Seperti mengutip buku The Politics of Fear: What Right-Wing Populist Discourses Mean, karya Ruth Wodak, bahwa narasi politik berbasis ketakutan, pesimisme, dan kemarahan merupakan fenomena politik yang berkembang di sejumlah negara Eropa di awal abad ke-20.Â
Ruth menuturkan bahwa fenomena ini menjadi kebangkitan gerakan populisme sayap kanan di sejumlah negara Eropa yang dimotori oleh golongan konservatif. Kelompok kanan-konservatif menggunakan isu imigran, terorisme, bahkan liberalisme untuk menyerang pemerintah yang beraliran progresif.
Jika menarik hal ini ke kondisi Indonesia, kebangkitan politik identitas yang disusul dengan kebangkitan populisme konservatif telah melahirkan gelombang anti-pemerintah.Â
Hampir sama dengan di Eropa, di Indonesia, konsumen utama narasi politik ketakutan, pesimisme dan kemarahan pun sebagian besar adalah kelompok konservatif.
Yang menjadi korban dalam narasi politik dari kedua kubu ialah masyarakat. Paradoks narasi politik tersebut menjadi beban tersendiri bagi masyarakat, manakah narasi yang dapat dipercaya?
Seharusnya, Jokowi sebagai petahana harus jujur terhadap masyarakat mengenai kondisi bangsa.Â
Masyarakat tidak hanya terus-terusan dipertontonkan kemajuan infrastruktur, namun juga perlu mengetahui apa sesungguhnya yang tengah terjadi di tubuh bangsa ini, dengan ini maka kejujuran seorang pemimpin diperlukan. Negara yang seakan baik-baik saja akan menjadi semu, ketika masyarakat dihadapkan dengan kondisi yang bertolak belakang.
Begitu pula dengan kubu oposisi, kritik merupakan suatu yang baik jika disampaikan dengan cara yang baik dan bersifat membangun dengan disertai data-data yang relevan dan aktual.Â
Tidak dengan menebar jaring pesimistik kepada masyarakat yang tengah rapuh tanpa diiringi dengan solusi atas setiap permasalahan tersebut, terlebih dengan narasi-narasi yang tidak sesuai terhadap realita yang ada. Membangun harapan yang baru dengan pola komunikasi yang baik, jujur, serta responsive, akan memberikan pencerahan tersendiri bagi masyarakat.
Akan sampai sejauh mana aktor politik memainkan paradoks narasi politik ini?
                                                          Â