Mohon tunggu...
Muhammad ArdiansyahPutra
Muhammad ArdiansyahPutra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Foto Tidak Bermakna

Bagi saya keadilan sama dengan kemalasan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Kisah di Dalam Bus

31 Januari 2021   21:41 Diperbarui: 31 Januari 2021   21:51 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah bus berwarna putih bercorak biru mengarah ke sebuah terminal. Lampunya masih menyala terang. Padahal waktu itu keadaan sudah tidak petang lagi. Panas. Warung milik Bu Indri saja sudah dipasang tenda. Takut kalau-kalau pelanggannya pada lari ke tempat makan lain karena tempatnya yang mengarah lurus dengan sinar matahari. Orang-orang yang sedari tadi mengantri karcis juga mulai mengibas-ngibaskan apa saja ke tubuhnya yang keringatan. Tak tahan hawa panas yang menusuk. Ditambah ramainya pengunjung di terminal saat itu. Ada juga orang-orang yang berbondong-bondong untuk mandi di wc umum karena tak tahan panasnya matahari. Lain halnya dengan orang yang sedang berjajar menunggu giliran wc umum itu sambil mengusap keringatnya yang bercucuran dengan lengan bajunya.

Beda lagi dengan keadaan yang ada di dalam bus. Mesinnya menyala, supirnya tak ada. Beberapa orang yang ada di dalam bus itu mengeluh. Ada yang ngedumel. Sempat ada yang uring-uringan dengan kernetnya yang dari tadi hanya duduk santai di kursi paling depan. Tapi kernet itu masih tak menghiraukan omangan pedas dari seorang wanita setengah baya itu. Kernet tersebut masih asik dengan siulannya. Namun ada juga suara pedagang asongan berlalu lalang menawarkan dangannya.

“Pak! Buk! Monggo kacange wonten, ngombene wonten, lumpia ngge wonten, mentore ngge wonten. Monggo ditumbas!” Suara pedangan asongan yang sangat lantang sekali. Membangunkan lelaki kurus hitam yang ketiduran. Wajahnya masih pucat. Bajunya yang lusuh basah kuyub terkena iler.

“Mas! Kacangnya berapaan?”

setunggal ewu mawon, pak!”

“beli, lima mas?”

Enjeh, pak,” sambil menyodorkan kacang.

Waktu yang sekian lama, supir tersebut belum juga datang. Semakin banyak orang yang masuk dalam bus itu malah membuat parah keadaan. Banyak orang yang memilih untuk menunggu di luar sambil membeli minuman. Ada pula orang yang menunggu sopir sambil menghisap rokok, lalu mengebulkan asap itu ke arah depan. Sontak membuat Lelaki yang berbadan kekar yang duduk di depannya menjadi risih. Ia segera menutup hidungnya. Menutup rapat dengan tangannya yang dipenuhi tato.

“Eh! Mas! Lama kali kau ini berangkatnya, mana supirnya? Dari tadi tak muncul-muncul  juga, penat aku menunggu! Ah!” Teriak seorang wanita gendut kepada seorang kernet.

Kernet itu malah semakin giat memainkan siulannya. Ia pura-pura tak mendengar teriakan wanita gendut itu. Ia mengerti bahwa supir yang lama ditungu-tunggu pun tak juga datang. Kernet itu berpikir kalau isi bus masih belum terisi penuh. Lalu, ia menoleh ke belakang tanpa menghentikan siulannya untuk memastikan tentang apa yang ia pikirkan. Matanya mulai bergerilnya mengkoreksi kursi yang masih belum terisi. Ia melihat semua kursi telah terisih penuh.

Terlihat seorang pemuda lagi yang melambai-lambaikan tangan kepadanya, “Akang Kernet! Sok atuh? Kumaha ini busnya? Supirna nuju naon atuh, kang?

Kernet itu hanya diam saja. Tak ada satu kata pun yang membersit dari mulutnya yang masih bersiul. Matanya mulai berhenti bergerilya. Sempat, ia berdalih dalam pikirannya tentang berapa lama lagi ia harus menunggu supirnya. Antara mencari atau menunggu. Ia mulai bingung dengan keadaan ini. Banyak orang yang marah dengannya. Pikirannya tak karuan merasakan semua orang yang sedang ngedumel menunggu supir.

Orang yang berada di sampingnya mulai bertanya kepadanya, “Mas! Supirnya mana? Kok dari tadi belum terlihat batang hidunya?”

Kernet itu hanya menggelengkan kepalanya saja dan segera memalingkan wajahnya dari orang yang menanyainya. Orang yang menanyai kernet itu turut bingung juga dengan kernet bus yang menjawab tanpa satu kata pun. beberapa orang bertanya kepadanya, tak sepatah kata keluar  dari mulut seorang kernet bus itu.

Segerombolan orang yang duduk di kursi belakang ngedumel atas kelakuan si kernet bus itu. “sombong kali kernet itu, ha!” Ucap seorang lelaki berkulit hitam berpawakan pendek kepada bebarapa orang yang baru dikenalnya.

“Iya, sombong sekali kernet itu. Orang tanya saja tak dijawab! Huh! Dasar kernet sialan!” sahut seorang lelaki berwajah keriput.

“Siapa yang akan disalahkan kalau kernet itu dihajar atau kalau perlu dibunuh atas kelakuannya seperti itu. tidak ada yang disalahkan. Toh, dia sendiri yang memulainya.” Sahut lagi seorang lelaki berparas Jawa campuran Cina.

“Mungkin, kernet itu tak sayang dengan ibu dan bapaknya?” Ujar seorang lelaki bertubuh gendut.

“Mungkin, ia punya istri," tukas lelaki berwajah keriput itu.

Bah! Janda lah istrinya nanti. Macem mana kau ini, bang?" Sahut lagi seorang lelaki berkulit hitam sambil tertawa terpingkal-pingkal. Disusul kawan yang baru dikenalnya dan suara tertawa itu memenuhi seisi ruangan bus tersebut.

Terdengar suara tertawaan itu. Kernet bus itu langsung turun meninggalkan bus tersebut. Tanpa pikir panjang, kernet itu mencari supir bus yang belum juga menampakkan dirinya. Langkah kakinya melangkah lebar setiap menghela. Kernet itu masih saja tak berkata apa pun. Wajahnya masih saja terlihat dingin dan datar. Membuat beberapa orang yang dilewatinya merasa enggan dan takut untuk dekat-dekat dengan dirinya.

Awan panas mulai menjadi mendung. Orang-orang yang marasa dibakar mulai sedikit demi sedikit merasa sejuk. Tak ada antrian lagi di wc umum. Penjaga wc pun mengeluh atas keadaan yang sekarang ini, karena tak ada lagi orang yang datang lalu membayarnya. Bandit-bandit calo pun mulai berkurang. Tapi, saat mendung pun tak bisa membuat kerumunan orang yang berada di terminal berkurang. Makin ramai dan sesak. Dan tak disangka-sangka mulai menjelma mata nanar yang terpancar dari sepasang mata kernet bus itu. melihat banyaknya orang yang berada di terminal sambil mencari-cari supir yang telah lama ditunggu. Tak kunjung terlihat.

Terlihat dari dalam kaca bus. Seorang lelaki tua melihat seorang kernet bus duduk di warung memasang wajah melas dan dilanda kebingungan. Dalam hati lelaki tua itu ingin membatunya. Membantunya? Apa yang bisa dibantu. Tubuhnya saja sudah rapuh. Tak kokoh sepertih dulu. Berjuang mati-matian untuk negaranya. Kini tinggal kulit dan tulang yang tersisa. Mata lelaki tua itu masih saja memandangi wajah seorang kernet bus. Bibirnya tersenyum kentara. Giginya yang ompong semakin menambah kerutan saat tersenyum.

Le, seh, simbah njaluk tulung! Pean parani kernet iku! Waraen, onok opo? Opo onok masalah?” Tanya lelaki tua itu kepada pamuda yang duduk disampingnya.

“Oh, enggeh, mbah, tunggu disini, ya, mbah,” jawab pemuda itu. bergegas ia turun dan menghampiri kemana kernet itu berada. Ia tak kenal siapa tadi yang menyuruhnya. Ia hanya tahu kalau apapun yang diperintahkan orang tua harus segera dilaksanakan. Tak ada kata membantah saat orang tua menyuruh. Bahkan, ia tak peduli kalau ia disuruh berbuat tindak kriminal. Sekali orang tua berucap, maka terlaksanalah ucapannya itu. Orang tua macam apa itu? Tak patut.

Tubuh kernet itu mulai melayu. Dan kini mulai mempakkan wajah kekecewaan atas supir yang selama ini selalu mencari uang bersamanya. Baru kali ini supir itu pergi tak kunjung kembali. Biasanya kalau supir itu pergi, hanya untuk menunggu penumpang di dalam bus penuh. Dan baru kali ini supir itu tak ada di warung makan milik Bu Indri. Biasanya supir itu makan nasi pecel kesukaannya. Supir selalu pesan seporsi penuh milik Bu Indri. Kini tak ada bekas piring nasi pecel milik supir lagi di warung Bu Indri itu.

“Mas! enten masalah, ta? Terus piye? Kapan busnya berangkat?" Tanya seorang pemuda yang di suruh lelaki tua untuk menanyainya. Kernet bus itu kaget dan tertegun kaku atas pertanyaan pemuda itu. Lagi-lagi kernet bus itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu segera masuk ke dalam bus lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pemuda itu bingung dengan si kernet bus itu. tak ada lagi rasa iba yang ada di wajah pemuda itu. ia sangat kesal dengan kelakuan si kernet bus yang membisu seribu kata.

Kini kernet itu sudah berada kembali di dalam bus. Ia menghela nafas panjang yang disertai suara amarah. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya walau wajahnya yang terpampang marah. Kernet itu kembali lagi memainkan siulannya. Matanya dengan jeli juga mengamati keadaan luar bus. Kalau-kalau bus supir itu sudah kembali. Secara mendadak kernet itu menghentikan siulannya. Ia melihat warung Bu Indri kedatangan banyak polisi. Kernet itu berpikir kalau warung Bu Indri hari ini sangat laris manis. “Dasar polisi! Habis cari ceperan, hura-hura.” Ujar seorang lelaki berbadan kekar bertubuh tinggi.

Namun, jika diperhatikan baik-baik, kenapa ada pula polidi penyidik. Biasanya kalau polisi habis cari ceperan, ya, polisi lalu lintas aja. Kernet itu semakin bingung dan parau. Tapi tak lama kemudian, ia mengalihkan pandangannya. Ia pikir polisi itu tak penting. Ia hanya mementingkan keadaan yang sekarang. Supir yang ia tunggu belum juga datang.

“bisa berangkat tidak, mas?”

“mas?”

“bus sudah terisi penuh loh, mas?”

Tak sepatah kata keluar dari kernet bus itu. Ia hanya memandang ke depan saja. Menanti kedatangan seorang supir yang belum juga datang sampai detik ini. Wajahnya cemberut dan kusut. Namun, kernet bus itu tak mengeluarkan sepatah kata apapun. Tak berseling lama, perhatiannya tertuju pada seorang lelaki kurus tinggi dan mengenakan topi. Kernet itu melihat lelaki bertopi itu menuju ke arahnya. Lelaki itu masuk dalam bus yang supirnya belum-belum juga datang. Tapi, wajah kernet itu terlihat biasa saja. Ia kenal dengan siapa yang ia lihat itu. kawan dari supir yang ia tunggu-tunggu.

Bukan itu yang dimasalahkan. Tapi, kenapa lelaki bertopi itu datang kepadanya. Padahal supir yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Kernet bus itu tahu kalau lelaki bertopi itu juga sopir yang harus membawa penumpang dengan bus miliknya sendiri.

“Gon, lu, dah lama nunggu, ya?” tanya lelaki itu kepada kernet. Namun, kernet itu hanya menganggukkan kepala saja. Semua yang bertanya kepadanya, jawabannya hanya dengan  gerakan kepalanya saja. Tak sepatah kata apapun keluar dari mulut seorang kernet bus itu. Beberapa orang kesal dibuatnya. Tapi, berbeda dengan lelaki bertopi itu. Seakan-akan kernet itu adik kandungnya. Tak ada rasa marah yang terpasang di wajah seorang lelaki bertopi itu. Yang ada hanya senyum yang dipasang di bibirnya.

“Bang, ente percuma nanya ama die, kagak bakalan dijawab.” Tukas seorang lelaki berpakain baju betawi kepada lelaki bertopi itu. dan tak lama kemudian disahut seorang wanita gendut yang pernah uring-uringan sama kernet itu.

Bah! Betul cakap orang itu tadi, bang! Dari tadi banyak orang tanya. Eh! Gak dijawab-jiwab. Bagaimana tak kesal kita, bang. Penat aku!

“Betul, mas. Kenet itu sombong! Kita juga tanya, tak dijawab-jawab”

“Apakah perlu kita hajar ramai-ramai?”

Iyo, cak, wes gak kesuen. Ayo diajar ae, cak!

Ayo dulur-dulur! Ayo diajar ae! Opo perlu diobong?!

 “Ayo!”

Semua orang yang ada di dalam bus itu beteriak. Wajahnya geram. Tangannya mengepal keras. Sampai-sampai saling dorong untuk segera menyerbu kernet bus itu. Tak  ada  basa-basi lagi. Kata demi kata cemooan terbesit keluar dari mulut penumpang. Sudah cukup kesabaran kepada kernet. Sudah cukup kesempatan buat kernet.

Seorang lelaki berambut gondrong mulai mencengkeram baju yang dikenakan kernet itu. kernet itu malambai-lambaikan tangannya, berisyarat bahwa itu hanya kesalah pahaman. Tapi, tak sepatah kata apapun keluar dari mulutnya. Jawaban tanpa kata yang dilakukan kernet itu malah membuat marah orang-orang.

“Ngomong!” Cetus pemuda berpawakan langsing.

Sok atuh! Ngomong!” Cetus lagi seorang pemuda yang pernah bertanya kepadanya.

Udeh! Kagak usah banyak bicare! Mending kite hajar aje kernet ini!

 “Ayo, cak!

Lelaki bertopi itu lantas tertegun melihat emosi orang-orang tentang kernet bus itu. Ia tak tahu masalah apa yang sedang menimpah kernet. Ia heran dengan emosi orang-orang yang benafsu untuk menghajar kernet bus itu. Sungguh di luar nalar. Lelaki bertopi itu tahu kalau kernet itu sangat baik. Selalu melakukan dengan baik perintah supirnya. Namun, supir yang ia tunggu belum kembali.

“Tunggu! Saudara! Saudara! Tunggu!” ujar lelaki bertopi itu kepada semua penumpang.

“Saudara salah paham!”

“Saya tahu saudara marah! Saya tahu tujuan anda berdeda-beda dan jauh-jauh! Saya tahu jika saudara telah menunggu lama!”

“Jika saudara marah dengan kernet ini, maka saudara sudah benar-benar keliru. Saudara kernet kita ini memang sudah lama bisu!”

“Lalu, jika saudara geram juga dengan supirnya, maka seharusnya kita doakan saja ia masuk surga.”

“Kenapa saya bilang begitu? Karena saudara supir kita telah mati diracuni oleh Bu Indri. Pemilik warung yang tepat di sebelah kanan saudara. Yang dikerumuni banyak polisi.”

Semua terkaget dan bahkan ada juga yang langsung duduk di kursi dan tertunduk lemas. Banyak yang tak menyangka. Warung sudah terkenal di terminal itu, tega-teganya meracuni supir yang telah lama ditunggu-tunggu kedatangannya. Supir yang menjoki bus yang bagian belakangnya bertuliskan Bhineka Tunggal Ika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun