Seorang konsultan bisnis memperkenalkan dirinya kepada wartawan: "Saya adalah seorang ahli strategi digital dan media sosial. Saya memberikan program, produk, dan strategi kepada klien korporat saya di seluruh spektrum fungsi komunikasi."
Wartawan itu tak mengerti dan meminta sang konsultan untuk menjelaskan dirinya lagi. Setelah berkali-kali gagal, sang konsultan menyerah dan berkata dengan lebih sederhana: "Saya mengajari perusahaan-perusahaan besar cara menggunakan Facebook."
Dosen juga kerap mengalami kutukan pengetahuan. Waktu itu saya mengernyitkan alis karena tak paham apa yang dibahas dosen. Sadar akan ekspresi aneh saya, beliau bertanya apakah ada yang salah. Saya bilang saya tak mengerti istilah-istilah yang dibahasnya.
"Masa?" tanya beliau dengan ekspresi dan gestur greget, mengira mahasiswa baru sekalipun pasti mengenal istilah-istilah seperti "metafora panoptikon" atau "manusia satu dimensi". Padahal, waktu itu semester 3, tak seorang pun di dalam kelas yang mengerti.
Semakin baik kita mengetahui sesuatu, semakin sedikit kita mengingat betapa sulitnya belajar. Semakin banyak yang kita ketahui, semakin tak jelas kita menulis. Semakin kita menguasai sesuatu, semakin sulit kita menjelaskannya pada orang awam.
Saat ini, berbeda ketika saya masih semester 2, rasanya amat sulit bagi saya untuk membicarakan politik dengan orang lain di tongkrongan teman atau kedai kopi. Kepala saya memutar teori-teori rumit, tapi teori-teori itu hanya bikin pusing lawan bicara saya.
Ketika kita menjadi mahir dalam pekerjaan atau hobi kita, kita menjadi sering menggunakan kosakata teknis atau singkatan-singkatan tertentu. Kata kunci ini mengalir dari jari-jari kita secara otomatis, dan lupa bahwa pembaca mungkin tak mengetahuinya.
Itulah ironi kutukan pengetahuan. "Kutukan" ini membuat tulisan kita terlalu rumit untuk dimengerti karena cara penyampaian gagasan yang tak jelas, salah memilih diksi, gaya menulis yang kaku dan terisolasi, atau struktur yang tak tertata rapi.
Epilog
Menulis adalah tentang mengomunikasikan ide kepada orang lain. Jadi, tulisan buruk, pertama dan terutama, adalah tulisan yang gagal menyampaikan maksudnya secara jelas, atau bahkan malah bikin pembacanya tambah bingung dan tersesat.
Itu bisa jadi sulit. Bisa juga mudah dan menyenangkan. Atau menyenangkan dan sulit sekaligus. Atau sulit tapi penting dan memuaskan. Kita akan berhenti menulis kalau menulis tak demikian. Kita bosan dengan sesuatu yang terlalu gampang.
Bagi beberapa orang, menulis adalah pekerjaan, dan pekerjaan terkadang sulit. Di sebagian hari mungkin itu mudah, tapi ironisnya, hari-hari yang mudah tak berarti pekerjaan itu bagus, dan hari-hari yang sulit bukan berarti pekerjaan itu buruk.