Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

20 Tahun MK: Cegah Politisasi Kesehatan Masyarakat

17 Juli 2023   08:50 Diperbarui: 17 Juli 2023   08:55 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahkamah Konstitusi harus memastikan hak masyarakat atas kesehatan terpenuhi dan tidak dipolitisasi | Foto oleh Hafidz Mubarak A via Kompas.com

Dalam beberapa pekan terakhir, jagat media sosial cukup ramai membicarakan polusi udara di Jakarta. "Rasanya ada yang mengganjal setiap kali saya napas," keluh seorang mahasiswa asli Jambi yang magang di sebuah rumah sakit.

Berdasarkan data IQAir terbaru, polusi udara di Jakarta diperkirakan telah menyebabkan lebih dari 6.500 kematian. Limbah industri, selain asap kendaraan bermotor, menjadi kontributor paling besar terhadap polusi tersebut.

Secara keseluruhan, Indonesia memang memiliki rekor yang suram dalam hal kualitas udara. Pada laporan yang sama, walau sedikit membaik daripada laporan tahun sebelumnya, kualitas udara di Indonesia masih menjadi salah satu yang terburuk di Asia Tenggara.

Aspek kesehatan lainnya juga tak kalah memilukan. Penyakit tak menular seperti penyakit jantung, stroke, dan diabetes masih merupakan pembunuh utama dengan beban tinggi. Meski bisa dihindari, pemerintah tampaknya belum punya program khusus untuk isu ini.

Australia, umpamanya, memiliki National Obesity Strategy sebagai kerangka kerja 10 tahun untuk mencegah dan mengobati obesitas. Sementara itu, Singapura punya National Healthy Lifestyle Programme yang bertujuan untuk mempromosikan gaya hidup sehat.

Fasilitas kesehatan juga belum memadai. Dari sepuluh ribuan puskesmas di Indonesia, nyaris 600 puskesmas belum memiliki dokter dan lebih dari separuhnya belum memiliki tenaga kesehatan yang sesuai standar.

Daftarnya masih akan panjang jika kita ingin memeriksanya satu-satu, misalnya kasus DBD dan angka kematian ibu. Dalam hal ini, kita bisa bilang bahwa upaya memperbaiki kesehatan masyarakat tampak hanya menggigit ujung-ujungnya saja. Mengapa begitu?

Di sini saya akan menunjukkan bahwa kesehatan masyarakat sebenarnya senantiasa bersifat politis, dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia - mengingat hak atas kesehatan sudah dijamin dalam UUD 1945 - harus memastikan bahwa kesehatan masyarakat tak dipolitisasi.

Kesehatan masyarakat (selalu) bersifat politis

Kabut asap menyelimuti gedung-gedung pencakar langit di Jakarta | Foto oleh Wendra Ajistyatama via The Jakarta Post
Kabut asap menyelimuti gedung-gedung pencakar langit di Jakarta | Foto oleh Wendra Ajistyatama via The Jakarta Post

Politik, baik atau buruk, memainkan peran penting dalam urusan kesehatan. Aneka keputusan politik, misalnya tentang bagaimana mendanai perawatan kesehatan dan bagaimana mengatur industri makanan, berdampak langsung pada kesehatan masyarakat.

Sebuah studi bahkan menemukan bahwa ideologi partai-partai yang berkuasa memengaruhi indikator kesehatan masyarakat, di mana partai dengan ideologi egaliter cenderung memiliki efek yang menguntungkan pada angka harapan hidup saat lahir.

Itu menunjukkan bahwa kesehatan masyarakat tak bisa dilepaskan dari campur tangan politik. Namun, mungkin karena asumsi ini agak kontra intuitif dan kurang enak didengar, beberapa dari kita lebih suka membantahnya.

Memang, jika kita bicara soal individu dan bukan masyarakat, beberapa aspek kesehatan tak ada hubungannya dengan negara. Penyakit yang disebabkan faktor genetik atau gaya hidup tak sehat agaknya lebih merupakan urusan pribadi daripada negara.

Akan tetapi, negara punya pengaruh besar terhadap kesehatan di tingkat populasi. Katakanlah penyakit asma: ini mungkin bersifat kimiawi di tingkat individu, tapi bersifat politis di tingkat populasi.

Di banyak negara industri, asma terjadi secara tak proporsional pada masyarakat miskin dan mereka yang tinggal dekat jalan raya. Artinya, walaupun mereka punya masalah pernapasan akibat asma mereka sendiri, tapi asma mereka disebabkan oleh kondisi politik masyarakat.

Tiga dari penyakit menular yang paling mematikan di dunia - malaria, HIV, dan TBC - juga lebih banyak diidap populasi termiskin di dunia, dan mereka yang termarginalisasi (imigran, perempuan, homoseksual) lebih sulit mengakses layanan kesehatan.

Ironisnya lagi, pola serupa turut berlaku dalam hal kesehatan mental. Penelitian menemukan bahwa orang miskin lebih mungkin menderita gangguan kesehatan mental ketimbang orang kaya. Jika Anda miskin dan tinggal di perkotaan, Anda lebih rentan depresi dan kesepian.

Para ahli kesehatan masyarakat terus menyerukan reformasi kebijakan besar-besaran untuk mengatasi kesenjangan harapan hidup yang makin besar. Persoalannya, dari semua data di atas, ini lebih merupakan masalah politik dan bukan masalah kesehatan.

Inilah mengapa George Miller, seorang ahli epidemiologi terkemuka, dalam upaya mengatasi ketidaksetaraan kesehatan masyarakat, malah menyerukan reformasi sistem perpajakan untuk meningkatkan kesetaraan ekonomi.

Dengan demikian, jika kesehatan populasi ingin ditingkatkan, para ahli kesehatan masyarakat juga harus memikirkan reformasi kebijakan sosial dan ekonomi yang lebih luas, bukan hanya strategi atau taktik di bidang kesehatan semata.

Di sini kita sering berhadapan dengan dilema antara politik dan sains. Kendati kesehatan, tak pelak lagi, merupakan ranah sains dan teknologi, politik acapkali mengubahnya jadi masalah opini belaka.

Contoh paling kentara barangkali adalah kebijakan memakai masker saat pandemi Covid-19. Para ahli kesehatan secara umum merekomendasikan penggunaan masker sebagai cara efektif untuk mencegah penyebaran virus.

Namun, beberapa politisi dan tokoh masyarakat menolak mandat tersebut, dengan alasan itu melanggar kebebasan pribadi. Mereka mengira bahwa masker hanya akan membantu petugas kesehatan, sedangkan warga biasa tetap percuma.

Saya tak mengatakan bahwa urusan kesehatan harus dilepaskan dari politik. Tepatnya, saya ingin bilang bahwa perkara kesehatan masyarakat jangan sampai dipolitisasi, diotak-atik sedemikian rupa untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Mahkamah Konstitusi (MK), dalam hal ini, harus bisa memastikan bahwa kebijakan apa pun yang dibuat pemerintah, baik itu kebijakan sosial atau ekonomi atau kesehatan, telah sesuai dengan amanat konstitusi dan menetralkan muatan politis di dalamnya.

Peran MK dalam menjamin hak atas kesehatan

Saking pentingnya kesehatan, ada pepatah bilang bahwa "kesehatan bukan segalanya, tapi segalanya tak bermakna tanpa kesehatan". Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, wajar kalau hak atas kesehatan tercakup dalam konstitusi kita.

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan." Pasal 34 ayat (3) kurang-lebih juga sama.

Masuknya hak atas kesehatan ke dalam UUD 1945 menandakan bahwa kesehatan dipandang lebih dari sebatas urusan pribadi atau karunia Tuhan, tapi juga suatu hak hukum (legal rights) yang berhubungan dengan tanggung jawab negara.

Hak ini bukan hanya masalah perawatan kesehatan yang mudah dan murah, melainkan segala determinan kesehatan lainnya: akses ke air yang aman dan dapat diminum, sanitasi memadai, pasokan makanan dan nutrisi, perumahan, ketersediaan kerja, kesehatan reproduksi.

Demikianlah, dalam menjaga keselamatan, kesehatan, dan moral warganya, negara dibatasi dengan cara yang sesuai dan konstitusional.

Sebelumnya kita sudah melihat betapa politisnya kesehatan masyarakat. Jadi, kita membutuhkan lembaga negara yang mampu memastikan bahwa hak atas kesehatan telah diterapkan dengan cara yang sesuai dan konstitusional.

Di sinilah peran MK untuk menjamin bahwa hak atas kesehatan tak dipolitisasi, dan sebaliknya, memastikan keputusan politik yang dihasilkan wakil rakyat dan pemerintah sudah mengedepankan suara medis dan bukan hanya pertimbangan sosial-ekonomi belaka.

Bagaimana MK melakukan itu? Judicial review.

Dengan judicial review, MK melindungi hak konstitusional warga negara dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan, meminimalkan muatan politis dan memastikan setiap perundang-undangan merupakan upaya bersama dari berbagai lembaga dan aktor politik.

Dalam hal ini, MK bukan hanya pengawal konstitusi (the guardian of constitution), tapi juga pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights). MK berkewajiban untuk melindungi, meninjau kembali, serta memenuhi hak masyarakat atas kesehatan.

Secara spesifik, saya membagi tiga cara terkait bagaimana MK dapat melindungi kesehatan masyarakat.

Pertama, menafsirkan konstitusi untuk menjamin hak-hak atas kesehatan. Contohnya adalah Putusan Nomor 12/PUU-VIII/2010 yang menguji UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap UUD 1945.

Putusan ini dimohonkan oleh tenaga keperawatan yang keberatan dengan Pasal 108 ayat (1), karena menurutnya membatasi ruang gerak apoteker, yang berarti juga menghambat proses penanganan pasien. MK pun menyatakan ketentuan tersebut inkonstitusional.

Kedua, membatalkan undang-undang yang melanggar hak-hak atas kesehatan. Pada Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013, misalnya, MK membatalkan seluruh pasal dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Ketentuan tersebut dipandang belum menjamin terwujudnya amanat konstitusi mengenai hak penguasaan negara atas air, sesuai Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang berarti berpotensi untuk membatasi hak konstitusional masyarakat atas hidup yang sehat.

Ketiga, memberi preseden dan arahan lebih lanjut kepada lembaga negara lain terhadap suatu ketentuan mengenai kesehatan masyarakat. Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 merupakan contoh menarik. Putusan ini, dalam benak publik, terkesan menolak legalisasi ganja medis.

Namun, itu agak menyesatkan. MK memahami adanya manfaat Narkotika Golongan I, tapi MK menilai manfaat tersebut tak bisa langsung diterapkan di Indonesia karena memerlukan kesiapan, terutama terkait struktur dan sarana-prasarana hukum.

Dengan kata lain, MK tak menutup diri perihal manfaat penggunaan ganja medis, melainkan mengamanatkan adanya penelitian ilmiah lebih lanjut dan lebih ketat. Hasil inilah yang nanti menjadi dasar penentuan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

Tantangan berikutnya adalah UU Kesehatan terbaru

Pada 11 Juli 2023, DPR menyetujui Omnibus Law RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan. Pengesahan ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, undang-undang ini meningkatkan alokasi anggaran kesehatan dan memberi perlindungan hukum bagi nakes.

Di sisi lain, peraturan tersebut dianggap memberi kemudahan perizinan untuk dokter asing. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama beberapa organisasi profesi lainnya akan mengambil langkah judicial review ke MK.

Itu jelas akan menjadi tantangan berikutnya bagi MK dalam memastikan hak-hak masyarakat atas kesehatan steril dari politisasi pihak-pihak tertentu, serta memprioritaskan pendapat ahli alih-alih mereka yang anti-keahlian dan populis.

Seperti disampaikan Hakim MK Anwar Usman dalam pidatonya berjudul "Peran MK dalam Melindungi Hak Kesehatan Warga Negara di Masa Pandemi", MK harus memberikan kepastian hukum kepada masyarakat bahwa haknya atas kesehatan selalu dijamin negara.

Jadi, menapaki dua dekade atau 20 tahun MK ini, saya harap MK dapat memastikan bahwa kesehatan masyarakat tak dipolitisasi, bahwa pihak ketiga tak mengganggu pemenuhan hak atas kesehatan, bahwa hak atas kesehatan dijamin secara yudisial.

Jika bukan kepada MK, kepada siapa lagi kita harus mempercayakan konstitusi kita?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun