Lalu, mengapa saya ingin mulai bermeditasi tentang kematian?
Saya hanya bisa memikirkan satu alasan: hidup lebih baik selama tahun-tahun yang tersisa.
Kematian dan pajak, ungkap Mark Twain, adalah sebuah kepastian bagi semua orang. Tetap saja, tak satu pun dari kita yang (secara alamiah) suka memikirkan kematian. Kecuali sedang depresi atau mengalami penyakit kronis, kita enggan merenungkan kematian.
Alhasil, kita secara implisit mengasumsikan bahwa hidup kita akan terus berjalan. Kita yakin selalu ada waktu untuk melakukan hal-hal yang berharga, percaya bahwa esok akan sangat mirip dengan hari ini, sehingga kita bisa menebus apa yang kita telah lewatkan saat ini.
Kenyataannya, kita semua selalu terlambat.
Itulah mengapa saya belajar untuk tak mengusir kematian dari pikiran: meskipun penyesalan akan selalu ada, setidaknya saya bisa menguranginya dengan meningkatkan perhatian pada masa sekarang, memilah hal-hal penting dari berbagai rongsokan kehidupan.
Dengan kata lain, pikiran tentang kematian membantu saya untuk melihat lebih jelas nilai-nilai yang saya hargai, orang-orang yang saya cintai, dan aktivitas-aktivitas yang saya gemari; singkatnya, kematianlah yang membuat hidup menjadi bermakna.
Itu membantu saya untuk menavigasi dan merangkai hidup menjadi lebih baik.
"Kematian menghancurkan manusia: gagasan tentang kematian menyelamatkannya," tulis EM Forster dalam novelnya Howards End. Saya tak percaya bahwa mengamuk melawan gagasan kematian akan menghasilkan sesuatu; itu juga tak akan membuatnya hilang.
Justru, penyangkalan akan kematian membuat kematian itu sendiri semakin menyeramkan. Memang, menerima bahwa tubuh kita akan membusuk tak otomatis membuat hidup menjadi indah, tapi itu adalah sumber kekuatan untuk menanggung kesulitan.
Lalu, bagaimana saya akan melakukan praktik kontemplatif yang baru itu?