Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pedihnya Kesepian di Tengah Keramaian Kota

14 November 2023   19:10 Diperbarui: 15 November 2023   10:06 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun dari jalan, ruangan itu tertutup rapat, mirip akuarium perkotaan yang dilindungi sel kaca. Warna hijau pucat yang berbahaya itu terasa sangat endemik, khas sebuah kota kaca, kota nokturnal, tempat di mana lampu neon begitu terang dan kosong.

Orang-orang dalam lukisan Hopper (hampir) tak melakukan kontak mata sama sekali. Sekilas saya berpikir bahwa mereka adalah segelintir orang terakhir yang selamat dari bencana kota yang mengerikan, sebuah bencana yang sebenarnya sudah lama terjadi.

Semakin lama menatapnya, saya merasa semakin gelisah. Ada sesuatu yang mengganggu.

Lukisan terkenal ini menangkap romansa melankolis kehidupan perkotaan: kemungkinan tak terbatas, dan kegagalan tak terelakkan, dalam menjalin hubungan. Hopper seolah-olah sangat mengerti bagaimana rasanya sendirian di kota berpenduduk jutaan orang.

Kini saya membayangkan seorang perempuan karier yang berdiri dekat jendela pada malam hari, lantai tiga puluh tiga apartemennya. Ia mengamati barisan sel dan ribuan jendela di seberangnya, sebagian gelap dan sebagian lagi dibanjiri cahaya putih atau keemasan.

Di dalamnya, orang asing mondar-mandir menangani urusan pribadi mereka. Ia bisa melihat mereka, tapi tak bisa menjangkaunya. Fenomena urban semacam ini, di kota mana pun pada malam apa pun, menyampaikan getaran kesepian yang menggelisahkan.

Pada siang hari, terapung dan berjalan sendiri di trotoar kota, ia terasing dan merasa sangat berbeda. Ia menavigasi jalanan yang ramai seperti hantu, bergerak menyelip di antara orang asing yang acuh tak acuh dan berwajah kabur.

Baginya, setiap orang yang ditemuinya, kendati telah berjumpa berkali-kali, adalah anonim. Ia memerhatikan orang-orang ini berjalan dengan cara dan kecepatan yang berbeda-beda, meskipun terkadang mereka menjadi sinkron karena tekanan irama kaki.

Sewaktu di dalam bus menuju tempat kerja, ia mendapati sekelilingnya penuh wajah kosong yang menatapnya tanpa menghakimi atau semacamnya. Lalu puluhan orang itu turun secara bergerombol, dan sepertinya mereka tak punya teman.

Saya pikir hal semacam itu menambah dinginnya kesepian urban. Dan ada apa dengan kota?

Mengapa kota membuat kita kesepian?

Pertama, populasi kota sangat dinamis. Proporsi penduduk asing yang besar bisa membuat orang merasa tak punya tempat tinggal (home, bukan house). Beberapa mungkin menetap selama berbulan-bulan, dan yang lain hanya singgah satu-dua minggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun