Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Oppenheimer" Mengingatkan Kita bahwa Sejarah Sains Itu Menarik dan Penting

27 Juli 2023   06:30 Diperbarui: 27 Juli 2023   19:31 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cillian Murphy memerankan J. Robert Oppenheimer dalam film "Oppenheimer" garapan Christopher Nolan | Gambar milik Universal Pictures via Space.com

Film laris Christopher Nolan yang baru, "Oppenheimer", adalah film panjang pertama yang mengangkat secara utuh kehidupan salah satu tokoh paling rumit dan tragis di awal zaman bom atom, J. Robert Oppenheimer.

Sebelumnya, kerumitan hidup Oppenheimer dipusatkan hanya pada Proyek Manhattan: penuh teka-teki dan karismatik, dihantui oleh penemuannya sendiri, membacakan baris dari Bhagavad Gita, "Now I am become Death, the destroyer of worlds."

Kutipan itu memang punya keindahan yang epik dan mencekam, tapi tak jelas apakah Oppenheimer benar-benar mengucapkan itu selama atau setelah uji coba bom atom pada Juli 1945. Ada laporan bahwa dia mengatakan sesuatu semacam "It worked".

Terlepas dari penggambaran dalam film bahwa Oppenheimer merupakan sosok yang heroik dan berwibawa, dia tetaplah manusia biasa seperti kita. Jika ada satu keunggulan lebih dari narasi Nolan, saya pikir itu adalah pengungkapan sisi manusia Oppenheimer.

Kita ditunjukkan bagaimana seorang ilmuwan genius, setelah mencapai penemuan yang luar biasa, justru menyesal dan gelisah atas temuannya sendiri. Stigma bahwa ilmuwan itu tak berperasaan karena harus value-free runtuh. Rasa kemanusiaan Oppenheimer meluap.

Di luar itu, Oppenheimer bahkan lebih "manusiawi" lagi. Dia adalah pecandu pusat perhatian, selalu mengejar naga ketenaran dan kemasyhuran. Minatnya terhadap fisika jarang bertahan lama. Jika ada topik yang tampak lebih seksi dan trendi, dia gatal dan beralih.

Pada Maret 1926, Oppenheimer pernah menyuntikkan bahan kimia beracun ke dalam sebuah apel dan menaruhnya di meja seorang tutor yang sangat dibencinya. Setelah itu, dia berlibur bersama temannya ke Corsica, sebuah pulau di lepas pantai Prancis.

Apel itu, untungnya, tak pernah dimakan siapa pun.

Dari situ kita bisa lihat bahwa perjalanan hidup Oppenheimer sebenarnya merupakan sejenis kisah ganda antara ilmuwan genius dan manusia biasa. Keduanya tak terpisahkan. Dan tentu saja begitu pula sosok-sosok "magis" lainnya: Newton, Darwin, Einstein, Tesla.

Masalahnya, tirai kemanusiaan dan "sisi-sisi biasa" dari para genius itu jarang diungkap oleh guru-guru kita. Sejarah sains biasanya tak dilibatkan dalam pembelajaran sains. Katanya, kita cukup tahu rumus dan pencapaian para ilmuwan; kita tak usah tahu kisah penemuan mereka.

Di sini saya akan menunjukkan bahwa sejarah, baik sejarah ilmu pengetahuan maupun sejarah proses penemuan, adalah komponen penting dari pembelajaran sains. Ada beberapa alasan yang tersebar, tapi saya hanya akan mengangkat satu poin: memanusiakan sains.

Ilmuwan juga manusia

Saya benci pelajaran IPA waktu SMP. Walau ini agak kasar dan terlalu terus terang, saya tak tahu ungkapan lain yang bisa menggambarkannya tanpa basa-basi. Saya ingat beberapa nama populer, tapi saya tak ingat sedikit pun kontribusi mereka.

Saya baru tahu kontribusi (dan kisah hidup) mereka setelah saya mempelajarinya sendiri saat awal-awal pandemi. Di sisi lain, saya sangat menikmati pelajaran IPS. Mungkin karena guru IPS saya waktu SMP adalah seorang storyteller yang cakap.

Saat itu usianya 50-an. Jika gilirannya tiba, beliau akan berdiri dan mondar-mandir sebentar di depan kelas, menceritakan Perang Dunia Kedua selayaknya membacakan dongeng: ekspresif, penuh gestur, dan mendalami.

Saya pikir, pada akhirnya, itu memengaruhi keputusan saya untuk memilih jurusan IPS ketika masuk SMA. Dunia sains, bagi saya waktu itu, terlalu kering dan kaku, dan karenanya kurang berguna buat keseharian saya.

Anggapan tersebut divalidasi oleh beberapa penelitian: siswa lebih mungkin menyukai sains ketika disampaikan melalui narasi yang menceritakan sebuah kisah, bukan kumpulan rumus dan angka semata.

Sayangnya, karena sains bersifat teknis, orang biasanya memisahkan sejarah sains dari sains itu sendiri. Kurikulum sains harus berfokus pada detail, katanya. Teman saya yang menekuni fisika bergurau: "Dari SD sampai kuliah, kami belajar hal yang sama berkali-kali."

Setiap kita mendengar Newton, kita tak diajari tentang Newton itu sendiri, tapi tentang hukum gerak dan gravitasi universalnya. Begitu pula dengan Bohr, Einstein, Heisenberg di bidang fisika. Dalam biologi, kita hanya diberitahu soal teori evolusi dan bukan Darwin.

Salah satu konsekuensinya, seperti yang kita lihat dalam film dan buku, adalah meluasnya stereotip ilmuwan sebagai kutu buku yang dingin, hanya tertarik pada penelitian dan tak lebih dari itu, cenderung menyerupai kalkulator berjalan daripada manusia.

Kenyataannya, jika kita memerhatikan prosesnya, para ilmuwan lebih merupakan manusia dengan keingintahuan yang tinggi (kadang jadi sok tahu) ketimbang "manusia ajaib". Banyak dari mereka yang gampang berprasangka dan berpandangan sempit.

Namun, karena kita menganggap sejarah sains itu tak relevan dan buang-buang waktu, kita hanya melihat pucuknya saja. Kita mungkin paham apa yang ditemukan Einstein dan cara mengaplikasikannya, tapi kita tak tahu bagaimana Einstein menemukannya.

Sewaktu SMP, berbekal sedikit informasi bahwa Einstein itu terkenal genius (dan hanya itu yang saya tahu tentangnya), saya sempat berpikir bahwa dia punya kekuatan magis tertentu, dan dengan demikian bukan manusia biasa.

Betapapun salahnya itu, tetap saja saya jadi merasa pesimis dan rendah diri. Jika Einstein memperoleh temuannya karena kekuatan magis tertentu, apa yang bisa saya lakukan sebagai manusia biasa yang bahkan tak cukup tahan melihat rumus matematika?

Maksudnya, kita bisa saja menjelaskan teori relativitas Einstein hanya dengan menuliskannya di papan tulis dan mengerjakan beberapa contoh. Hal ini dilakukan di seluruh dunia di ribuan ruang kelas setiap hari.

Namun, jika hanya itu yang kita lakukan saat mengajarkan teori relativitas, kita melewatkan bagian penting (kalau bukan yang terpenting) dari kisah ini, yaitu kisah Einstein sendiri dan bagaimana dia menemukan teori relativitas.

Dengan hanya berfokus pada apa yang telah diuji dan divalidasi, kita tak akan tahu bahwa itu semua pernah mengambil belokan yang salah, mengapa dan bagaimana teori-teori tandingan gagal meruntuhkannya, serta seperti apa reaksi dunia ketika menerimanya.

Padahal, itulah aspek-aspek yang memanusiakan sains, yang membuatnya jadi proses kreatif coba-coba, mampu mencapai prestasi luar biasa tapi bisa salah seperti semua usaha manusia lainnya. Jarang kita mendengar bahwa sains harus gagal untuk maju.

Pertimbangkan kisah Newton, salah satu anekdot paling terkenal dalam sejarah sains. Isaac Newton muda sedang duduk di kebunnya ketika sebuah apel jatuh menimpa kepalanya dan, dengan kegeniusannya, dia tiba-tiba menemukan teori gravitasi.

Cerita itu hampir pasti dilebih-lebihkan, baik oleh Newton sendiri maupun generasi pencerita yang datang setelahnya. Royal Society di London menyediakan manuskrip asli yang menggambarkan bagaimana Newton menyusun teori gravitasinya.

Saat itu tahun 1666, dan wabah telah menutup banyak gedung dan pertemuan publik. Newton harus meninggalkan Cambridge dan pergi ke Woolsthorpe Manor, rumah sederhana tempat dia dilahirkan, untuk merenungkan masalah bintang.

Newton sangat terobsesi dengan orbit bulan di sekitar bumi, dan akhirnya berpendapat bahwa pengaruh gravitasi harus meluas ke jarak yang sangat jauh. Setelah melihat bagaimana apel selalu jatuh langsung ke tanah, dia menghabiskan beberapa tahun mengerjakan formulanya.

Selain fakta bahwa gagasan gravitasi memiliki masa kehamilan yang panjang dan kompleks dalam pemikiran Newton, pencapaian sejati Newton sebenarnya bukanlah menemukan gravitasi, tapi merumuskannya dalam bentuk matematis yang tepat.

Semua kisah ilmuwan genius yang saya ceritakan (Oppenheimer, Einstein, Newton), kendati mereka sangat kontras dalam banyak hal, sebetulnya punya titik singgung: mereka adalah manusia nyata dan biasa, bisa salah dan kebingungan, sama seperti kita semua.

Belajar sains tanpa tahu sejarahnya itu tak afdal

Sikap anti saya terhadap sains mulai terbalik saat awal pandemi. Waktu itu saya merasa jenuh dan iseng mencari tayangan dokumenter. Saya menemukan "Cosmos: A Spacetime Odyssey" (2014), sebuah serial dokumenter tentang sains.

Ini pertama kalinya saya belajar sains bukan dalam mode rumus dan angka, melainkan cerita naratif. Skripnya puitis dan menyentuh tanpa bikin bingung. Bukan saja sejarah ilmu pengetahuan yang diceritakan, tapi juga kisah-kisah pribadi para ilmuwan.

Dari situ saya belajar bahwa sains bukanlah metode yang statis, terus begitu sepanjang waktu. Sebaliknya, sains menggabungkan inovasi di masa lalu dan merespons perubahan lingkungan dengan cara-cara yang dianggap lebih tepat.

Pendeknya, temuan-temuan besar tak muncul seperti kilat dari langit. Walau ada yang disebut momen "eureka", seperti anekdot Archimedes yang terbetik prinsip hidrostatika saat sedang berendam di bak mandi, proses menuju "eureka" itu tak pernah instan.

Kita diberitahu bahwa Darwin mengemukakan teorinya tentang seleksi alam ketika berada di Kepulauan Galapagos tahun 1835, tapi dia baru percaya pada evolusi setelah dia kembali ke Inggris. Sebelum menyajikan teorinya, dia merenungkan itu selama dua dekade.

Semua yang ingin saya katakan adalah, sebagai ilmu pengetahuan, dan karenanya sebagai serangkaian temuan, sangat rugi kalau kita mempelajari sains tanpa mengetahui prosesnya. Padahal proses itulah yang memanusiakan sains, menjadikannya terjangkau bagi kita semua.

Sejarah sains memberi lebih dari sains itu sendiri, bahwa kegagalan bukanlah tanda untuk berhenti tapi justru awal kemajuan dan kebaruan, bahwa yang ada hanyalah ketekunan dan kegigihan alih-alih keajaiban, bahwa ilmuwan juga manusia biasa sama seperti kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun