Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jika Ini adalah Tahun Terakhir Saya

30 Desember 2023   18:48 Diperbarui: 30 Desember 2023   18:54 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alih-alih membuat resolusi tahunan, saya menyambut tahun baru dengan perenungan akan kematian saya sendiri | Ilustrasi oleh Siska via Pixabay

Akhir tahun ini, saya memutuskan untuk bermeditasi tentang kematian saya sendiri, sesuatu yang tak pernah saya lakukan sebelumnya. Entah sengatan apa yang memantik ide tersebut, saat itu saya sedang jemur badan di pekarangan rumah.

Kebetulan rumah saya terletak di pinggir jalan raya, menghadap ke persawahan yang begitu luas dan hijau, tempat di mana saya bisa melihat matahari merangkak naik - berkilauan dan mengingatkan saya pada sebutir permen jeruk kesukaan saya saat SD.

Sambil menyeruput segelas teh hangat dan menyipitkan mata ke deretan rumah di seberang persawahan, saya ujug-ujug bergumam, "Betapa malangnya orang yang mati di pagi cerah seperti ini." Itu pernyataan yang menggelitik, kurang ajar, dan lepas kendali.

Tapi ironisnya, saya juga menjawab, "Mungkin aku. Suatu waktu."

Saya masih berusia 20 tahun. Terima kasih Tuhan, saya dalam kondisi sehat (terkadang saya bertanya-tanya kapan terakhir kali saya sakit fisik), berolahraga cukup teratur, makan dan tidur dengan baik (mungkin terlalu banyak minum kopi).

Jadi, seperti kebanyakan pemuda, saya tak punya alasan untuk berpikir bahwa kematian sudah dekat. Ada kalanya saya memikirkan kematian, khususnya ketika saya membaca novel atau karya filosofis yang sangat melankolis, tapi mudah untuk dihilangkan.

Lagi pula, kedua orang tua saya (termasuk nenek saya) masih hidup, menciptakan semacam penghalang metafisik: "Belum tiba giliranku!" Plus, rambut saya belum beruban, saya masih sanggup mengangkat galon penuh atau kursi kayu jati tanpa mengernyit.

Bagaimanapun, saya ingin mulai merenungkan kematian saya.

Tentu saja, saya tak akan membayangkan para pelayat mengerumuni pemakaman saya atau memilih letak kuburan dan bunyi sirene seperti apa yang akan mengiringi jenazah ke rumah duka. Saya, seperti orang lain, terlalu sibuk untuk memikirkan hal semacam itu.

Dengan kesibukan kuliah, menikmati waktu bersama keluarga dan teman, jalan-jalan sore, pergi ke bioskop, mencicipi masakan-masakan baru dan sebagainya; yang ingin saya katakan adalah bahwa saya, meskipun sering gelisah, tak kehilangan selera untuk hidup.

Lalu, mengapa saya ingin mulai bermeditasi tentang kematian?

Saya hanya bisa memikirkan satu alasan: hidup lebih baik selama tahun-tahun yang tersisa.

Kematian dan pajak, ungkap Mark Twain, adalah sebuah kepastian bagi semua orang. Tetap saja, tak satu pun dari kita yang (secara alamiah) suka memikirkan kematian. Kecuali sedang depresi atau mengalami penyakit kronis, kita enggan merenungkan kematian.

Alhasil, kita secara implisit mengasumsikan bahwa hidup kita akan terus berjalan. Kita yakin selalu ada waktu untuk melakukan hal-hal yang berharga, percaya bahwa esok akan sangat mirip dengan hari ini, sehingga kita bisa menebus apa yang kita telah lewatkan saat ini.

Kenyataannya, kita semua selalu terlambat.

Itulah mengapa saya belajar untuk tak mengusir kematian dari pikiran: meskipun penyesalan akan selalu ada, setidaknya saya bisa menguranginya dengan meningkatkan perhatian pada masa sekarang, memilah hal-hal penting dari berbagai rongsokan kehidupan.

Dengan kata lain, pikiran tentang kematian membantu saya untuk melihat lebih jelas nilai-nilai yang saya hargai, orang-orang yang saya cintai, dan aktivitas-aktivitas yang saya gemari; singkatnya, kematianlah yang membuat hidup menjadi bermakna.

Itu membantu saya untuk menavigasi dan merangkai hidup menjadi lebih baik.

"Kematian menghancurkan manusia: gagasan tentang kematian menyelamatkannya," tulis EM Forster dalam novelnya Howards End. Saya tak percaya bahwa mengamuk melawan gagasan kematian akan menghasilkan sesuatu; itu juga tak akan membuatnya hilang.

Justru, penyangkalan akan kematian membuat kematian itu sendiri semakin menyeramkan. Memang, menerima bahwa tubuh kita akan membusuk tak otomatis membuat hidup menjadi indah, tapi itu adalah sumber kekuatan untuk menanggung kesulitan.

Lalu, bagaimana saya akan melakukan praktik kontemplatif yang baru itu?

