Kebosanan tak sama dengan melamun, yang biasanya kita anggap sangat serupa, atau, tentu saja, berleha-leha di sofa. Kebosanan juga berbeda dengan sikap apatis (ketika tak ada keinginan sama sekali) atau frustrasi (ketika kemauan tertentu kandas).
Mereka yang bosan tahu ada banyak hal yang bisa atau harus mereka lakukan, tapi mereka tak bisa membawa keinginan mereka sejalan dengan apa yang tersedia buat mereka. Dan sebagaimana kondisi mental lainnya, kebosanan mengatakan sesuatu kepada kita.
Kebosanan adalah tanda peringatan, seperti halnya rasa sakit yang merupakan sinyal penting akan adanya bahaya atau ancaman. Ini menandakan bahwa kita tak terlibat dan membutuhkan aktivitas lain untuk memuaskan kita. Secara khusus, otak memberitahu kita untuk mengambil tindakan.
Kebosanan juga bisa berarti otak kita memperingatkan bahwa segala sesuatunya tak berjalan baik. Bayangkan ini sebuah lampu dasbor emosional yang berbunyi, "Hei, kau salah jalur. Lakukanlah sesuatu yang lain."
Biasanya itu menandakan hal yang sedang kita kerjakan terlalu mudah atau terlalu sulit, atau mungkin tak bermakna. Demikianlah, kebosanan bisa mengindikasikan bahwa kita membutuhkan sesuatu yang lebih menantang, menarik, atau bermakna untuk mengisi waktu dan energi mental kita.
Jadi, meskipun kebosanan itu tak menyenangkan, dan memang seharusnya tidak, seluruh tujuannya adalah memotivasi kita untuk melakukan sesuatu yang lain, apa pun itu. Ini adalah panggilan untuk bertindak.
Sayangnya, kebanyakan dari kita memilih untuk tak mendengarnya.
Ketika kita gagal untuk bertindak berdasarkan sinyal tersebut, atau menyerah begitu saja, perasaan bosan menjadi berlarut-larut dan bisa membuat kita agak sengara. Dengan kata lain, jika kita salah memperlakukan kebosanan, itu akan menjadi buruk buat kita.
Kesalahan yang dilakukan banyak orang adalah bersikap reaktif, melarikan diri dari perasaan tak nyaman alih-alih menginterogasi apa yang ingin disampaikan oleh perasaan tersebut. Kita melihat diri kita sebagai wadah kosong yang harus diisi sesegera mungkin.
Sebuah studi tahun 2014 menemukan bahwa banyak orang memilih untuk memberikan sengatan listrik yang menyakitkan pada diri mereka sendiri daripada dibiarkan sendirian dengan pikiran mereka. Seorang pria bahkan menyetrum dirinya 190 kali dalam 15 menit.
Dalam situasi itu, saking tak nyamannya dengan sensasi kebosanan, banyak orang bersedia melakukan hal merugikan sekalipun demi menghilangkan perasaan buruk tersebut. Tak heran bahwa kebosanan telah terbukti menjadi faktor dalam konsumsi alkohol, rokok, dan obat-obatan.