Sebelum dan sesudah tahun itu, bahkan pada zaman kuno, keluhan serupa selalu ada. Jadi, tulisan buruk tak terlalu berkaitan dengan masifnya penggunaan media digital.
Teori #3: Kutukan pengetahuan
Binatang dan tumbuhan mungkin berbicara dengan sesamanya lewat cara tertentu, tapi tak satu pun dari mereka yang bisa menulis seperti manusia. Masalahnya, berbeda dengan berbicara, menulis tak bersifat naluriah, melainkan bersifat artifisial.
"Manusia punya kecenderungan naluriah untuk berbicara, sebagaimana kita lihat pada celotehan anak-anak," tulis Charles Darwin, "sedangkan tak ada anak yang punya kecenderungan naluriah untuk membuat kue, menyeduh minuman, atau menulis."
Kita tak tahu pasti siapa pembaca kita, bahkan kita mungkin sudah mati ketika mereka membaca tulisan kita. Dalam proses menulis, pembaca hanya ada dalam imajinasi kita. Mereka tak bisa bereaksi, mengerutkan alis, atau menyela dan meminta klarifikasi.
Dengan "kepura-puraan" semacam itu, dan bahwa esensi dari menulis adalah tentang mengomunikasikan ide kepada orang lain, dan bahwa ada kemungkinan cara yang hampir tak terbatas untuk menyusun sebuah ide, tak pelak lagi bahwa menulis itu selalu sulit.
Pinker meringkas kesulitan tersebut dalam istilah "Kutukan Pengetahuan" (The Curse of Knowledge), sejenis kesulitan untuk membayangkan bagaimana rasanya jika orang lain tak mengetahui sesuatu yang kita ketahui.
Bagi Pinker, kutukan pengetahuan adalah satu-satunya penjelasan terbaik soal mengapa kita sering menghasilkan tulisan yang buruk. Dalam hal ini, ketika kita menulis, kita jarang memikirkan bahwa pembaca tak mengetahui apa yang kita ketahui.
Kita menganggap bahwa sesuatu yang menurut kita sejelas siang hari pasti juga sama jelasnya bagi pembaca, sehingga kita merasa tak perlu repot menjelaskan gagasan kita dengan lebih jelas lagi. Padahal kenyataannya tak selalu begitu.
Bayangkan saya menanyakan sebuah alamat kepada Anda, lalu Anda menjelaskannya dengan begitu fasih, mengingat Anda sudah lama tinggal di situ. Tapi, dalam pikiran saya, seorang pendatang yang tersesat dan tak tahu apa-apa, penjelasan Anda seperti benang kusut.
Itulah kutukan pengetahuan: Anda kesulitan membayangkan bagaimana rasanya tersesat di daerah tempat tinggal Anda. Anda mungkin bisa mempelajari sesuatu yang baru tentang tempat tinggal Anda, tapi Anda tak bisa kembali ke kondisi ketika Anda tak tahu apa-apa tentangnya.
Perhatikan lagi contoh-contoh berikut.