Di sini saya akan menunjukkan bahwa sejarah, baik sejarah ilmu pengetahuan maupun sejarah proses penemuan, adalah komponen penting dari pembelajaran sains. Ada beberapa alasan yang tersebar, tapi saya hanya akan mengangkat satu poin: memanusiakan sains.
Ilmuwan juga manusia
Saya benci pelajaran IPA waktu SMP. Walau ini agak kasar dan terlalu terus terang, saya tak tahu ungkapan lain yang bisa menggambarkannya tanpa basa-basi. Saya ingat beberapa nama populer, tapi saya tak ingat sedikit pun kontribusi mereka.
Saya baru tahu kontribusi (dan kisah hidup) mereka setelah saya mempelajarinya sendiri saat awal-awal pandemi. Di sisi lain, saya sangat menikmati pelajaran IPS. Mungkin karena guru IPS saya waktu SMP adalah seorang storyteller yang cakap.
Saat itu usianya 50-an. Jika gilirannya tiba, beliau akan berdiri dan mondar-mandir sebentar di depan kelas, menceritakan Perang Dunia Kedua selayaknya membacakan dongeng: ekspresif, penuh gestur, dan mendalami.
Saya pikir, pada akhirnya, itu memengaruhi keputusan saya untuk memilih jurusan IPS ketika masuk SMA. Dunia sains, bagi saya waktu itu, terlalu kering dan kaku, dan karenanya kurang berguna buat keseharian saya.
Anggapan tersebut divalidasi oleh beberapa penelitian: siswa lebih mungkin menyukai sains ketika disampaikan melalui narasi yang menceritakan sebuah kisah, bukan kumpulan rumus dan angka semata.
Sayangnya, karena sains bersifat teknis, orang biasanya memisahkan sejarah sains dari sains itu sendiri. Kurikulum sains harus berfokus pada detail, katanya. Teman saya yang menekuni fisika bergurau: "Dari SD sampai kuliah, kami belajar hal yang sama berkali-kali."
Setiap kita mendengar Newton, kita tak diajari tentang Newton itu sendiri, tapi tentang hukum gerak dan gravitasi universalnya. Begitu pula dengan Bohr, Einstein, Heisenberg di bidang fisika. Dalam biologi, kita hanya diberitahu soal teori evolusi dan bukan Darwin.
Salah satu konsekuensinya, seperti yang kita lihat dalam film dan buku, adalah meluasnya stereotip ilmuwan sebagai kutu buku yang dingin, hanya tertarik pada penelitian dan tak lebih dari itu, cenderung menyerupai kalkulator berjalan daripada manusia.
Kenyataannya, jika kita memerhatikan prosesnya, para ilmuwan lebih merupakan manusia dengan keingintahuan yang tinggi (kadang jadi sok tahu) ketimbang "manusia ajaib". Banyak dari mereka yang gampang berprasangka dan berpandangan sempit.
Namun, karena kita menganggap sejarah sains itu tak relevan dan buang-buang waktu, kita hanya melihat pucuknya saja. Kita mungkin paham apa yang ditemukan Einstein dan cara mengaplikasikannya, tapi kita tak tahu bagaimana Einstein menemukannya.