Konon, Albert Einstein pernah berkata, "Jika Anda tidak bisa menjelaskannya kepada anak berumur enam tahun, Anda sendiri tidak memahaminya." Andaikan visi ini benar, mungkin Einstein adalah tipe pengajar ideal yang mampu menyulap kuliah fisika menjadi sesederhana dan semenarik dongeng si kancil. Lagi pula, apa yang lebih baik daripada belajar fisika dari Einstein?
Anehnya, selain dikenal sebagai murid pembangkang, Einstein juga dikenal sebagai pengajar yang buruk. Kelas-kelasnya sepi peminat, bahkan suatu kali terpaksa dibatalkan karena hanya satu mahasiswa yang mendaftar. Ketika dia mengejar posisi di Institut Teknologi Federal Swiss di Zurich, presidennya khawatir terhadap kemampuan mengajar Einstein yang dinilai kurang baik.
Seorang temannya, yang membantu Einstein mendapatkan pekerjaan tersebut melalui surat rekomendasi, mengakui bahwa "dia bukan pembicara yang baik". Penulis biografinya, Walter Isaacson, mencatat, "Einstein tidak pernah menjadi pengajar yang menginspirasi, dan kuliahnya sering dianggap tidak terorganisir."
Einstein hanyalah satu di antara banyak contoh yang menunjukkan bahwa, ironisnya, mereka yang terbaik dalam melakukan sesuatu sering kali menjadi pengajar yang sangat buruk. Bukan karena mereka tidak peduli pada pengajaran, apalagi tidak menguasai apa yang mereka ajarkan. (Siapa yang berani berkata begitu tentang Einstein?)
Justru, mereka "terlalu" menguasainya sampai-sampai kesulitan untuk menjelaskannya kepada orang lain. Para psikolog menyebut fenomena seperti itu sebagai "Kutukan Pengetahuan" (The Curse of Knowledge). Bias kognitif ini menjelaskan mengapa Einstein bukanlah pengajar yang tepat jika Anda ingin mengambil kelas fisika dasar.
Sebagaimana dicatat oleh psikolog Sian Beilock, "Semakin baik Anda dalam melakukan sesuatu, kemampuan Anda untuk mengomunikasikan pemahaman Anda atau membantu orang lain mempelajari keterampilan tersebut sering kali semakin memburuk." Seolah ada "kutukan" tertentu yang menimpa orang-orang yang tahu terlalu banyak.
Pengetuk dan pendengar
Pada tahun 1990, Elizabeth Newton, yang saat itu masih menjadi mahasiswa pascasarjana di Universitas Stanford, mengadakan sebuah eksperimen psikologi berupa permainan sederhana yang melibatkan dua peran, yaitu "pengetuk" dan "pendengar". Tugas pengetuk adalah mengetuk nada dari lagu-lagu populer (seperti lagu "Selamat Ulang Tahun") di atas meja, sementara tugas pendengar adalah menebak lagu tersebut.
Ketika para pengetuk diminta untuk memperkirakan berapa banyak lagu yang akan berhasil ditebak, prediksi mereka selalu berlebihan. Mereka rata-rata berasumsi bahwa pendengar mereka akan mengenali sekitar 50% dari lagu yang dimainkan. Namun kenyataannya, rasio keberhasilan para pendengar hanya 2,5%. Para pengetuk mengira akan menyampaikan pesan mereka satu dari dua kali, padahal faktanya mereka hanya berhasil satu dari 40 kali.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Para pengetuk sudah mengetahui lagu yang mereka mainkan. Ketika mereka mengetuk meja, lagu tersebut berputar di dalam kepala mereka dan membuat ketukan itu terdengar sangat jelas dan jernih bagi diri mereka sendiri. Tidak aneh jika mereka mengasumsikan bahwa pendengar mereka akan dengan mudah mengenali lagu yang mereka mainkan.