Mohon tunggu...
Muhammad Rafif
Muhammad Rafif Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa

Selama belum masuk ke liang lahat, selama itu pula kewajiban menulis harus ditunaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajarlah untuk Menjadi Pendengar yang Baik!

27 Januari 2024   14:51 Diperbarui: 28 Januari 2024   00:32 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar: diolah penulis dari

Tuhan menciptakan dua telinga dan satu lidah untukku agar aku lebih banyak mendengar daripada berbicara -Socrates-

Sekitar 10 tahun yang lalu, -waktu itu saya masih berumur 12 tahun- saya pernah menonton sebuah program perbincangan di salah satu stasiun televisi yang disiarkan langsung pada pagi hari. Bahkan program itu masih tetap eksis hingga sekarang.

Pada saat itu, hadir dua orang narasumber yang membicarakan dan beradu argumen tentang permasalahan 'operasionalisasi hiburan malam selama Ramadhan'.

Pada mulanya, diskusi yang dipandu oleh dua orang presenter itu berjalan dengan lancar dan sehat. Namun, ketika perbincangan itu semakin menunjukkan tensi yang tinggi dan dua orang narasumber itu saling sanggah menyanggahi tanpa ada yang mau bersedia mendengarkan terlebih dahulu, tiba-tiba saja emosi dari salah satu narasumber tersebut terpancing yang mengakibatkan ia menyiramkan minuman yang ada di gelasnya ke wajah lawan bicaranya.

Acapkali kita beinteraksi dan saling berdiskusi secara langsung dengan kawan kita. Bahkan tak jarang, kita pun juga sering berkomunikasi dengannya melalui telponan di WhatsApp.

Tentu saja ketika kita berinteraksi dengan kawan, ada saatnya kita bersuara dan kawan kita yang mendengarkan, dan sebaliknya ada juga momen dimana kita mendengarkan, kawan kita yang berbicara. Begitulah normalnya ketika kita sedang berkomunikasi ataupun berdialog dengan yang lain.

Akan tetapi, apabila dicermati langsung dalam kehidupan yang kita lalui, masih banyak ditemukan dimana seseorang hanya menggunakan mulutnya untuk berbicara, namun setelah ia berbicara, ia tidak mau memfungsikan telinganya untuk mendengarkan dengan setia lawan bicaranya.

Hal itu sering kita temui baik ketika acara diskusi di televisi, dalam relasi suami istri, maupun curhat dengan teman yang kita percayai.

Sebagaimana yang sudah saya ceritakan di pembuka tulisan ini, kita bisa melihat bagaimana kualitas komunikasi dari dua orang narasumber di acara televisi tersebut. Dua-duanya saling menginterupsi tanpa ada yang mau mendengarkan.

Tentu diskusi semacam itu tidak akan menarik dan memuaskan, sebab yang kita tonton hanyalah pertemuan dua ego, tanpa adanya isi, dan berakhir dengan suatu tindakan yang seharusnya tidak pantas untuk dilakukan (menyiram minuman ke lawan bicara).

Gejala tidak mau mendengarkan lawan bicara atau memotong pembicaraannya tanpa sabar akan menimbulkan pada rusaknya hubungan kita dengan orang lain tersebut. 

Sudah pasti rasa jengkel dan merasa tidak nyaman akan mewarnai model interaksi semacam itu. Tentu sikap tidak mau mendengarkan ini akan berbahaya apabila telah mendarah daging dan menjadi habit kita dalam berinteraksi. 

Padahal kalau kita lebih bersikap sedikit sabar dan membiarkan lawan bicara kita menyelesaikan pembicaraannya, tentu itu jauh lebih baik untuk dilihat. Dan pastinya tidak akan ada konflik dan pertikaian di dalamnya.

Interaksi kita dengan siapapun itu akan berjalan damai dan efektif, tatkala kita mencoba sama-sama saling mendengarkan dengan baik. Relasi suami istri misalnya, ketika mereka menerapkan metode komunikasi yang saling mendengarkan, maka hubungan rumah tangga mereka akan selalu harmonis dan menyenangkan. Sebab, ketika mereka saling mendengarkan, maka mereka otomatis akan saling mengerti, dan ketika ada problem dalam rumah tangga, hal itu bisa dengan cepat teratasi.

Dalam relasi pertemanan begitu juga, kita juga harus saling mendengarkan teman kita yang sedang berbicara apalagi ketika ia sedang curhat dan butuh keberadaan kita. 

Seorang teman yang baik ialah seseorang yang mampu mendengarkan temannya dalam situasi apapun, baik ketika ia menceritakan kesenangannya apalagi menceritakan kesedihannya atau permasalahannya. 

Walaupun ketika teman kita bercerita, kita mungkin tidak memberikan nasihat dan jalan keluar untuk curhatannya, tetapi hal itu jauh lebih baik daripada ketika kita memberikan nasihat yang membuat ia menjadi tambah ruwet dan drop. Apalagi ketika kita menimpali jawaban dengan, "lu mah masih mending bro, gua lebih parah, asal lu tau aja inimah", sudah dipastikan teman kita akan menjauh dari kita.

Padahal kalau kita benar-benar mengamati, mendengarkan dengan baik merupakan suatu tindakan yang begitu menguntungkan dan juga mulia. Sebab, ketika kita mendengarkan dalam ranah diskusi, kita otomatis akan mendapatkan banyak informasi bahkan pengetahuan dari sosok yang berbicara. 

Selain itu, ketika kita bisa menjadi pendengar yang baik, kita akan menjadi penyelamat dalam kehidupan orang lain. Mungkin kita tidak sadar, ketika kita mendengarkan dengan setia curhatan teman kita yang sedang tak tentu arah hidupnya, sebenarnya keberadaan kita secara tidak langsung menyelamatkan ia dari tindakan suicide. Tentu kita sudah melihat fenomena hari ini di berita-berita yang ada, berapa banyak mahasiswa atau remaja yang bunuh diri dikarenakan stress dan depresi.

Memang pada faktanya, mendengar dengan baik merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk dipraktikkan. Akan tetapi, kita bisa saja dengan mudah menjadi pendengar yang baik, ketika kita giat melatih diri. 

Sebagaimana seseorang yang ahli dalam berpidato dan orasi, mereka bisa mahir seperti itu, bukan karena bawaan dari lahir, namun karena mereka berlatih dan belajar. Dan tentu saja mendengar dengan baik merupakan suatu keterampilan yang bisa kita asah.

Oleh karena itu, teruslah belajar menjadi pendengar yang baik. Cobalah pasang telinga kita dengan baik dalam mendengarkan orang lain sebagaimana ketika kita mendengarkan musik yang penuh dengan kesyahduan. Saya pernah mendengar satu cerita tentang syamail (akhlak dan sifat) Nabi Muhammad Saw. Semasa hidupnya dahulu, beliau merupakan seseorang yang lebih banyak mendengar daripada berbicara. 

Ketika sedang berdialog bersama sahabatnya atau tamu yang datang kepadanya, Rasulullah Saw benar-benar memberikan telinganya kepada seseorang yang berbicara kepadanya, sehingga seseorang yang berbicara di hadapan beliau merasa bahwa dialah orang yang paling spesial dan Istimewa.

Beginilah seharusnya sikap yang kita kedepankan ketika berinteraksi dengan siapapun, sehingga ketika kawan kita atau orang lain mengajak bicara kita, kita dapat membuat mereka tetap menjadi nyaman dan santai bersama kita. Saya meyakini, bahwa ketika kita berusaha menjadi pendengar yang baik, maka kita akan disayangi, dihargai, dan dicintai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun