Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pedihnya Kesepian di Tengah Keramaian Kota

14 November 2023   19:10 Diperbarui: 15 November 2023   10:06 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesepian di kawasan perkotaan adalah realitas yang terus berkembang | Ilustrasi oleh Masashi Wakui via Pixabay

Ada sebuah paradoks yang menggelikan tentang kehidupan urban: orang merasa kesepian secara kolektif. Bagaimana mungkin kota, kawasan dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan ruang pertemuan sosial yang begitu banyak, justru menjadi sarang kesepian?

Mungkin keanehan itulah yang membuat pengalaman kesepian urban memiliki rasa khusus. Ini sangat menyakitkan. Rasa sakit karena tersisihkan dari dunia sekitar yang tampak sangat menyenangkan bisa membuat kita depresi.

Seseorang mungkin merasa kesepian karena sahabatnya baru saja meninggal, dan tak pelak lagi ia sangat menderita. Tapi, seiring waktu, lukanya sembuh. Kasusnya agak berbeda dengan seseorang yang kesepian di dalam kerumunan, bising dan (kelihatan) riang.

Ia percaya bahwa kesepian hanya miliknya, sebab semua orang di sekitarnya sedang menari penuh tawa atau menjajal toko demi toko dengan keluarga dan sahabatnya. Ia bukan bagian dari mereka. Setiap keriangan mereka adalah jeritan pedih baginya.

Kesepian semacam itu, sayangnya, jarang bisa sembuh oleh waktu.

Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa kedekatan fisik saja tak cukup untuk mengatasi rasa keterasingan. Kota memungkinkan kehadiran manusia lain secara massal, tapi nyatanya kota telah menjadi tempat yang sepi, dingin, dan lengang.

Sebagaimana ungkap sosiolog Jerman Georg Simmel, "Tak ada orang yang merasa kesepian dan tersesat seperti di tengah keramaian metropolitan." Mengapa bisa begitu? Bagaimana kita bisa menjelaskan paradoks yang menggelikan ini?

Terputus di perkotaan

Lukisan
Lukisan "Nighthawks" (1942) karya Edward Hopper (Sumber: Artic.edu)

Perhatikan lukisan "Nighthawks" (1942) karya Edward Hopper. Amatilah sosok-sosok bungkuk yang duduk di bangku sepanjang meja ramping sebuah restoran yang buka sepanjang malam itu. Bagi saya, mereka seperti terkurung dalam... penjara.

Mungkin restoran itu adalah semacam tempat perlindungan, tapi tak ada pintu masuk yang terlihat. Tak ada cara untuk masuk atau keluar. Ada sebuah pintu berwarna kuning oker di bagian belakang lukisan, yang tampaknya mengarah ke dapur internal.

Namun dari jalan, ruangan itu tertutup rapat, mirip akuarium perkotaan yang dilindungi sel kaca. Warna hijau pucat yang berbahaya itu terasa sangat endemik, khas sebuah kota kaca, kota nokturnal, tempat di mana lampu neon begitu terang dan kosong.

Orang-orang dalam lukisan Hopper (hampir) tak melakukan kontak mata sama sekali. Sekilas saya berpikir bahwa mereka adalah segelintir orang terakhir yang selamat dari bencana kota yang mengerikan, sebuah bencana yang sebenarnya sudah lama terjadi.

Semakin lama menatapnya, saya merasa semakin gelisah. Ada sesuatu yang mengganggu.

Lukisan terkenal ini menangkap romansa melankolis kehidupan perkotaan: kemungkinan tak terbatas, dan kegagalan tak terelakkan, dalam menjalin hubungan. Hopper seolah-olah sangat mengerti bagaimana rasanya sendirian di kota berpenduduk jutaan orang.

Kini saya membayangkan seorang perempuan karier yang berdiri dekat jendela pada malam hari, lantai tiga puluh tiga apartemennya. Ia mengamati barisan sel dan ribuan jendela di seberangnya, sebagian gelap dan sebagian lagi dibanjiri cahaya putih atau keemasan.

Di dalamnya, orang asing mondar-mandir menangani urusan pribadi mereka. Ia bisa melihat mereka, tapi tak bisa menjangkaunya. Fenomena urban semacam ini, di kota mana pun pada malam apa pun, menyampaikan getaran kesepian yang menggelisahkan.

Pada siang hari, terapung dan berjalan sendiri di trotoar kota, ia terasing dan merasa sangat berbeda. Ia menavigasi jalanan yang ramai seperti hantu, bergerak menyelip di antara orang asing yang acuh tak acuh dan berwajah kabur.

Baginya, setiap orang yang ditemuinya, kendati telah berjumpa berkali-kali, adalah anonim. Ia memerhatikan orang-orang ini berjalan dengan cara dan kecepatan yang berbeda-beda, meskipun terkadang mereka menjadi sinkron karena tekanan irama kaki.

