Maskulinitas beracun lebih merupakan masalah struktural ketimbang karakter individu laki-laki. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki mengubah perilaku mereka seiring dengan perubahan masyarakat dan ekonomi-politik yang melatarbelakanginya.
Dengan demikian, ini adalah masalah kita bersama, bukan individu lelaki semata.
Kita harus mendekonstruksi maskulinitas beracun dan menggantinya dengan maskulinitas yang sehat. Menjadi lelaki bukan berarti harus menundukkan perempuan. Menjadi pria kuat bukan berarti tak boleh menangis atau curhat, dan seterusnya.
Kita lelaki mungkin dikhianati, dibohongi. Terkadang kita lelaki menangis atau merasa sangat sedih. Bahkan terkadang mengalami depresi. Terkadang kita akan merasa luar biasa. Semua ini normal, dan kita memang normal.
Ya, kita perlu mendefinisikan ulang norma-norma kejantanan. Tapi saya pikir kita juga perlu mendorong lelaki untuk mengurangi investasi pada identitas dan batasan gender, berhenti mengkhawatirkan kejantanan. Kita semua adalah manusia.
Sebagai manusia, apa pun jenis kelaminnya, kita memiliki kombinasi sifat maskulin dan feminin. Kepemimpinan, menafkahi keluarga, menuntaskan tanggung jawab, dan keberanian cenderung diidentikkan dengan sifat maskulin.
Tapi, apa salahnya jika perempuan juga memiliki sifat-sifat tersebut?
Kita membutuhkan pria dewasa untuk menjadi teladan bagi generasi baru. Semuanya dapat dimulai dengan mengajari anak laki-laki kita bahwa hal terpentingnya bukanlah bagaimana menjadi "laki-laki" yang baik, melainkan menjadi manusia yang baik.
Begitu kita menjadikan ini masalah kemanusiaan, maskulinitas beracun akan memudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H