Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saatnya Kesepian Menjadi Prioritas Kebijakan Publik

20 November 2023   06:30 Diperbarui: 20 November 2023   18:54 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika WHO mendeklarasikan kesepian sebagai ancaman kesehatan global yang mendesak baru-baru ini, saya terjepit antara biasa saja dan sangat terkejut. Biasa saja karena sekitar dua tahun terakhir saya telah menekuni topik kesepian dan mengetahui bahayanya.

Sangat terkejut karena saya tak pernah menyangka bahwa deklarasi tersebut akan secepat ini. Maksud saya, sebelumnya saya sudah yakin kesepian akan menjadi prioritas kesehatan global, tapi keyakinan ini terasa berjarak tiga atau empat tahun ke depan.

Faktanya, saya menyelesaikan artikel ini dua minggu lalu, sedangkan deklarasi WHO itu belum berumur seminggu ketika artikel ini terbit. Bulan lalu, saya meluncurkan proyek kecil bernama "Sisyphus Project" yang meliput potret kesepian dari berbagai segmen populasi.

Makanya bisa dibayangkan betapa antusiasnya saya ketika tahu bahwa WHO membentuk Komisi Hubungan Sosial untuk mengakhiri epidemi kesepian global. Saya merasa ada di jalur yang tepat; saya merasa tak sendirian, pada akhirnya.

Saya akan melanjutkan artikel ini dengan narasi aslinya, sebelum deklarasi WHO.

Paradoks kesepian di zaman kita

Saat ini, kita seharusnya menjadi masyarakat yang paling tak kesepian dalam sejarah: lebih banyak dari kita yang tinggal di daerah padat penduduk, teknologi memudahkan kita untuk terhubung dengan siapa pun, dan komunitas semakin bervariasi serta tersebar.

Tapi, bukti dari penelitian psikologi dan sosiologi justru menunjukkan bahwa kita telah menjadi lebih kesepian dalam beberapa dekade terakhir. Jutaan orang, melalui cerita dan statistik, memberitahu kita bahwa tangki hubungan sosial mereka hampir habis.

Pertengahan tahun 2021, komunitas Into The Light menyurvei 5.211 orang yang mayoritas berdomisili di Pulau Jawa, kawasan dengan kepadatan penduduk paling tinggi di Indonesia. Ternyata hampir semua partisipan (98%) mengaku merasa kesepian.

Tingginya hasil itu mungkin berkaitan dengan ketatnya isolasi sosial akibat pandemi Covid-19, jadi mari kita periksa survei lainnya. Survei Populix tahun 2022, masa ketika ketegangan pandemi mulai mereda, menunjukkan hasil yang sama-sama mencemaskan.

Satu dari dua orang Indonesia (52%) merasa dirinya punya masalah kesehatan mental, dan hampir separuhnya (46%) dipicu oleh kesepian. Menteri Keuangan Sri Mulyani mungkin benar ketika mengatakan bahwa "tahun 2045 (akan ada) banyak orang kesepian".

Kita semua kesepian saat ini dan, sampai batas tertentu, setidaknya sedih dan picik.

Berikutnya saya akan menunjukkan betapa besarnya ancaman kesehatan, termasuk ekonomi dan politik, yang dipicu oleh kesepian. Saya berpikir bahwa kita, seperti beberapa negara lain, harus mulai memperlakukan kesepian sebagai prioritas kebijakan publik.

Kebutuhan sosial adalah hak asasi manusia, dan kekurangan sosial adalah ketidakadilan.

Mengapa kesepian harus menjadi isu publik?

Secara umum, kesepian adalah semacam kesusahan yang dirasakan orang ketika kenyataan gagal memenuhi hubungan sosial yang diharapkan. Kesepian tak sama dengan kesendirian. Orang yang menyendiri belum tentu kesepian, dan sebaliknya.

Dalam dosis kecil, kesepian biasanya terasa seperti rasa lapar atau haus, sebuah sinyal yang sehat bahwa kita kehilangan sesuatu dan mencari apa yang kita butuhkan. Namun, kesepian kronis bukan hanya lebih menyakitkan, tapi dampaknya juga lebih menjalar.

Rasanya memalukan dan mencemaskan, punya konsekuensi fisik yang terjadi tanpa terlihat. Itu merambat ke mana-mana, dingin seperti es dan sejernih kaca, mengurung dan menelan. Singkatnya, kesepian adalah kondisi korosif dengan konsekuensi serius.

Kesepian yang berkepanjangan membuat kita berisiko lebih tinggi mengalami kekhawatiran, depresi, dan bunuh diri. Lebih dari itu, kesepian juga mengancam kesehatan fisik: gangguan fungsi kekebalan tubuh, penyakit jantung, stroke, peningkatan tekanan darah.

Penelitian terkenal bahkan menemukan bahwa dampak kesepian terhadap risiko kematian dini setara dengan merokok 15 batang setiap hari. (Sekadar cerita, kebanyakan teman saya justru merokok ketika merasa kesepian.)

Ancaman-ancaman mematikan tersebut dapat menjadi salah satu alasan mengapa kesepian harus dipertimbangkan untuk masuk ke dalam agenda kebijakan publik. Tapi, mari kita periksa lebih dalam lagi. Saya akan menambahkan tiga alasan.

Pertama, kesepian masih sangat kental oleh stigma. Masyarakat kita, sama seperti masalah kesehatan mental lainnya, masih melihat kesepian sebagai topik yang tabu. Kita sering mengasosiasikan kesepian dengan kelemahan diri, semacam aib pribadi.

Alhasil, kebanyakan orang yang sedang berjuang menghadapi kesepian tak menceritakannya dan bahkan kesulitan untuk sekadar mengakui pada dirinya sendiri bahwa mereka kesepian. Persoalannya, kesenyapan ini menjadikan masalah kesepian semakin parah.

Stigma membuat orang yang kesepian tak ingin orang lain menganggap ada yang salah pada diri mereka, jadi mereka semakin mengurung dan mengisolasi diri, dan ini adalah jalan licin yang membawa mereka ke lorong kesepian yang lebih gelap.

Dengan menjadikan kesepian sebagai isu publik, yang diikuti program-program penyadaran masyarakat mengenai kesepian serta alokasi sumber daya untuk layanan kesehatan mental, stigma kesepian dapat berkurang.

Kedua, kesepian sangat merugikan secara ekonomi. Ada biaya mahal yang harus ditanggung individu, keluarga, masyarakat, dan negara akibat kesepian yang terus memburuk. Misalnya, kesepian cenderung menurunkan produktivitas dan kreativitas pekerja secara signifikan.

Sebuah laporan tahun 2020 tentang hubungan antara kesepian dan produktivitas pekerja di Inggris menunjukkan bahwa kesepian akut telah menelan biaya sekitar 9.900 poundsterling per tahun untuk setiap orang yang mengalaminya.

Di Amerika Serikat, sebuah studi yang dilakukan Gallup menemukan bahwa kesepian kronis menimbulkan penurunan konsentrasi dan keengganan untuk bekerja sama. Biaya kerugian akibat hal ini diperkirakan antara 450 hingga 550 miliar dolar AS per tahun.

Selain defisit produktivitas dan kreativitas, kesepian juga membuat pengeluaran individu untuk perawatan kesehatan menjadi lebih besar, khususnya kaum muda.

Di Australia, kesepian merugikan negara sekitar 2,7 miliar dolar AS setiap tahun akibat hasil kesehatan yang buruk. Ini karena orang yang kesepian lebih cenderung merokok, mabuk dan kurang berolahraga, serta lebih sering mengunjungi rumah sakit.

Meskipun sejauh ini belum ada studi komprehensif yang memperkirakan kerugian ekonomi di Indonesia akibat kesepian, kita harus belajar dari negara-negara lain bahwa kesepian bisa merugikan masyarakat, pengusaha, dan negara dengan cara yang tak terduga.

Ketiga, kesepian yang kronis dan tersebar juga dapat mengganggu kehidupan demokrasi. Ini mungkin terdengar tak masuk akal. Saat saya membicarakan proposal penelitian tentang isu politik kesepian, dosen dan beberapa teman saya agak terkekeh.

Tapi, sejumlah filsuf dan ilmuwan politik sebenarnya sudah lama menyelidiki topik itu.

Demokrasi, agar efektif, menuntut orang untuk merasakan hubungan dengan sesama warga kelompoknya. Hubungan ini terwujud dalam berbagai organisasi dan lembaga non-pasar, misalnya komunitas, perpustakaan, koperasi, dan perkumpulan relawan.

Semua itu menyediakan jalan bagi warga negara untuk bertemu dan berinteraksi satu sama lain. Tanpanya, kita tak akan memiliki kekuatan sosial yang menjadi bahan bakar demokrasi kita. Masalahnya, kesepian menghambat semua kemungkinan itu.

Warga yang kesepian akan cenderung bersikap defensif dan kurang percaya kepada orang lain. Akibatnya, mereka lebih mungkin untuk menghindari interaksi dan kontak sosial dengan warga negara lainnya, bahkan jika mereka menderita kekurangan sosial.

Itu berarti, tingkat partisipasi demokratis warga yang kesepian akan menurun, bahkan absen sama sekali. Sebuah studi menemukan hasil menarik: individu yang kesepian tak melihat pemungutan suara sebagai kewajiban, dan karenanya cenderung golput.

Terlepas dari itu, saya pikir tak ada yang lebih mengejutkan selain gagasan Hannah Arendt. Dalam "The Origins of Totalitarianism" (1951), Arendt menyatakan ada satu hal yang aneh tapi menjadi prasyarat utama bagi munculnya pemerintahan totaliter: kesepian.

Di sini Arendt melihat kesepian sebagai masalah politik, alih-alih psikologis semata.

Pada tingkat paling dasar, warga yang kesepian kurang mampu berorganisasi, terlibat dalam wacana publik, atau mempertanyakan kebijakan pemerintah. Dalam keterputusan ini, orang hampir tak mungkin untuk mempertanyakan status quo, membayangkan masa depan.

Sebaliknya, mereka jadi bersedia untuk menyerahkan kekuasaan dan agensi mereka kepada para diktator. Demikianlah, jika kesepian dan isolasi semakin memburuk, begitu pula dengan patologi demokrasi kita.

Saatnya penderitaan pribadi menjadi prioritas publik

Dalam kesehatan masyarakat, kita selalu berbicara tentang obesitas dan merokok, bahkan berusaha mengintervensinya lewat aneka cara. Tapi, kita jarang sekali (kalau memang pernah) membicarakan kesepian dengan cara yang sama.

Padahal, untuk semua perhatian terhadapnya, ada lebih banyak orang yang sedang berjuang melawan kesepian ketimbang obesitas atau diabetes. Coba perhatikan perbedaan perhatian yang kita berikan pada kedua kondisi tersebut.

Saya telah menunjukkan sekilas tentang bagaimana orang-orang kesepian "sekarat", mereka menjadi kurang sehat, dan mereka membebani masyarakat kita dengan biaya yang begitu besar. Kesepian adalah masalah yang brutal.

Namun, perhatian kita terhadapnya amat-sangat rendah.

Kesepian, yang telah lama jadi semacam kutukan bagi manusia, kini harus mulai dilihat sebagai bahaya kesehatan masyarakat yang serius. Kita harus mendesak pejabat publik untuk memperlakukan kesepian sama seriusnya dengan masalah lain seperti obesitas.

Itu berarti, kita harus berhenti "memprivatisasi" kesepian. Dalam satu perspektif, kesepian memang merupakan penderitaan pribadi. Tapi, jika kita terus memperlakukannya sebagai masalah pribadi, semua orang akan tetap menggelepar.

Kesepian bersifat pribadi sekaligus politis dan kolektif.

Bagi kita yang mencoba mengakhiri masalah kesepian dari perspektif psikologis semata, kita tak akan mencapai perubahan mendasar tanpa adanya kemauan politik yang menopangnya, mengingat kondisi politik dan ekonomi juga berkontribusi terhadap kesepian.

Pemikiran tradisional biasanya menggunakan gagasan tentang kasih sayang, empati, dan tawaran persahabatan untuk memerangi kesepian. Ini adalah cita-cita yang mengagumkan, tapi cara ini hanya akan berhasil di tingkat individu.

Untuk memecahkan persoalan di tingkat populasi, mari kita dorong lebih jauh lagi.

Kita membutuhkan intervensi pemerintah untuk mempertimbangkan risiko-risiko signifikan dari kesepian. Secara keseluruhan, kita semua (individu dan keluarga, sekolah dan tempat kerja, pemerintah, komunitas) harus bekerja sama dalam merespons masalah ini.

Kita bisa mencontoh negara-negara lain. 

Pada tahun 2018, pemerintah Inggris secara mengejutkan menunjuk Menteri Kesepian pertama di dunia. Menteri ini bertugas melaksanakan strategi nasional yang ditetapkan dalam rangka mengakhiri "epidemi kesepian".

Jepang, karena tingkat kesepian meroket akibat pandemi, mengikuti jejak Inggris pada tahun 2021. Selain itu, ada pula Australia yang punya program "Ending Loneliness Together" untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengurangi bahaya kesepian.

Daftarnya masih panjang, tapi setidaknya hal itu membuktikan bahwa kesepian bukanlah isu sepele yang bisa dikesampingkan. Dampaknya, baik kesehatan maupun ekonomi dan politik, sangat serius. Sayangnya, Indonesia belum melakukan banyak hal.

Saya berharap, sebagai langkah awal, pemerintah memperluas pengumpulan data tentang kesepian dan mendanai penelitian agar para ilmuwan bisa memahaminya dengan lebih baik dan menemukan cara untuk mengatasinya.

Dan tentu saja, seruan politik semacam itu bukan berarti kita semua, selaku warga negara biasa, harus lepas tangan. Ya, kita memang membutuhkan alokasi sumber daya yang cukup untuk kesehatan mental, terutama isu kesepian. Ya, kita perlu perubahan politik.

Tapi kita juga masih saling membutuhkan satu sama lain. Kita perlu mengalihkan perhatian kita untuk memperkuat organisasi, komunitas, dan hubungan bermakna yang memberikan tujuan dan arti dalam hidup kita.

Intinya, sementara kita lebih memerhatikan orang-orang dalam hidup kita, bersahabat dan mencintai mereka sepenuh hati, mari kita dorong lebih jauh dengan mendesak pemerintah untuk berbuat banyak secara holistik tentang kesepian.

Saya ulangi lagi: kebutuhan sosial adalah hak asasi manusia, dan kekurangan sosial adalah ketidakadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun