dan menyerap investasi asing sebesar 4,8 triliun setahun, Indonesia bisa mencapai kemiskinan nol persen dan pendapatan per kapita Rp 27 juta per bulan pada 2045. Kandidat presiden saingannya Prabowo Subianto pun memiliki pandangan dan target serupa untuk 2045.
Para elit politik Tanah Air ini terjebak dalam prasangka bahwa kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dapat dicapai dengan secara keliru mengandalkan dua modal utama yakni bonus demografi dan sumber daya alam yang melimpah. Kepercayaan bahwa jumlah penduduk usia produktif yang besar dan ketersediaan kekayaan alam berlimpah, bisa mengangkat Indonesia menjadi negara maju sangat keliru dan tidak didukung bukti sejarah.
Keyakinan tersebut merupakan kelanjutan gagasan pemerintahan Orde Baru yang telah terbukti salah dan menyesatkan. Sebab, sejarah tidak akan berulang dalam peristiwanya, namun fenomenanya sering kali identik. Dengan demikian, kesalahan masa lalu patut dijadikan pelajaran agar tidak diulangi lagi di masa kini. Jika tidak, kita akan terperangkap dalam "cycle of error" di mana kesalahan yang sama terus menerus diperbuat.
Meski segala sesuatu bersifat tidak linier, namun ada kesamaan kondisi Indonesia dengan Cina dan Korea Selatan pada 1960an. Ketiga negara merdeka dari kolonialisme dan mengalami revolusi sebelumnya. Pada masa itu, tingkat kemakmuran rakyat ketiganya relatif sama. Hanya dalam waktu 10 tahun sejak 1960an, Korea Selatan dan Cina telah melakukan lompatan besar dalam hal industrialisasi dan pembaharuan mindset. Dengan bangkitnya Cina pada 1990an, Indonesia tertinggal jauh dalam perkembangannya.
Setengah abad yang lalu, Korea Selatan fokus meniru dan menandingi langkah Jepang dalam hal industrialisasi. Saat itu juga muncul konglomerat raksasa Korea Selatan seperti Samsung. Sementara Cina, meski masih dalam sistem pemerintahan komunis, membuka sektor ekonominya dan melakukan reformasi berpikir dengan memasukkan unsur kapitalisme.
Indonesia pada 1970an saat dipimpin Presiden Soeharto malah buta akan tren global dan tetap terkungkung cita-cita nasionalisme ekonomi. Alih-alih membuka pikiran dan mulai industrialisasi, yang dilakukan pemerintahan Soeharto hanyalah menyedot investasi asing sebanyak mungkin dengan mengandalkan jumlah sumber daya alam melimpah dan rakyat banyak sebagai tenaga kerja murah.
Sejumlah merek otomotif Jepang seperti Toyota dan Honda masuk. Demikian pula perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang akhirnya bangkrut. Pada 1985, Indonesia bahkan sempat bisa swasembada beras. Soeharto kemudian dengan bangga menyatakan telah berhasil memberi makan seluruh rakyat Indonesia. Namun yang terjadi sesungguhnya, kekayaan alam dan tenaga kerja Indonesia hanya dieksploitasi demi kepentingan asing.
Akibatnya pada akhir 1990an ketika terjadi krisis ekonomi, Indonesia mengalami keruntuhan yang parah. Ternyata selama ini, uang cadangan devisa negara sangat minim akibat utang berlipat ganda. Sementara bangsa lain bisa bangkit kembali, Indonesia tenggelam dalam perebutan kekuasaan yang memperparah kemunduran.
Andai waktu bisa diputar kembali, Indonesia sesungguhnya bisa melakukan industrialisasi dan pembaruan pola pikir seperti Korea Selatan dan Cina. Sektor pertanian tetap menjadi tulang punggung, tetapi tidak perlu menjual sumber daya alam dan tenaga kerja murah ke korporasi asing. Nilai tambah dari hasil kekayaan alam semestinya bisa lebih optimal jika pengelolaannya dilakukan anak bangsa sendiri dengan teknologi yang terus disempurnakan.
Sayangnya, waktu terus berjalan tanpa menunggu siapapun. Kini Jepang, Korea, dan Cina bahkan mulai mengalami tren penurunan produktivitas akibat overeksploitasi sumber daya manusia sendiri. Namun keunggulan mutlak mereka di sektor teknologi, membuat bangsa lain sulit menyaingi apalagi melampaui.
Contohnya, Cina kini memproduksi komponen energi terbarukan yang membuat Indonesia harus bergantung impor untuk kebutuhan energi nasional. Jepang telah mampu membuat teknologi robotic canggih dan Korea Selatan mengembangkan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Adapun Amerika Serikat fokus pada komputasi kuantum (quantum computer).