Haruskah saya meletakkan sebuah tengkorak atau suvenir-suvenir lainnya di atas meja saya? Pergi ke Thailand atau Sri Lanka dan mengunjungi wihara-wihara Buddha Theravada di mana foto-foto mayat dipajang sebagai alat bantu meditasi maranasati? Berjalan di kuburan?

Tak satu pun.

Minggu lalu saya mencetak foto hitam-putih Albert Camus berukuran 4R, menempelkannya di mading kamar. Setiap pagi, persis sebelum memulai rutinitas, saya selalu melihat mading, yang berarti saya akan menatap ekspresi dingin Camus setiap pagi pula.

Mengapa Albert Camus? Sulit dijelaskan.

Setelah dua tahun terakhir menjelajahi semua karyanya, ada semacam rasa dan simbol pribadi padanya. Kapan pun saya menelisik wajah dan posenya yang khas intelektual dan (harus saya katakan) sangat "Prancis", gagasan kematian terlintas di pikiran saya.

Setahu saya, Camus tak sering berbicara tentang kematian secara eksplisit, kecuali mungkin dalam analisisnya tentang bunuh diri. Dia jelas banyak berbicara mengenai hidup yang baik dan bermakna di hadapan the absurd.

Justru saya pikir itulah poinnya: hidup yang baik berarti mati secara baik, hidup yang bahagia berarti mati secara bahagia. Novel-novelnya merupakan serangkaian kisah kematian tragis (The Stranger, A Happy Death, The Plague), dan setengah mati (The Fall).

Jadi, meskipun aneh, wajah Camus benar-benar membantu "meditasi kematian" saya.

Lebih banyak sinar matahari

Sindrom Cotard adalah sejenis khayalan aneh yang menimpa sebagian kecil populasi. Delusi ini juga dikenal sebagai "sindrom mayat berjalan", karena orang yang mengalaminya percaya bahwa dirinya sudah mati atau lenyap atau membusuk.

Kita (saya dan semua pembaca artikel ini) kiranya tak mungkin menderita penyakit tersebut. Tapi, siapa pun mungkin saja jatuh ke dalam kondisi serupa dengan gagal membedakan garis tipis antara kehidupan dan kematian.

Jika kita bersikeras untuk mengabaikan kematian kita sendiri, saya pikir kita cenderung akan membuat keputusan yang menyebabkan kita berjalan sambil tidur dalam kehidupan. Ya, kita mungkin belum mati, tapi dalam kondisi ini, kita juga tak sepenuhnya hidup.

Saya tak yakin apa yang Anda rasakan sekarang. Saat saya menulis kata-kata ini, saya merasa agak lega, bahkan bahagia karena saya tak perlu menyangkal perjalanan saya sendiri. Maksudnya, saya tak perlu menyembunyikan kegagalan dan kebusukan saya sendiri.

Dalam arti tertentu, saya hanya bisa merasakan perasaan ini bersama Anda. Saya hanya bisa terbebas dari beban penyangkalan dan penolakan dan berkomunikasi dengan Anda melalui artikel ini. Tidakkah Anda agak menggigil kedinginan, seperti saya?

Tak banyak yang bisa saya lakukan atas penerimaan saya akan keterbatasan dan kematian saya selain merefleksikannya dalam cara saya berpikir, bertindak, dan berkomunikasi. Intinya, selama perenungan ini, banyak hal akan dan telah berubah.

Cara saya berkata dan menulis berubah sedikit demi sedikit, perasaan saya terhadap orang-orang dan hal-hal berubah, empati saya berubah, begitu pula harapan dan evaluasi saya. Ini semua memang sedikit, tapi keseluruhan lanskapnya sudah sangat berbeda.

Hidup, dalam pandangan saya, tampaknya sedikit berubah (saya cenderung menganggapnya "lebih agung"), penuh dengan transisi dan jeda; sesuatu harus didekati dan dihargai, rasanya sangat mendesak dan membuat saya tak sabaran.

Dunia tampak lebih seperti pagi hari ketika saya menjalaninya dalam pembebasan dari rasa takut atau kegelisahan akan kematian. Kini, saya tak akan melepaskan diri, begitu pula orang lain, dari bayangan kematian dan dari bagaimana kita semua akan mati.

Saya tak berusaha menyembuhkan seorang pun dari kematiannya.

Sebaliknya, saya ingin menegaskan kesehatannya, perjuangannya untuk hidup, kesungguhan dan semangatnya untuk menjadi dirinya sendiri dalam menghadapi kematiannya. Saya pasti akan kegirangan jika bisa melakukan hal yang sama.

Jadi, kembali ke pernyataan saya di awal, saya sama sekali tak keberatan jika orang tersebut adalah saya. Jika maut menghampiri saya di pagi-pagi yang cerah seperti itu, bahwa pada malamnya bel tahun baru akan berdentang keras, saya tak akan pergi ke mana-mana.

Saya mungkin hanya ingin meresapi sinar matahari lebih banyak lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun