Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Narasi Politik di Balik 'Politikus Sontoloyo' dan 'Tampang Boyolali'

7 November 2018   10:58 Diperbarui: 7 November 2018   11:24 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki tahun politik 2019, salah satu bagian yang menarik dalam ajang lima tahunan pesta demokrasi Indonesia ini ialah bagaimana calon presiden dan wakil presiden menyampaikan narasi-narasi politik guna mengambil simpati masyarakat dan juga sebagai "alat perang" diantara dua kubu, Prabowo-Sandiaga Uno dan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Jika kita melihat dan menganalisis lebih jauh narasi politik yang kerap digaungkan oleh kedua kubu, baik di media cetak, televisi, dan juga media online, sangatlah bertolak belakang. 

Jokowi sebagai petahana, kerap melontarkan narasi optimistik terhadap masa depan Indonesia, hal ini ditunjukkannya dengan klaim pembangunan infrastruktur yang maju dengan sangat pesat dan juga berhasil menurunkan angka kemiskinan di masa pemerintahannya. 

Tidak cukup di situ, Jokowi dalam berbagai kesempatan juga menyampaikan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.

Sebaliknya, kubu Prabowo yang berada pada kelompok oposisi cenderung memilih narasi politik yang menggambarkan pesimistis terhadap kondisi negara di masa pemerintahan Jokowi. 

Salah satu narasi yang kerap dilontarkan oleh kelompok oposisi yakni hutang negara yang semakin meningkat, masalah lapangan pekerjaan, kuasa asing pada sektor tambang, dan yang paling fenomenal yakni statement Prabowo yang mengatakan 2030 Indonesia akan bubar.

'Politikus Sontoloyo' Vs 'Tampang Boyolali'

Narasi politik yang bersebrangan antara kedua kubu semakin memanas, misalnya pada tanggal 22 Oktober 2018 dalam acara pembagian 5.000 sertifikat tanah di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jokowi mengatakan, masyarakat harus berhati-hati, banyak politikus yang baik-baik, namun ada juga politikus yang 'sontoloyo'. 

Tafsir dari kalimat 'sontoloyo' ini ini disampaikan Jokowi berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang menggelontorkan anggaran 3 Triliun Rupiah untuk dana kelurahan pada tahun 2019 yang akan datang. Kebijakan tersebut, menurut Jokowi dilihat oleh kelompok oposisi sebagai suatu kebijakan yang negatif.

Seperti yang dilontarkan oleh Fadli Zon, wakil ketua DPR RI, pemerintah dalam membuat kebijakan tersebut tidak memiliki payung hukum yang jelas, dan penuh akan syarat kepentingan dalam membangun citra politik Jokowi dalam ajang kontestasi politik 2019.

Seakan membela diri, Jokowi menuturkan bahwa langkah tersebut diambil guna mempercepat pembangunan ekonomi dan infrastruktur di daerah, tidak ada kaitannya dengan tahun politik. 

Selain itu, Jokowi juga mengklaim, selama masa pemerintahannya kerap diserang oleh kubu oposisi dengan lima isu, diantaranya sebagai antek asing, Indonesia banyak mengambil tenaga kerja asing dari China, isu PKI, kriminalisasi ulama, hingga kepentingan politik di balik pembebasan suramadu.

Tidak berjarak lama dari statement Jokowi mengenai 'politikus sontoloyo', Prabowo dalam pidatonya ketika meresmikan posko pemenangan di Kabupaten Boyolali pada Selasa 30 Oktober 2018 kembali membahas mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang semakin rendah. 

Prabowo mengambil perumpamaan wajah masyarakat Boyolali yang belum merasakan kesejahteraan, dan tidak pernah menginjakkan kaki ke hotel-hotel dan mall yang megah. Karena bagi Prabowo, hotel-hotel dan mall tersebut hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang kaya.

"Kalian kalau masuk, mungkin kalian diusir. Tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang-tampang kalian ya tampang orang Boyolali ini. Betul?," kata Prabowo kepada para pendukungnya.

Kemudian, pidato "tampang boyolali" yang disampaikan oleh Prabowo tersebut menjadi serangan kubu petahana. Seperti yang dilontarkan oleh Abdul Kadir Karding, wakil ketua tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin, pernyataan Prabowo telah menyinggung perasaan masyarakat Boyolali. Dan pernyataan tersebut, menurut Kadir tidak pantas diucapkan oleh pempimpin seperti Prabowo.

"Ini menunjukkan bahwa idiom soal kaya-miskin, idiom soal penghinaan, terus dipakai dalam berkampanye, dan itu bisa dianggap sebagai kampanye yang mengarah kepada unsur-unsur yang sifatnya rasial atau rasis," tutur Kadir kepada awak media pada Sabtu 3 November 2018.

Paradoks Narasi Politik 

Jika menelaah kedua narasi yang acap kali dilontarkan oleh kedua kubu merupakan sebuah narasi yang tidak utuh. Klaim yang kerap disampaikan kubu petahana bahwa negara dalam kondisi yang aman, sejahtera, juga perlu dikritisi. 

Jika melihat realitas yang saat ini terjadi, negara tidak berada pada kondisi aman-aman saja. Tingkat pengangguran meningkat, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar masih belum dapat teratasi, hingga bahan sembako yang semakin mahal.

Meski demikian, menarasikan bahwa negara tengah dalam kondisi darurat, hutang negara semakin meningkat, dan mengutarakan segudang masalah negara lainnya kepada publik tidak lah sepenuhnya dapat dibenarkan.

Jika hal ini terus-terusan disampaikan, dikhawatirkan akan menghadirkan generasi bangsa yang pesimistik terhadap kemajuan bangsanya.

Seperti mengutip buku The Politics of Fear: What Right-Wing Populist Discourses Mean, karya Ruth Wodak, bahwa narasi politik berbasis ketakutan, pesimisme, dan kemarahan merupakan fenomena politik yang berkembang di sejumlah negara Eropa di awal abad ke-20. 

Ruth menuturkan bahwa fenomena ini menjadi kebangkitan gerakan populisme sayap kanan di sejumlah negara Eropa yang dimotori oleh golongan konservatif. Kelompok kanan-konservatif menggunakan isu imigran, terorisme, bahkan liberalisme untuk menyerang pemerintah yang beraliran progresif.

Jika menarik hal ini ke kondisi Indonesia, kebangkitan politik identitas yang disusul dengan kebangkitan populisme konservatif telah melahirkan gelombang anti-pemerintah. 

Hampir sama dengan di Eropa, di Indonesia, konsumen utama narasi politik ketakutan, pesimisme dan kemarahan pun sebagian besar adalah kelompok konservatif.

Yang menjadi korban dalam narasi politik dari kedua kubu ialah masyarakat. Paradoks narasi politik tersebut menjadi beban tersendiri bagi masyarakat, manakah narasi yang dapat dipercaya?

Seharusnya, Jokowi sebagai petahana harus jujur terhadap masyarakat mengenai kondisi bangsa. 

Masyarakat tidak hanya terus-terusan dipertontonkan kemajuan infrastruktur, namun juga perlu mengetahui apa sesungguhnya yang tengah terjadi di tubuh bangsa ini, dengan ini maka kejujuran seorang pemimpin diperlukan. Negara yang seakan baik-baik saja akan menjadi semu, ketika masyarakat dihadapkan dengan kondisi yang bertolak belakang.

Begitu pula dengan kubu oposisi, kritik merupakan suatu yang baik jika disampaikan dengan cara yang baik dan bersifat membangun dengan disertai data-data yang relevan dan aktual. 

Tidak dengan menebar jaring pesimistik kepada masyarakat yang tengah rapuh tanpa diiringi dengan solusi atas setiap permasalahan tersebut, terlebih dengan narasi-narasi yang tidak sesuai terhadap realita yang ada. Membangun harapan yang baru dengan pola komunikasi yang baik, jujur, serta responsive, akan memberikan pencerahan tersendiri bagi masyarakat.

Akan sampai sejauh mana aktor politik memainkan paradoks narasi politik ini?

                                                                                                                     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun