Bagi banyak pria, vulnerable adalah musuh yang harus dihindari bagaimanapun caranya.
Hal itu juga sangat terasa dalam pertemanan. Ketika saya nongkrong dengan teman-teman lelaki saya, kami menunjukkan sebuah pose yang penuh lakon jaga image. Kata-kata seperti "bro" sangat berguna. Sentuhan diperbolehkan, tapi jangan pelukan.
Walau saya bisa menerima batasan-batasan itu untuk sementara waktu, tapi itu merupakan pertunjukan sosial yang melelahkan, dan pertemanan yang terjalin di dalamnya sangat dangkal. Saya merasa seperti alien yang diajari bahasa manusia laki-laki.
Saya tak pernah fasih.
Di sisi lain, saya agak iri dengan pertemanan perempuan. Saya sering menyimak bagaimana teman-teman kakak perempuan saya saling bertukar cerita satu sama lain, meluapkan perasaan masing-masing. Setiap dari mereka akan berkata, "Ya ampun. Kenapa?"
Saya menghargai percakapan dengan teman laki-laki, tapi terkadang saya merindukan sesuatu yang lebih kaya: berbicara tentang pengalaman dan emosi, menawarkan dukungan timbal-balik. Saya ingin bisa bilang pada mereka bahwa saya sedih dan kesepian.
Dan saya telah memulainya.
Dalam setahun terakhir, saya coba menginisiasi sikap vulnerable dengan beberapa sahabat. Ini berjalan baik, bahkan sangat baik. Kami mulai mengakui tekanan yang kami alami selama ini, entah dari keluarga, dosen, atau masyarakat secara keseluruhan.
Kini kami menyadari sesuatu yang penting: kami telah dikondisikan sebagai "laki-laki" untuk menyembunyikan ketakutan, rasa sakit, atau kecemasan. Kami banyak memendam karena takut ditertawakan. Sekarang kami menertawakan stereotip tersebut.
Memerangi toxic masculinity
Saya sama sekali tak bermaksud untuk menyalahkan individu lelaki atas penderitaan mereka sendiri, meskipun sebagian memang merupakan tanggung jawab pribadi. Tapi, lewat istilah maskulinitas beracun, saya juga menekankan masalah struktural.
Jadi saya tak bilang jika lelaki mengalami depresi, itu semata-mata karena mereka tak mau mengungkapkan perasaannya. Jika mereka sakit, itu karena mereka enggan berobat. Jika mereka meninggal muda, itu karena mereka merokok dan makan sembarangan.