Sewaktu di dalam bus menuju tempat kerja, ia mendapati sekelilingnya penuh wajah kosong yang menatapnya tanpa menghakimi atau semacamnya. Lalu puluhan orang itu turun secara bergerombol, dan sepertinya mereka tak punya teman.

Saya pikir hal semacam itu menambah dinginnya kesepian urban. Dan ada apa dengan kota?

Mengapa kota membuat kita kesepian?

Pertama, populasi kota sangat dinamis. Proporsi penduduk asing yang besar bisa membuat orang merasa tak punya tempat tinggal (home, bukan house). Beberapa mungkin menetap selama berbulan-bulan, dan yang lain hanya singgah satu-dua minggu.

Dengan dinamika yang begitu cair, sulit untuk membentuk kelompok pertemanan yang solid dan awet. Belum lagi jika kita mempertimbangkan salah satu alasan utama orang bermigrasi ke kota: kemandirian.

Orang-orang ini mengejar peluang kerja yang lebih besar. Kota juga menawarkan kebebasan yang lebih besar untuk mengukir identitas diri seseorang, dan kita diberitahu bahwa dengan hidup mandiri dan bebas, hidup akan terasa menyenangkan.

Namun, jauh dari keluarga, teman atau sahabat lama, kota turut membuat orang kehilangan sistem pendukungnya. Mereka secara keliru menyamakan antara mandiri dan terisolasi, dan akibatnya hidup yang mandiri bagi mereka adalah hidup yang sepi.

Kita telah melihat bagaimana kebutuhan akan privasi semakin meningkat dan toleransi pada kompromi terus berkurang. Komunitas dan struktur keluarga kita juga telah berubah dengan runtuhnya keluarga besar dan meningkatnya keluarga inti serta orang-orang lajang.

Sayangnya, tak ada data pemerintah yang merekam fenomena ini.

Kedua, kehidupan urban tak dibangun berdasarkan rasa kebersamaan, melainkan hubungan impersonal. Kita bisa melihat ini dari kecenderungan orang untuk mengenyahkan basa-basi sosial saat berada di tengah kerumunan orang banyak.

Kita takut terjebak dalam kecanggungan, jadi kita menghindari obrolan ringan atau bahkan sekadar "hai" kepada orang di sebelah kita saat naik kereta atau bus. Kita berjanji akan balik menyapa jika disapa duluan, tapi, lucunya, orang lain juga berpikir seperti kita.

Hasilnya, masing-masing dari kita saling menunggu atau tidak sama sekali.

Saya pikir hal-hal "kecil" seperti itu merupakan salah satu alasan mayor mengapa penduduk kota sangat mudah untuk merasa tak dibutuhkan ketika dikelilingi oleh jutaan orang. Tanpa kedekatan apa pun, kerumunan tak ada bedanya dengan ruangan kosong.

Di desa kecil, jika rumah tetangga terbakar, Anda adalah orang pertama. Di kota, ada ribuan orang lain yang memiliki posisi serupa dengan Anda, entah menelepon pemadam kebakaran atau mengambil ember untuk memadamkan api.

Apinya memang sama-sama padam, tapi kecil sekali kemungkinan Anda merasa istimewa di lingkungan perkotaan. Anda hanyalah satu dari ribuan orang yang kebetulan tinggal di dekat situ. Tanpa Anda, pemilik rumah yang terbakar tak akan keberatan.

Kota lebih efektif, tapi impersonal. Ini hampir membuat orang menjadi gila, mengarah pada kepribadian skizoid, hingga psikosis dan kesepian. Jika ada yang bilang kota adalah benteng bagi orang-orang yang kesepian, itu lebih seperti mitos daripada fakta.

Ketiga, budaya kerja yang berlebihan. Hidup di kota membutuhkan biaya yang mahal, siapa pun tahu itu. Hal ini tampaknya membuat sebagian besar orang terlibat dalam "perlombaan tikus" karier, duduk berjam-jam di tempat kerja demi keamanan finansial.

Bahkan itu belum cukup. Pada saat yang sama, selain meningkatkan jam kerja, mereka juga terus-menerus melakukan berbagai hal untuk meraih pencapaian yang lebih tinggi lagi. Alhasil, mereka (merasa) tak punya waktu untuk merawat hubungan sosial mereka.

Inilah mengapa semakin sibuk kita, ironisnya, semakin kita merasa kesepian.

Ketika kita tertekan untuk memperoleh lebih banyak hal, ditambah dengan jadwal yang tak menentu, kita kehilangan kontak dengan keluarga dan teman-teman kita. Lalu kita berhenti berbicara, berbagi, dan menjalin ikatan dengan orang lain.

Kita belajar untuk menekan segala macam emosi dan kerumitan hati. Namun, sama seperti membiarkan udara terus membesarkan sebuah balon, suatu hari semua itu pada akhirnya akan meledak. Sedikit sekali, kalaupun ada, yang bisa kita lakukan setelahnya.

Keempat, teknologi membuat hubungan semakin dangkal. Selain kurangnya empati dan waktu untuk satu sama lain, kita juga perlu menyoroti karakter ganda dari dunia online. Di satu sisi, teknologi memungkinkan kita untuk tetap terhubung dengan siapa pun.

Masalahnya, perangkat yang sama turut menghalangi kita untuk terhubung dengan orang di sekitar. Ini karena komputer dan ponsel lebih banyak dipakai sebagai pengganti tatap muka, bukan sebagai alat untuk memperkaya interaksi tatap muka.

Mendesain ulang kota untuk melawan kesepian

Di samping keempat faktor tersebut, sebenarnya ada faktor lainnya yang tak kalah penting: desain kota-kota modern. Dalam konteks ini, cara kita mendesain dan mengatur kota dapat membantu atau menghambat hubungan sosial.

Hutan beton, padat tapi impersonal, mencekal kerinduan kita akan komunitas yang erat. Ruang hidup yang lebih kecil dan perjalanan jauh yang berlebihan mengganggu terciptanya hubungan yang bermakna, menjadikan masyarakat terkotak-kotak dan terisolasi.

Minggu lalu, saya meringis ketika membaca sebuah artikel tentang seorang pria di AS yang meninggal dalam keadaan berpakaian rapi di sofa depan televisinya. Peristiwa ini memang terjadi bertahun-tahun lalu, tapi tetap saja bikin saya gigit jari.

Ia tinggal di apartemen lantai atas, sendirian dan jauh dari manusia lain. Tetangganya baru menemukan jasadnya sekitar tiga bulan kemudian, itu pun bukan karena peduli terhadap kabar dari pria itu yang menghilang selama tiga bulan, tapi karena bau busuk.

Maksud saya, lingkungan perkotaan, dengan menara kaca tinggi yang terdiri dari satu kamar tidur dan dapur kecil, didesain untuk menyendiri, dirancang untuk memisahkan orang dari satu sama lain.

Penghuni yang tinggal di lantai lima ke atas kehilangan kontak dengan kota dan hanya bisa fokus pada pemandangan langit. Tinggal lebih jauh dari tanah berarti mereka lebih jarang berinteraksi dengan manusia lain, bahkan tetangga mereka sendiri.

Tentu saja, sekarang kita bisa mengikuti kelas yoga, nonton film, memesan makan, berbicara dengan teman, bermeditasi, dan banyak hal lainnya tanpa harus keluar rumah. Namun, otak kita masih sama dengan nenek moyang kita.

Kita adalah makhluk sosial yang secara historis berkembang dalam suku-suku kecil berbasis keluarga. Inilah mengapa otak penduduk perkotaan sering kali lebih rentan terhadap stres dibandingkan otak penduduk pedesaan.

Ini bukan berarti saya mendorong orang untuk berbondong-bondong meninggalkan kota. Itu akan sangat konyol, dan lagi pula saya sedang tinggal di kota karena kuliah. Apa yang ingin saya tekankan adalah, sebelum hal-hal lainnya, kita perlu mendesain ulang kota.

Para arsitek kota jauh lebih mengerti, tapi saya sendiri berharap pemerintah memperbanyak tempat untuk aktivitas fisik, mendorong kontak sosial dan memperkuat rasa kebersamaan, memfasilitasi kontak dengan alam untuk mengurangi stres dan menenangkan diri.

Jika ruang publik yang berkualitas meningkatkan rasa kebersamaan, dan kalau kebersamaan ini sangat berbanding terbalik dengan kesepian, maka menciptakan ruang publik berkualitas tinggi dapat menekan fenomena kesepian urban dan mencegahnya sejak awal.

Seperti diungkapkan Olivia Laing dalam bukunya The Lonely City, "Kesepian tak selalu membutuhkan kesendirian fisik, melainkan ketiadaan atau kurangnya koneksi, kekerabatan, kedekatan: ketidakmampuan untuk menemukan keintiman yang diinginkan."

Jadi, ketika saya membayangkan tempat-tempat pertemuan sosial seperti taman kota, saya tak hanya mengharapkan lapangan yang lumayan luas berisikan "miniatur alam" di tengah sesaknya kota, tapi juga mengharapkan interaksi intim di dalamnya.

Ini adalah tentang desain kota, sekaligus budaya masyarakat yang tinggal di dalamnya. Keduanya saling timbal balik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun