Penghancuran mitos mungkin saja berhasil, tapi kemudian ingatan kita memudar dan hanya mengingat mitosnya saja. Mitos, suka-tak-suka, adalah hal yang terus diulang-ulang. Bantahan terhadapnya, biarpun bertubi-tubi, justru akan membuat pesonanya semakin kuat.
Pertimbangkan cara industri tembakau mempertahankan bisnisnya. Pada awal 1950-an, para ilmuwan sedang giat mempublikasikan bukti kuat tentang hubungan antara merokok dan kanker. Para jurnalis meramalkan bahwa publikasi-publikasi ini akan menghabisi industri tembakau.
Ternyata tidak.
Terlepas dari kenyataan bahwa produknya membuat ketagihan dan mematikan, Big Tobacco terus memunculkan wacana tandingan untuk menyangkal temuan tersebut. Mereka menangkisnya bukan dengan cara ilmiah, tapi sesederhana mempertanyakan kebenaran temuan para ilmuwan.
Fakta-fakta tentang merokok, sesuatu yang tak terbantahkan, segera tenggelam. Fakta-fakta itu diperdebatkan. Sumber-sumber yang tak perlu dipertanyakan, justru dipertanyakan. Keraguan tampaknya adalah cara terbaik untuk menyaingi fakta.
Kedua, fakta biasanya membosankan. Dunia ini penuh dengan hal-hal yang harus diperhatikan, mulai dari Instagram teman hingga tagihan pajak. Mengapa repot-repot memerhatikan sesuatu yang membosankan seperti fakta? Bukankah sinetron lebih menarik daripada iklan layanan kesehatan?
Perhatian sudah menjadi mata uang baru. Judul-judul seperti "Serangan balik Ukraina bikin kalang kabut Rusia, begini tanggapan Lesti" dan "Tujuh ramalan mengenai artis Indonesia di tahun 2023" efektif dalam menghasilkan keterlibatan dan tanggapan.
Ujung dari gangguan tersebut adalah hal-hal yang sangat penting jadi terlalu membosankan untuk diberitakan.
Terorisme memancing reaksi media yang sangat besar, sedangkan merokok tidak. Padahal, menurut data WHO, lebih dari 200 ribu orang Indonesia meninggal akibat merokok setiap tahunnya. Teroris tak membunuh orang Indonesia sebanyak itu dalam satu tahun.
Tapi, para teroris berhasil jadi berita utama, sementara industri rokok bisa menghindarinya. Ayah saya mengaku pernah ragu untuk merokok lagi saat peringatan bahaya merokok muncul di bungkusnya. Lama-kelamaan, katanya, fakta itu bukan apa-apa lagi.
Ketiga, kita cenderung terjebak ke dalam bias konfirmasi, kecenderungan untuk menerima informasi yang mendukung keyakinan kita dan menolak informasi yang bertentangan dengannya. Dalam hal ini, kita semua tak suka merasa bodoh.