Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mengapa Begitu Banyak Tulisan yang Buruk?

10 Oktober 2023   20:00 Diperbarui: 10 Oktober 2023   20:07 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul artikel ini mungkin terlalu kasar, tapi mengarah langsung ke intinya: tulisan buruk ada di mana-mana, dibuat oleh banyak orang, termasuk diri saya sendiri. Jadi, alih-alih mengklaim bahwa tulisan saya bagus, saya justru mau mengkritik diri sendiri.

Ini bermula dari sebuah pertanyaan yang mengusik kepala saya selama berhari-hari.

Dua minggu lalu, saya mengisi workshop kepenulisan esai dalam rangkaian ospek Ilmu Politik Unpad. Setelah menerangkan materi, seperti lazimnya, hadirin yang terdiri atas mahasiswa baru dipersilakan untuk bertanya. Seorang pria jangkung mengangkat tangan.

Dia menyindir CV saya, lalu bertanya, "Apa rahasianya? Bagaimana bisa menulis esai terlihat semudah itu?"

Saya tertawa kecil dan memberi jawaban singkat yang agak mengecewakan: "Saya tak pernah bilang bahwa menulis itu mudah, apa pun jenis tulisannya." Bagi saya, menulis adalah kombinasi dari tiga hal, dimulai dari porsi terbesar: pengetahuan, keterampilan, dan bakat.

Jika seseorang mahir menulis tapi tak begitu mengerti subjek yang dibahasnya, konten tulisannya bakal penuh omong kosong. Jika seseorang mengerti persoalan tapi tak terbiasa menulis, gaya dan pengemasannya akan membosankan. Bakat hanya nilai plus.

Meskipun saya masih meyakini jawaban tersebut, saya ragu apakah itu sudah menyentuh akar masalahnya. Usai acara, saya menginterogasi diri sendiri: "Lantas mengapa penulis terbaik sekalipun, yang punya kombinasi dari ketiganya, masih menghasilkan tulisan yang buruk?"

Baca juga: Melankolis

Saya tidur dengan pertanyaan itu. Dua hari setelahnya, saya menemukan ceramah Steven Pinker di YouTube tentang gaya menulis, yang lalu mendorong saya untuk membaca bukunya "The Sense of Style: The Thinking Person's Guide to Writing in the 21st Century".

Pinker memberi saya titik terang baru. Jadi, di sini saya akan meringkas dan menafsirkan teori-teori Pinker tentang mengapa banyak orang, bahkan penulis terbaik sekalipun, yang menghasilkan tulisan-tulisan buruk. Jawaban utamanya akan saya taruh terakhir.

Teori #1: Tulisan buruk adalah pilihan yang disengaja

Berdasarkan teori ini, tulisan buruk merupakan sebuah kesengajaan dan bukan kelalaian. Para birokrat dan manajer bisnis bersikeras memakai omong kosong untuk menutupi aneka kesalahannya, dan dengan demikian menghindari tanggung jawab mereka.

Para pria kutu buku menulis karya sastra sebagai bentuk balas dendam kepada perempuan-perempuan yang dulu menolaknya saat SMP. Kaum intelektual menulis kata-kata yang "canggih" untuk menyembunyikan fakta bahwa mereka tak punya apa-apa untuk dikatakan.

Kaum akademisi mendandani hal-hal sepele dan tak penting dengan hiasan bahasa ilmiah, menjelaskannya secara rumit dan susah dimengerti, berharap bisa bikin para pembacanya terkagum-kagum pada "keluasan wawasan" mereka.

Teori ini mungkin benar, tapi tetap saja tak masuk akal. Jika tulisan buruk memang tercipta karena niat buruk dari penulisnya, berarti mereka yang punya niat baik pasti menghasilkan tulisan-tulisan bagus. Kenyataannya, tentu saja, tak begitu.

Ada banyak cendekiawan yang tak menyembunyikan apa pun dan tak berusaha membuat pembacanya terkesan. Mereka jujur dan bersahaja, tipe orang yang bisa kita ajak ke pesta. Mereka bahkan menghasilkan ide-ide brilian dan melakukan terobosan dalam bidang-bidang penting.

Tetap saja, tulisan mereka jelek. Tulisan yang bagus tak ada kaitannya dengan tingkat dan derajat moral seseorang.

Teori #2: Media digital merusak bahasa

Kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk menulis (Tweet, pesan WA, email) daripada sebelumnya, dan itu bagus. Kita pasti menduga bahwa populasi yang suka bermain bola akan menghasilkan tim sepak bola yang bagus, dan mungkin menulis setiap hari akan berdampak sama positifnya.

Menurut teori ini, justru sebaliknya: Google bikin kita bodoh, dan X (dulunya Twitter) merusak tata bahasa kita karena memaksa kita untuk menulis dalam 280 karakter. Gegara media digital, katanya, kaum muda tak bisa mengingat baris-baris puisi seperti pendahulunya.

Tapi, sejauh ini belum ada bukti langsung yang mengonfirmasi bahwa kebiasaan mengirim pesan instan menyebabkan penurunan kemampuan menulis formal, seperti kemampuan kita dalam menggunakan tata bahasa dan tanda baca dengan benar.

Masalah lainnya, teori ini secara tersirat juga mengasumsikan bahwa sebelum kemunculan media digital, kita pernah memiliki setidaknya satu generasi yang menulis nyaris secara sempurna, tak ada cela atau aneka kesalahan lainnya yang dilakukan generasi kita.

Namun, dalam penelusuran Steven Pinker, ilusi ini ada di setiap zaman.

Pada tahun 1978, ada keluhan begini: "Lulusan baru, termasuk yang bergelar sarjana, tampaknya tak menguasai bahasa sama sekali. Mereka tak bisa membuat kalimat deklaratif sederhana, baik secara lisan maupun tertulis. Mereka tak bisa mengeja kata-kata keseharian."

Sebelum dan sesudah tahun itu, bahkan pada zaman kuno, keluhan serupa selalu ada. Jadi, tulisan buruk tak terlalu berkaitan dengan masifnya penggunaan media digital.

Teori #3: Kutukan pengetahuan

Binatang dan tumbuhan mungkin berbicara dengan sesamanya lewat cara tertentu, tapi tak satu pun dari mereka yang bisa menulis seperti manusia. Masalahnya, berbeda dengan berbicara, menulis tak bersifat naluriah, melainkan bersifat artifisial.

"Manusia punya kecenderungan naluriah untuk berbicara, sebagaimana kita lihat pada celotehan anak-anak," tulis Charles Darwin, "sedangkan tak ada anak yang punya kecenderungan naluriah untuk membuat kue, menyeduh minuman, atau menulis."

Kita tak tahu pasti siapa pembaca kita, bahkan kita mungkin sudah mati ketika mereka membaca tulisan kita. Dalam proses menulis, pembaca hanya ada dalam imajinasi kita. Mereka tak bisa bereaksi, mengerutkan alis, atau menyela dan meminta klarifikasi.

Dengan "kepura-puraan" semacam itu, dan bahwa esensi dari menulis adalah tentang mengomunikasikan ide kepada orang lain, dan bahwa ada kemungkinan cara yang hampir tak terbatas untuk menyusun sebuah ide, tak pelak lagi bahwa menulis itu selalu sulit.

Pinker meringkas kesulitan tersebut dalam istilah "Kutukan Pengetahuan" (The Curse of Knowledge), sejenis kesulitan untuk membayangkan bagaimana rasanya jika orang lain tak mengetahui sesuatu yang kita ketahui.

Bagi Pinker, kutukan pengetahuan adalah satu-satunya penjelasan terbaik soal mengapa kita sering menghasilkan tulisan yang buruk. Dalam hal ini, ketika kita menulis, kita jarang memikirkan bahwa pembaca tak mengetahui apa yang kita ketahui.

Kita menganggap bahwa sesuatu yang menurut kita sejelas siang hari pasti juga sama jelasnya bagi pembaca, sehingga kita merasa tak perlu repot menjelaskan gagasan kita dengan lebih jelas lagi. Padahal kenyataannya tak selalu begitu.

Bayangkan saya menanyakan sebuah alamat kepada Anda, lalu Anda menjelaskannya dengan begitu fasih, mengingat Anda sudah lama tinggal di situ. Tapi, dalam pikiran saya, seorang pendatang yang tersesat dan tak tahu apa-apa, penjelasan Anda seperti benang kusut.

Itulah kutukan pengetahuan: Anda kesulitan membayangkan bagaimana rasanya tersesat di daerah tempat tinggal Anda. Anda mungkin bisa mempelajari sesuatu yang baru tentang tempat tinggal Anda, tapi Anda tak bisa kembali ke kondisi ketika Anda tak tahu apa-apa tentangnya.

Perhatikan lagi contoh-contoh berikut.

Seorang konsultan bisnis memperkenalkan dirinya kepada wartawan: "Saya adalah seorang ahli strategi digital dan media sosial. Saya memberikan program, produk, dan strategi kepada klien korporat saya di seluruh spektrum fungsi komunikasi."

Wartawan itu tak mengerti dan meminta sang konsultan untuk menjelaskan dirinya lagi. Setelah berkali-kali gagal, sang konsultan menyerah dan berkata dengan lebih sederhana: "Saya mengajari perusahaan-perusahaan besar cara menggunakan Facebook."

Dosen juga kerap mengalami kutukan pengetahuan. Waktu itu saya mengernyitkan alis karena tak paham apa yang dibahas dosen. Sadar akan ekspresi aneh saya, beliau bertanya apakah ada yang salah. Saya bilang saya tak mengerti istilah-istilah yang dibahasnya.

"Masa?" tanya beliau dengan ekspresi dan gestur greget, mengira mahasiswa baru sekalipun pasti mengenal istilah-istilah seperti "metafora panoptikon" atau "manusia satu dimensi". Padahal, waktu itu semester 3, tak seorang pun di dalam kelas yang mengerti.

Semakin baik kita mengetahui sesuatu, semakin sedikit kita mengingat betapa sulitnya belajar. Semakin banyak yang kita ketahui, semakin tak jelas kita menulis. Semakin kita menguasai sesuatu, semakin sulit kita menjelaskannya pada orang awam.

Saat ini, berbeda ketika saya masih semester 2, rasanya amat sulit bagi saya untuk membicarakan politik dengan orang lain di tongkrongan teman atau kedai kopi. Kepala saya memutar teori-teori rumit, tapi teori-teori itu hanya bikin pusing lawan bicara saya.

Ketika kita menjadi mahir dalam pekerjaan atau hobi kita, kita menjadi sering menggunakan kosakata teknis atau singkatan-singkatan tertentu. Kata kunci ini mengalir dari jari-jari kita secara otomatis, dan lupa bahwa pembaca mungkin tak mengetahuinya.

Itulah ironi kutukan pengetahuan. "Kutukan" ini membuat tulisan kita terlalu rumit untuk dimengerti karena cara penyampaian gagasan yang tak jelas, salah memilih diksi, gaya menulis yang kaku dan terisolasi, atau struktur yang tak tertata rapi.

Epilog

Menulis adalah tentang mengomunikasikan ide kepada orang lain. Jadi, tulisan buruk, pertama dan terutama, adalah tulisan yang gagal menyampaikan maksudnya secara jelas, atau bahkan malah bikin pembacanya tambah bingung dan tersesat.

Itu bisa jadi sulit. Bisa juga mudah dan menyenangkan. Atau menyenangkan dan sulit sekaligus. Atau sulit tapi penting dan memuaskan. Kita akan berhenti menulis kalau menulis tak demikian. Kita bosan dengan sesuatu yang terlalu gampang.

Bagi beberapa orang, menulis adalah pekerjaan, dan pekerjaan terkadang sulit. Di sebagian hari mungkin itu mudah, tapi ironisnya, hari-hari yang mudah tak berarti pekerjaan itu bagus, dan hari-hari yang sulit bukan berarti pekerjaan itu buruk.

Bagaimanapun, saya lebih suka mengatakannya tanpa kompromi: menulis itu selalu sulit. Ini adalah sebuah keahlian (craftmanship), seperti kata Darwin. Sementara kata Thomas Mann, "Penulis adalah seseorang yang baginya menulis lebih sulit daripada orang lain."

Saya sudah menulis sekitar tiga ratus artikel blog, lebih dari seratus esai, dua buku, dan beberapa artikel jurnal. Saya tak mengatakan jumlah tersebut banyak, tapi rasanya itu harus membuat menulis jadi lebih mudah bagi saya. Faktanya tak pernah begitu.

Menulis itu sulit sekali, dan saya tak akan melakukannya dengan cara lain.

Dan Anda lihat, saya mengalami kutukan pengetahuan untuk beberapa paragraf penting dalam artikel ini, atau bahkan semuanya. Inti artikel ini sebenarnya sederhana: menulis itu susah. Tapi saya menulis lebih dari 1.500 kata untuk mengatakan hal sesederhana itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun