Bukan itu yang dimasalahkan. Tapi, kenapa lelaki bertopi itu datang kepadanya. Padahal supir yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Kernet bus itu tahu kalau lelaki bertopi itu juga sopir yang harus membawa penumpang dengan bus miliknya sendiri.
“Gon, lu, dah lama nunggu, ya?” tanya lelaki itu kepada kernet. Namun, kernet itu hanya menganggukkan kepala saja. Semua yang bertanya kepadanya, jawabannya hanya dengan gerakan kepalanya saja. Tak sepatah kata apapun keluar dari mulut seorang kernet bus itu. Beberapa orang kesal dibuatnya. Tapi, berbeda dengan lelaki bertopi itu. Seakan-akan kernet itu adik kandungnya. Tak ada rasa marah yang terpasang di wajah seorang lelaki bertopi itu. Yang ada hanya senyum yang dipasang di bibirnya.
“Bang, ente percuma nanya ama die, kagak bakalan dijawab.” Tukas seorang lelaki berpakain baju betawi kepada lelaki bertopi itu. dan tak lama kemudian disahut seorang wanita gendut yang pernah uring-uringan sama kernet itu.
“Bah! Betul cakap orang itu tadi, bang! Dari tadi banyak orang tanya. Eh! Gak dijawab-jiwab. Bagaimana tak kesal kita, bang. Penat aku!”
“Betul, mas. Kenet itu sombong! Kita juga tanya, tak dijawab-jawab”
“Apakah perlu kita hajar ramai-ramai?”
“Iyo, cak, wes gak kesuen. Ayo diajar ae, cak!”
“Ayo dulur-dulur! Ayo diajar ae! Opo perlu diobong?!”
“Ayo!”
Semua orang yang ada di dalam bus itu beteriak. Wajahnya geram. Tangannya mengepal keras. Sampai-sampai saling dorong untuk segera menyerbu kernet bus itu. Tak ada basa-basi lagi. Kata demi kata cemooan terbesit keluar dari mulut penumpang. Sudah cukup kesabaran kepada kernet. Sudah cukup kesempatan buat kernet.
Seorang lelaki berambut gondrong mulai mencengkeram baju yang dikenakan kernet itu. kernet itu malambai-lambaikan tangannya, berisyarat bahwa itu hanya kesalah pahaman. Tapi, tak sepatah kata apapun keluar dari mulutnya. Jawaban tanpa kata yang dilakukan kernet itu malah membuat marah orang-orang.