Selain itu, Jokowi juga mengklaim, selama masa pemerintahannya kerap diserang oleh kubu oposisi dengan lima isu, diantaranya sebagai antek asing, Indonesia banyak mengambil tenaga kerja asing dari China, isu PKI, kriminalisasi ulama, hingga kepentingan politik di balik pembebasan suramadu.
Tidak berjarak lama dari statement Jokowi mengenai 'politikus sontoloyo', Prabowo dalam pidatonya ketika meresmikan posko pemenangan di Kabupaten Boyolali pada Selasa 30 Oktober 2018 kembali membahas mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang semakin rendah.Â
Prabowo mengambil perumpamaan wajah masyarakat Boyolali yang belum merasakan kesejahteraan, dan tidak pernah menginjakkan kaki ke hotel-hotel dan mall yang megah. Karena bagi Prabowo, hotel-hotel dan mall tersebut hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang kaya.
"Kalian kalau masuk, mungkin kalian diusir. Tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang-tampang kalian ya tampang orang Boyolali ini. Betul?," kata Prabowo kepada para pendukungnya.
Kemudian, pidato "tampang boyolali" yang disampaikan oleh Prabowo tersebut menjadi serangan kubu petahana. Seperti yang dilontarkan oleh Abdul Kadir Karding, wakil ketua tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin, pernyataan Prabowo telah menyinggung perasaan masyarakat Boyolali. Dan pernyataan tersebut, menurut Kadir tidak pantas diucapkan oleh pempimpin seperti Prabowo.
"Ini menunjukkan bahwa idiom soal kaya-miskin, idiom soal penghinaan, terus dipakai dalam berkampanye, dan itu bisa dianggap sebagai kampanye yang mengarah kepada unsur-unsur yang sifatnya rasial atau rasis," tutur Kadir kepada awak media pada Sabtu 3 November 2018.
Paradoks Narasi PolitikÂ
Jika menelaah kedua narasi yang acap kali dilontarkan oleh kedua kubu merupakan sebuah narasi yang tidak utuh. Klaim yang kerap disampaikan kubu petahana bahwa negara dalam kondisi yang aman, sejahtera, juga perlu dikritisi.Â
Jika melihat realitas yang saat ini terjadi, negara tidak berada pada kondisi aman-aman saja. Tingkat pengangguran meningkat, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar masih belum dapat teratasi, hingga bahan sembako yang semakin mahal.
Meski demikian, menarasikan bahwa negara tengah dalam kondisi darurat, hutang negara semakin meningkat, dan mengutarakan segudang masalah negara lainnya kepada publik tidak lah sepenuhnya dapat dibenarkan.
Jika hal ini terus-terusan disampaikan, dikhawatirkan akan menghadirkan generasi bangsa yang pesimistik terhadap kemajuan bangsanya.