Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fakta Saja Tidak Cukup untuk Melawan Berita Hoaks

5 Oktober 2023   10:36 Diperbarui: 6 Oktober 2023   09:45 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kehadiran fakta penting untuk melawan berita hoaks, tetapi fakta saja tidak akan cukup | Ilustrasi oleh Claudia via Pixabay

Saat ini kita punya lebih banyak informasi di ujung jari kita ketimbang para pendahulu kita, tapi kita juga punya lebih banyak berita palsu. Inilah masa ketika gagasan tentang adanya fakta dipertanyakan secara serius, dan bukan untuk alasan yang bagus.

Meski didukung banyak bukti ilmiah, beberapa orang tetap bersikeras bahwa perubahan iklim tidaklah nyata. Pada akhir Maret 2020, ketika orang-orang di seluruh dunia berada dalam karantina wilayah akibat pandemi Covid-19, orang meributkan apakah 5G aman.

Tak peduli berapa banyak penelitian ilmiah yang menyimpulkan bahwa vaksin itu aman, dan tak ada hubungan antara imunisasi dan autisme, kelompok anti-vaksin tetap bergeming. Dan sebagian dari kita mungkin sudah bosan mendengar argumen Bumi datar.

Menjelang Pemilu 2024, orang-orang yang keras kepala seperti itu mungkin akan memenuhi ruang diskusi publik, membombardir kita dengan statistik dan angka-angka karangan mereka sendiri. Istilah "fakta alternatif" mungkin akan tiba juga di Indonesia.

Pada kontes elektoral sebelumnya seperti Pilgub Jakarta 2017 dan Pemilu 2019, black campaign dan berita hoaks berkontribusi besar terhadap polarisasi masyarakat, sering kali memengaruhi (kalau bukan menentukan) keputusan pemilih. Hoaks tampaknya bekerja lebih kuat daripada fakta.

Saya tak bilang hal itu akan menentukan hasil pemilu di Indonesia; ada kekuatan yang jauh lebih menentukan. Bagaimanapun, saya menduga ini adalah dinamika marjinal tapi signifikan dalam menggeser agenda dan memobilisasi dukungan untuk kandidat tertentu.

Baca juga: Melankolis

Jawaban yang paling sering diajukan atas masalah ini adalah menghadirkan lebih banyak fakta. Tapi saya pikir jawaban ini salah diagnosis. Menjejalkan fakta pada masyarakat dan menyingkapkan ketidaktahuan mereka malah berpotensi menjadi bumerang.

Mengapa fakta saja tak cukup?

Meskipun menggoda untuk melawan kebohongan dengan fakta, sedikitnya ada tiga masalah dengan strategi tersebut.

Pertama, kebohongan yang sederhana bisa mengalahkan serangkaian fakta yang rumit hanya karena lebih mudah dipahami dan diingat. Keraguan, sekecil apa pun itu, bisa meruntuhkan (atau menangguhkan) fakta-fakta yang sebelumnya mengisi pikiran kita.

Sekali kita mendengar klaim yang tak benar, kita tak akan bisa mengabaikannya begitu saja. Apalagi jika kebohongan atau sanggahan terhadap fakta mengambil alih siklus berita: mengulang-ulang klaim yang salah bisa membuatnya melekat.

Penghancuran mitos mungkin saja berhasil, tapi kemudian ingatan kita memudar dan hanya mengingat mitosnya saja. Mitos, suka-tak-suka, adalah hal yang terus diulang-ulang. Bantahan terhadapnya, biarpun bertubi-tubi, justru akan membuat pesonanya semakin kuat.

Pertimbangkan cara industri tembakau mempertahankan bisnisnya. Pada awal 1950-an, para ilmuwan sedang giat mempublikasikan bukti kuat tentang hubungan antara merokok dan kanker. Para jurnalis meramalkan bahwa publikasi-publikasi ini akan menghabisi industri tembakau.

Ternyata tidak.

Terlepas dari kenyataan bahwa produknya membuat ketagihan dan mematikan, Big Tobacco terus memunculkan wacana tandingan untuk menyangkal temuan tersebut. Mereka menangkisnya bukan dengan cara ilmiah, tapi sesederhana mempertanyakan kebenaran temuan para ilmuwan.

Fakta-fakta tentang merokok, sesuatu yang tak terbantahkan, segera tenggelam. Fakta-fakta itu diperdebatkan. Sumber-sumber yang tak perlu dipertanyakan, justru dipertanyakan. Keraguan tampaknya adalah cara terbaik untuk menyaingi fakta.

Kedua, fakta biasanya membosankan. Dunia ini penuh dengan hal-hal yang harus diperhatikan, mulai dari Instagram teman hingga tagihan pajak. Mengapa repot-repot memerhatikan sesuatu yang membosankan seperti fakta? Bukankah sinetron lebih menarik daripada iklan layanan kesehatan?

Perhatian sudah menjadi mata uang baru. Judul-judul seperti "Serangan balik Ukraina bikin kalang kabut Rusia, begini tanggapan Lesti" dan "Tujuh ramalan mengenai artis Indonesia di tahun 2023" efektif dalam menghasilkan keterlibatan dan tanggapan.

Ujung dari gangguan tersebut adalah hal-hal yang sangat penting jadi terlalu membosankan untuk diberitakan.

Terorisme memancing reaksi media yang sangat besar, sedangkan merokok tidak. Padahal, menurut data WHO, lebih dari 200 ribu orang Indonesia meninggal akibat merokok setiap tahunnya. Teroris tak membunuh orang Indonesia sebanyak itu dalam satu tahun.

Tapi, para teroris berhasil jadi berita utama, sementara industri rokok bisa menghindarinya. Ayah saya mengaku pernah ragu untuk merokok lagi saat peringatan bahaya merokok muncul di bungkusnya. Lama-kelamaan, katanya, fakta itu bukan apa-apa lagi.

Ketiga, kita cenderung terjebak ke dalam bias konfirmasi, kecenderungan untuk menerima informasi yang mendukung keyakinan kita dan menolak informasi yang bertentangan dengannya. Dalam hal ini, kita semua tak suka merasa bodoh.

Bahkan dalam debat yang penting, kita mungkin berharap bahwa fakta-fakta akan membantu. Belum tentu: ketika kita mendengar fakta yang menantang kita, kita secara selektif memperkuat apa yang sesuai dengan kita dan mengabaikan apa yang tak sesuai.

Di tengah gejolak polarisasi politik, bias tersebut akan semakin kuat. Ketika orang mencari kebenaran, fakta membantu. Tapi ketika orang pilih-pilih bukti hanya untuk menegaskan identitas atau ideologi politik mereka, fakta justru bisa menjadi bumerang.

Pertimbangkan isu perubahan iklim. Saat ini, prediktor terbaik untuk melihat apakah seseorang setuju bahwa perubahan iklim itu nyata bukanlah seberapa banyak temuan ilmiah yang mereka ketahui, melainkan di mana posisi mereka dalam spektrum politik.

Masalahnya adalah bahwa ketika kita ingin mempercayai sesuatu, mencari tahu apakah hal tersebut benar bukanlah prioritas otak kita. Sebaliknya, kita akan menciptakan berbagai alasan palsu untuk memberikan kredibilitas terhadap klaim paling konyol sekalipun.

Semua itu adalah gambaran menyedihkan bagi kita semua, apalagi menjelang Pemilu 2024. Fakta, tampaknya, sudah ompong. Saya melihat ini sebagai hal yang gelap. Kita berada di masa yang cukup menakutkan dan mencekam. Tapi kita tak boleh membiarkannya.

Apakah ada jawabannya?

Mungkin ada. Para peneliti berpendapat bahwa orang yang punya rasa ingin tahu secara ilmiah memiliki alasan ekstra untuk mencari dan memegang fakta. Dalam pengertian ini, berita hoaks masih akan ada, tapi orang yang ingin tahu akan menahan kesimpulannya.

Sebuah studi menunjukkan bahwa ketika para peserta kesulitan membedakan mana pernyataan yang benar dan yang salah, mereka semakin mengandalkan firasat dan mengabaikan fakta. Mereka meyakini kebenaran informasi hanya jika itu menguntungkan mereka.

Keingintahuan, sebaliknya, mendorong orang untuk mengesampingkan firasat dan memotivasinya untuk mencari tahu lebih dalam. Mungkin ini adalah satu-satunya obat untuk masyarakat di mana kebanyakan orang tak memerhatikan fakta karena menganggapnya membosankan atau membingungkan.

Pertanyaannya, bagaimana kita bisa membuat orang mencari tahu?

Jurnalis dan pembuat kebijakan tak bisa memaksa siapa pun untuk memerhatikan fakta-fakta yang ada, tapi mereka bertanggung jawab untuk membuat orang ingin mencari tahu. Fakta jarang bisa berdiri sendiri; fakta membutuhkan seseorang untuk membuat kita peduli dan penasaran.

Salah satu jalan keluarnya adalah dengan menyajikan fakta secara menarik dan relevan. Sama seperti sayuran. Saya tak suka sayur, tapi ketika itu disajikan sedemikian rupa sampai bikin saya ngiler, saya tak melihatnya sebagai sayur, melainkan makanan lezat.

Biar saya perjelas, ini bukan mengingatkan orang tentang sesuatu yang mereka pelajari di sekolah. Ini adalah tentang membekali para pemilih dengan informasi menarik yang membantu mereka memotong kebisingan dan melihat fakta dalam konteks yang tepat.

Selain itu, fakta juga lebih mudah dibagikan ketika orang-orang yang terlibat berbagi nilai yang sama. Dalam hal ini, kita bisa menjadi komunikator yang efektif dengan menjalin ikatan atas suatu nilai yang sama-sama dipegang oleh kita dan lawan bicara kita.

Nilai tersebut tak harus berupa keyakinan yang sama. Bisa saja kita dan lawan bicara kita adalah sama-sama mahasiswa, orang tua, atau tinggal di tempat yang sama, atau peduli dengan krisis air bersih atau politik, atau sesederhana menikmati aktivitas yang sama.

Jadi, ketika kita hendak menyampaikan sesuatu yang penting, mulailah obrolan dari hal yang disepakati dan saling menghormati. Kemudian, kita hubungkan titik-titik tersebut: berbagi dari kepala dan hati mengapa kita peduli satu sama lain.

Dalam sebuah penelitian, para pemangku kepentingan bermain sebuah permainan yang memungkinkan mereka mendengarkan dan memahami pengalaman hidup satu sama lain. Ketika permainan usai, mereka lebih bersedia untuk berkompromi dengan seseorang yang bertentangan dengannya.

Hasil tersebut menyoroti bahwa orang akan merasa sulit atau tak mungkin untuk bekerja sama jika mereka punya keyakinan yang bertentangan.

Saya menyadari mekanisme itu sejak lama, dan saya menerapkannya kapan pun diperlukan. Ketika saya ingin meyakinkan seseorang soal sesuatu yang penting, saya berusaha untuk membingkai diri sebagai seseorang yang punya punya banyak kesamaan dengannya.

Cara saya mengobrol dengan teman yang religius berbeda ketika saya mengobrol dengan teman yang ingin serba ilmiah, atau teman yang suka sepak bola. Dengan cara inilah saya mengirim sinyal bahwa saya adalah kawan dan bukan lawan yang harus dikalahkan.

Saya mendengarkannya, dan mereka pun mendengarkan saya, bahkan saat pendapat saya bertentangan dengan pendapatnya. Mungkin mereka masih meyakini pendapat mereka sendiri, tapi setidaknya mereka mempertimbangkan pendapat saya secara serius dan jadi kurang fanatik.

Pada akhirnya, fakta itu penting, tapi tak cukup

Sebagai mahasiswa Ilmu Politik, saya sangat mengerti betapa sulitnya meyakinkan orang lain perihal sesuatu, sekalipun saya sudah mengantongi banyak fakta. Ketika berdebat di kelas, reaksi spontan kami bukanlah mencari kebenaran, tapi mencari kemenangan.

Ideologi ada di depan fakta. Jika kami memvalidasi fakta tertentu, itu karena fakta tersebut mendukung ideologi kami. Rasanya saya juga sering begitu. "Ya, kau tahu, itu kan hanya pendapatmu, Bung." Fakta itu sendiri telah direduksi menjadi opini belaka.

Bagaimanapun, saya tak bilang bahwa fakta itu tak ada gunanya.

Justru sebaliknya: kejelasan dan objektivitas informasi adalah garis pertahanan pertama dan terbaik untuk melawan informasi yang salah, mitos, dan ketidaktahuan. Tapi, untuk isu-isu yang memicu polarisasi seperti vaksinasi, fakta-fakta saja tak akan berhasil.

Komunikasi yang berhasil seputar isu-isu itu membutuhkan pemahaman yang peka terhadap motivasi psikologis yang mendasari seseorang untuk menolak sains, dan fleksibilitas untuk merancang komunikasi yang selaras dengan atau menghindari motivasi itu.

Kita tak bisa hanya memberi orang banyak fakta. Kita adalah makhluk sosial, kita berhubungan dengan orang lain, jadi kita harus selalu memadukan kisah-kisah kemanusiaan kita dan secara bersamaan memberikan konteks dengan siapa kita berbicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun