Sebuah studi bahkan menemukan bahwa ideologi partai-partai yang berkuasa memengaruhi indikator kesehatan masyarakat, di mana partai dengan ideologi egaliter cenderung memiliki efek yang menguntungkan pada angka harapan hidup saat lahir.
Itu menunjukkan bahwa kesehatan masyarakat tak bisa dilepaskan dari campur tangan politik. Namun, mungkin karena asumsi ini agak kontra intuitif dan kurang enak didengar, beberapa dari kita lebih suka membantahnya.
Memang, jika kita bicara soal individu dan bukan masyarakat, beberapa aspek kesehatan tak ada hubungannya dengan negara. Penyakit yang disebabkan faktor genetik atau gaya hidup tak sehat agaknya lebih merupakan urusan pribadi daripada negara.
Akan tetapi, negara punya pengaruh besar terhadap kesehatan di tingkat populasi. Katakanlah penyakit asma: ini mungkin bersifat kimiawi di tingkat individu, tapi bersifat politis di tingkat populasi.
Di banyak negara industri, asma terjadi secara tak proporsional pada masyarakat miskin dan mereka yang tinggal dekat jalan raya. Artinya, walaupun mereka punya masalah pernapasan akibat asma mereka sendiri, tapi asma mereka disebabkan oleh kondisi politik masyarakat.
Tiga dari penyakit menular yang paling mematikan di dunia - malaria, HIV, dan TBC - juga lebih banyak diidap populasi termiskin di dunia, dan mereka yang termarginalisasi (imigran, perempuan, homoseksual) lebih sulit mengakses layanan kesehatan.
Ironisnya lagi, pola serupa turut berlaku dalam hal kesehatan mental. Penelitian menemukan bahwa orang miskin lebih mungkin menderita gangguan kesehatan mental ketimbang orang kaya. Jika Anda miskin dan tinggal di perkotaan, Anda lebih rentan depresi dan kesepian.
Para ahli kesehatan masyarakat terus menyerukan reformasi kebijakan besar-besaran untuk mengatasi kesenjangan harapan hidup yang makin besar. Persoalannya, dari semua data di atas, ini lebih merupakan masalah politik dan bukan masalah kesehatan.
Inilah mengapa George Miller, seorang ahli epidemiologi terkemuka, dalam upaya mengatasi ketidaksetaraan kesehatan masyarakat, malah menyerukan reformasi sistem perpajakan untuk meningkatkan kesetaraan ekonomi.
Dengan demikian, jika kesehatan populasi ingin ditingkatkan, para ahli kesehatan masyarakat juga harus memikirkan reformasi kebijakan sosial dan ekonomi yang lebih luas, bukan hanya strategi atau taktik di bidang kesehatan semata.
Di sini kita sering berhadapan dengan dilema antara politik dan sains. Kendati kesehatan, tak pelak lagi, merupakan ranah sains dan teknologi, politik acapkali mengubahnya jadi masalah opini belaka.