Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pada Pemilu 2024, Omong Kosong Bisa Lebih Berbahaya daripada Kebohongan

31 Oktober 2023   12:05 Diperbarui: 1 November 2023   08:12 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebohongan jelas berbahaya, tapi omong kosong mungkin lebih berbahaya lagi | Ilustrasi oleh Rudy and Peter Skitterians via Pixabay

Politik penuh dengan orang-orang yang tak peduli terhadap fakta. Dan karena politik punya begitu banyak hal yang dipertaruhkan, sikap abai ini bisa menimbulkan konsekuensi serius. Lalu, mengapa para politisi teramat santai dalam menyikapi kebenaran?

Alasannya adalah bahwa perilaku seperti itu sering kali lebih menguntungkan daripada mengungkapkan kebenaran. Fakta kerap tak sejalan dengan keyakinan atau tujuan mereka, terutama untuk mendulang suara, jadi mengapa repot-repot memedulikan fakta.

Dalam pengertian ini, mereka sebenarnya tak berbohong, melainkan membual. Mereka tak melontarkan kebohongan, melainkan omong kosong.

Di sini saya akan menunjukkan bahwa omong kosong sering kali lebih berbahaya ketimbang kebohongan bagi keberhasilan pemilu. Pertama-tama, saya perlu memperjelas maksud dari omong kosong dan mengapa itu tak sama dengan kebohongan.

Apa itu omong kosong?

Kita biasanya menganggap omong kosong sebagai sejenis kebohongan, tapi kebohongan dan omong kosong sebenarnya sangat berbeda, meskipun terkadang tak terpisahkan satu sama lain. Omong kosong (bullshit), menariknya, merupakan istilah akademis.

Kita perlu berterima kasih pada filsuf Harry G. Frankfurt untuk pengertian yang kita punya tentang omong kosong. Dia adalah orang pertama yang mendedikasikan waktu serius untuk menganalisis istilah aneh ini. Saya sangat merekomendasikan bukunya "On Bullshit" (2005).

Menurut Frankfurt, omong kosong bukanlah kebohongan. Keduanya salah menggambarkan kebenaran, tapi dengan maksud yang sangat berbeda. Pembohong mengetahui kebenaran, hanya saja mereka menyembunyikannya dari kita.

Di sisi lain, pembual sama sekali tak peduli apakah hal-hal yang dikatakannya sesuai dengan kebenaran. Mereka hanya memilih, atau mengarang, cerita agar selaras dengan tujuannya. Mereka tak tahu apa-apa tentang A, tapi mereka akan menceritakan A jika itu "berguna".

Seorang pembohong dan seorang yang jujur bisa dibilang punya kesamaan: keduanya tahu kebenaran. Keduanya berbeda karena yang satu memilih untuk menggunakan otoritas fakta sebagai panduan, sedangkan yang satu menolak untuk memenuhi tuntutan fakta.

Pembual, sebaliknya, mengabaikan tuntutan tersebut. Berbeda dengan pembohong, mereka yang menyampaikan omong kosong tak menolak otoritas kebenaran, atau menutup diri dari fakta. Mereka sesederhana tak menaruh perhatian terhadapnya.

Ini bukan permainan benar dan salah; ini adalah permainan politik. Pembual hanya berfokus untuk memajukan agenda mereka sendiri. Omong kosong, dengan kata lain, merupakan alat untuk mencapai tujuan.

Mari kita buat lebih mudah dengan contoh-contoh.

Saya mengatakan kepada teman-teman saya bahwa saya telah sering memenangkan lomba esai. Kata "sering" mungkin terlalu ambigu, jadi saya menekankan pada mereka, "Lebih dari 20 kali." Pencapaian yang mengagumkan, eh?

Secara definisi, saya tak berbohong karena saya bahkan tak tahu berapa jumlah sebenarnya. Saya baru bisa dibilang pembohong kalau saya telah memenangkan lomba esai sebanyak 15 kali, tapi saya mengatakannya lebih dari 20 kali.

Di sini saya tak tahu kebenarannya berapa dan bagaimana. Saya mengatakan lebih dari 20 kali semata-mata karena saya ingin orang lain melihat saya sebagai penulis esai yang andal. Kenyataannya, saya tak peduli sama sekali benar-salahnya ucapan saya.

Saya adalah pembual.

Sekarang perhatikan contoh yang berkaitan dengan pemilu. Mamat dan Wawan merupakan calon kepala daerah yang saling bersaing di Kota Gotham. Keduanya memilih menggunakan taktik curang untuk menurunkan citra lawannya di mata para pemilih.

Mamat mengarang rumor yang tak benar mengenai kehidupan pribadi Wawan, dan Mamat sendiri menyadari bahwa rumor itu salah. Ketika dia membuat cuitan tentang Wawan kepada jutaan pengikutnya, Mamat sedang berbohong.

Sementara itu, Wawan tak mengarang rumor tentang Mamat. Wawan lebih memilih untuk membagikan rumor yang sudah beredar secara online. Yang penting, dia tak tahu asal muasal rumor tersebut dan tak tahu apakah rumor itu benar atau salah.

Bahkan, Wawan sama sekali tak tertarik untuk mengetahuinya. Benar-salahnya rumor tersebut tak terlalu penting dibandingkan kegunaannya sebagai senjata politik. Dalam kasus ini, tak pelak lagi, Wawan adalah seorang pembual.

Mengapa omong kosong bisa lebih berbahaya daripada kebohongan?

Kebohongan jelas berbahaya, terutama dalam konteks pemilu. Setiap kali seorang kandidat menyampaikan kebohongan, mereka bukan hanya menipu individu atau sekelompok orang, tapi mereka juga menggerogoti demokrasi secara keseluruhan.

Biarpun begitu, dalam beberapa hal, omong kosong lebih berbahaya daripada kebohongan. Ada beberapa alasan yang tersebar, tapi saya hanya akan mengemukakan satu alasan yang telah saya khawatirkan sejak lama.

Alasan itu adalah bahwa omong kosong dapat digunakan untuk memvalidasi perasaan seseorang terhadap kandidat tertentu. Salah satu ironi terbesar dari pemilu adalah bahwa pemilih tak selalu mendasarkan pilihannya pada alasan-alasan yang rasional.

Pertimbangkan bagaimana Adolf Hitler terpilih dalam pemilu di Jerman tahun 1930-an. Ini mungkin bukan murni akibat irasionalitas pemilih, tapi tragedi semacam ini menekankan pentingnya memastikan pemilih yang rasional.

Ada banyak bukti bahwa pemilih sering kali, bukan hanya sesekali, tak rasional. Mereka memilih bukan karena mereka telah menilai dengan cermat bahwa kandidat tertentu adalah yang paling cakap memimpin, melainkan karena kesamaan identitas, atau sesuka hati saja.

Bahkan beberapa filsuf politik realis berpendapat bahwa pemilu bukan tentang rasionalitas manusia, melainkan perasaan. Dalam hal perasaan, Einstein tak lebih baik dari orang lain, dan inilah mengapa suara Einstein dan suara saya sama-sama dihitung satu.

Saya tak bilang perasaan adalah kebalikan dari rasionalitas. Perasaan juga merupakan hasil kalkulasi, tapi kita biasanya gagal menyadari itu karena proses perhitungannya begitu cepat dan terjadi jauh di bawah ambang kesadaran kita.

Anda membuat saya merasa nyaman. Pasti ada alasan mengapa hal itu terjadi. Tapi karena hitung-hitungan itu terjadi sebegitu cepat dan sulit direfleksikan, saya tak bisa bilang alasan pastinya; saya hanya bisa bilang bahwa saya merasa nyaman dengan Anda.

Masalahnya, sekali perasaan itu muncul, fakta mungkin tak lagi berguna.

Seseorang coba meyakinkan saya bahwa Anda pernah mencopet dan melakukan kekerasan di tempat umum. Karena saya terlanjur menyukai Anda, saya bukan hanya setia pada Anda, tapi saya juga membela Anda dengan membuat alasan-alasan mengapa Anda tak bersalah.

Sekarang bayangkan skenario lain dalam konteks pemilu.

Saya menyukai paslon A karena mereka memiliki identitas kesukuan dan keagamaan yang sama dengan saya. Pada suatu kesempatan, paslon A berpidato bahwa para elite politik telah merancang rencana jahat untuk menyengsarakan rakyat.

Sebagai orang miskin yang merasa diperlakukan tak adil oleh penguasa, saya semakin menyukai paslon A. Saya merasa pidato mereka benar-benar menyuarakan semua keluhan saya, dan tak pelak lagi saya akan membela mereka hingga ke tepiannya.

Tapi, siapa elite yang dimaksud? Rencana jahat macam apa yang mereka bicarakan? Bisakah saya, atau bahkan para ahli sekalipun, memeriksa pernyataan itu dan membuktikannya salah? Itulah omong kosong.

Berbohong sebenarnya merupakan pekerjaan berat. Kita harus tahu faktanya dulu, baru kita mencari cara bagaimana kita bisa menghindari fakta itu dan, sebagai hasilnya, meningkatkan citra kita di mata pemilih.

Kandidat yang membual, sebaliknya, tak perlu repot-repot mengetahui fakta, atau bahkan memedulikannya. Mereka hanya perlu mengatakan apa pun (benar-benar apa pun) supaya pemilih menyukainya dan mendukung mereka dalam pemungutan suara.

Mari kita sederhanakan lagi: kita sering kali memilih kandidat tertentu bukan berdasarkan alasan-alasan yang rasional, melainkan perasaan; jika omong kosong berarti memanjakan perasaan pemilih, benar atau salah, baik atau buruk, ini adalah mesin suara yang mudah.

Dalam pengertian ini, politik pada dasarnya adalah praktik emosional.

Kebohongan, selain lebih menguras pikiran dan tenaga, juga berisiko tinggi jika suatu waktu sang pembohong ketahuan menipu. Omong kosong, di sisi lain, bukan hanya lebih gampang diotak-atik dalam rangka menggaet pemilih, tapi juga lebih sulit dibantah.

Jika ada bantahan, seorang pembual akan mengarang cerita lainnya.

Perhatikan Donald Trump. Para pengamat dan analis politik agak terkejut ketika dia menang Pemilu 2016 di Amerika Serikat. Selama dia menjabat, rentetan kebohongan muncul pada setiap pidatonya; para pengamat dan analis politik mudah untuk menyangkalnya.

Namun, pada banyak kesempatan pula, Trump menguraikan data-data statistik yang mendukung rasisme dan Islamofobia-nya. Dia mengklaim bahwa data tersebut dikeluarkan oleh sebuah biro rahasia yang langsung berada dalam pengawasannya.

Di titik inilah para pengamat dan analis politik kebingungan. Bagaimana cara mengonfirmasi data tersebut jika institusi yang mengeluarkannya saja bersifat rahasia? Lucunya, sementara mereka kebingungan, Trump sedang menggaet lebih banyak pemilih.

Apakah kita punya politisi seperti Trump di Indonesia?

Apa yang bisa kita lakukan?

Saya khawatir kita tak punya cara mudah dan kuat untuk menyangkal omong kosong dalam politik, khususnya pemilu. Penyangkalan omong kosong, ironisnya, hanya menambah bahan bakar ke dalam api, menyebarkan omong kosong tersebut lebih luas lagi.

Mengulangi omong kosong, seperti halnya mitos, bahkan untuk menghilangkan prasangkanya, membuatnya tampak lebih bisa dipercaya. Terlebih, media sosial akan membuat penyebaran omong kosong lebih cepat daripada penyangkalan terhadapnya.

Bagaimanapun, patah arang tak ada gunanya.

Saya harap para jurnalis, instansi pemilu, dan lembaga swadaya masyarakat tetap mengawal pemilu secara intens. Artinya, mereka harus mengidentifikasi dan mengklarifikasi pernyataan-pernyataan penting dari setiap kandidat, tak membiarkan mereka membual.

Memastikan para pemilih terinformasi juga sangat penting. Kendati tak semua pemilih akan mengubah keputusannya berdasarkan informasi dan fakta yang ada, informasi semacam itu masih berguna untuk pemilih  yang belum menyatakan pilihannya.

Omong kosong tumbuh subur dalam politik, tapi sebenarnya kita semua turut berkontribusi terhadapnya, sadar atau tidak, termasuk artikel ini. Saya harap kita semua tak terlalu keras kepala atau fanatik terhadap pendapat dan perasaan kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun