Introver (introvert) sering dianggap kurang memiliki keterampilan sosial. Mereka dicitrakan sebagai pemalu dan penyendiri, tak suka berada di dekat orang asing. Tak heran kalau mereka mengalami kesulitan dalam hal memulai dan mempertahankan pertemanan.
Walau terkadang mereka digambarkan sebagai teman yang baik, citra ini justru membuat mereka tak mau keluar dari zona nyaman. Citra ini, bahwa mereka adalah teman yang lebih baik daripada ekstrover, justru bikin mereka tak benar-benar jadi teman yang baik.
Pertanyaannya, apakah semua itu benar? Di sini saya akan menunjukkan bahwa introver, sama seperti kita semua, juga membutuhkan jalinan pertemanan, walau mereka memang punya tingkat kebutuhan sosial yang berbeda. Namun, kita harus tahu dulu apa itu introver.
Apa itu introver?
Introver sebenarnya tersebar di mana-mana, lebih dari sepertiga populasi global, tapi mereka tampaknya merupakan salah satu kelompok yang paling disalahpahami di Indonesia, bahkan mungkin di dunia.
Kesalahpahaman paling umum tentang introver adalah bahwa mereka anti-sosial, tak nyaman berada dalam kerumunan dan memiliki keterampilan sosial yang buruk. Kenyataannya, orang introver hanyalah orang yang berbeda secara sosial.
Bagi kaum introver, energi sosial cenderung bikin mereka lebih cepat kewalahan, dan mereka butuh lebih banyak waktu untuk memulihkannya. Dalam hal ini, seorang introver belum tentu pemalu; mereka hanya menganggap orang lain cukup melelahkan.
Ekstrover diberi energi oleh orang lain, dan jadi layu atau luntur saat sendirian. Mereka kerap terlihat bosan sendiri. Biarkan seorang ekstrover sendirian selama dua atau tiga menit, dan dia akan segera meraih ponselnya.
Sebaliknya, setelah satu atau dua jam "aktif" secara sosial, kaum introver perlu mengisi ulang tenaga. Ini bukan anti-sosial. Ini bukan tanda depresi. Ini tak membutuhkan pengobatan. Bagi kaum introver, menyendiri itu sama memulihkannya seperti tidur.
Itulah mengapa introver memerlukan banyak ruang pribadi. Mereka biasanya suka berada di ruangan sendirian dengan pintu tertutup, dan ini normal, bukan tanda anti-sosial. (Saya perlu menegaskannya beberapa kali karena orang sering salah kira tentang ini.)
Karena dikelilingi orang lain itu melelahkan bagi mereka, maka mereka membutuhkan waktu sendirian untuk mendapatkan kembali energi mereka. Pada momen inilah mereka menjumpai ketenangan, mungkin sambil berpikir dan memecahkan beberapa masalah.
Itu menandakan bahwa orientasi introver adalah ke dalam atau internal. Mereka punya sejenis pusat kendali atau laboratorium dalam dirinya, tempat di mana mereka menyelesaikan segala sesuatunya.
Jika Anda menanyai kaum introver soal bagaimana kondisinya hari ini, mereka akan berhenti sejenak dan pergi ke laboratorium batinnya, memindai bagaimana keadaan dirinya dari pagi sampai sekarang, kemudian merumuskan tanggapannya.
Intinya, betul kata orang, introver cenderung pendiam dan tenang. Mereka tak suka jadi pusat perhatian, sekalipun itu berupa pujian. Mereka mungkin gembira, tapi energinya akan cepat terkuras, dan itu berarti mereka perlu istirahat dalam kesendirian yang panjang.
Introver menjalin pertemanan dengan caranya sendiri
Saya adalah seorang introver. Jika Anda menanyai ibu saya soal seberapa lama saya berada di dalam kamar, agaknya dia akan jawab begini, "Entah, mungkin seharian." Ini melebih-lebihkan, tapi saya akui itu ungkapan yang cukup representatif.
Saya membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyendiri setiap hari. Saya suka obrolan yang tenang tentang perasaan atau ide, dan saya bisa menyajikan presentasi yang dinamis kepada audiens banyak, tapi saya sering canggung dan tak pandai berbasa-basi.
Saya adalah tipe orang yang harus diseret saat teman mengajak liburan atau sekadar nongkrong, dan kemudian membutuhkan waktu sangat lama untuk memulihkan diri. Dengan ini saya memaklumi beberapa teman yang menganggap saya sombong dan kesepian.
Oh, selama bertahun-tahun, saya menyangkal diri saya introver. Bagaimanapun, saya bukanlah orang yang murung dan menyendiri sampai belasan jam. Saya bukan misantropis. Saya menyukai obrolan panjang yang mengeksplorasi pemikiran mendalam.
Tapi akhirnya saya berhenti menyangkal itu. Saya akui bahwa saya jarang merasa termotivasi untuk mendapatkan teman baru. Bagi saya, ketegangan antara mendambakan persahabatan dan keinginan untuk menyendiri adalah nyata.
Pergi ke luar mencari teman baru? Tidak, terima kasih.
Teman-teman saya bahkan sudah terbiasa menunggu lama untuk mendapatkan balasan atas pesan-pesan mereka. "Balasan akan terkirim dalam tiga sampai lima hari kerja," canda kami. Saya juga cenderung memisahkan diri dari kerumunan, kadang membatalkan rencana.
Pengidentifikasian diri sebagai introver membuat saya bertanya-tanya apakah saya sudah jadi teman yang buruk. Saya memikirkan itu dalam satu tahun terakhir, dan saya mencoba untuk bertanya kepada teman-teman saya tentang itu.
"Kau bukan teman yang buruk," kata seorang teman dekat. "Tapi sejujurnya kau agak aneh, atau bisa dibilang misterius." Jadi, begitulah, walau teman-teman saya tak menganggap saya teman yang buruk, tapi mereka terkadang merasa dikecewakan oleh saya.
Itu adalah pil pahit yang sulit ditelan.Â
Setelah mengetahui semua itu, saya melihat kembali kehidupan saya, dan banyak hal yang akhirnya masuk akal. Kepribadian introver tak membuat saya jadi teman yang buruk, tapi mungkin perlu lebih untuk jadi teman yang baik.
Dalam hal pertemanan, saya biasanya punya satu atau dua teman dekat pada suatu saat dalam hidup saya, dan bahkan setelah berpisah (entah karena sekolah yang berbeda atau jalan hidup yang berbeda), saya jarang berhubungan lagi dengan mereka.
Dan terus terang, saya tak terlalu menyoal itu. Saya tak merasa harus berteman dengan semua orang. Seiring bertambahnya usia, ketika kesibukan dan kewajiban mengambil alih lebih dari separuh waktu saya, pertemanan makin tak menjadi prioritas bagi saya.
Lantas, apakah saya masih mempunyai dan membutuhkan teman? Apakah saya merasa telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup kalau saya tak punya teman? Jawaban ringkas saya adalah, iya dan iya.
Setiap orang punya kebutuhan mendasar untuk terhubung. Dalam konteks ini, bukan berarti introver tak membutuhkan jalinan pertemanan. Namun yang berbeda adalah seberapa banyak dan jenis pertemanan seperti apa.
Berbeda dengan ekstrover, mungkin sulit bagi introver untuk mendapatkan teman baru karena mengenal seseorang menguras banyak energi. Namun, introver sebenarnya tak membutuhkan lingkaran pertemanan yang luas.
Mereka merasa cukup dengan satu-dua teman dekat, kendati mereka mungkin mengenal banyak orang dan punya segudang kenalan. Orang introver cenderung menahan banyak hal setiap hati, tapi kemudian membutuhkan percakapan yang mendalam dan inti.
Bisa dibilang, introver dan basa-basi bukanlah teman yang baik. Seorang introver lebih suka membicarakan sesuatu yang dekat dengan hatinya daripada rencana akhir pekan semata. Ini harus langsung ke inti cerita, hal yang sebenarnya ingin dibicarakan.
Demikianlah, introver jarang memiliki energi untuk mempertahankan kehidupan sosial yang ramai, atau percakapan instan melalui WA dan panggilan telepon. Saya rasa jika kaum introver bilang "aku terlalu sibuk" untuk tetap berhubungan, itu ada benarnya.
Intinya begini: Jangan melihat introversi sebagai hambatan; alih-alih, anggaplah itu sebagai gaya dalam berhubungan.
Jika Anda introver dan kesepian, coba lakukan ini
Seorang introver tak harus terisolasi dan berjarak sekian jauhnya dari orang lain, khususnya ketika kesendirian sudah berubah jadi kesepian. Untungnya, menurut pengalaman saya, ada strategi-strategi agar introver punya pertemanan yang sehat dan berkembang.
Pertama, ambil inisiatif. Introver cenderung tak suka acara dadakan atau spontan. Karenanya, introver secara alami lebih cocok untuk memulai rencana. Ini bukanlah kepribadian bawaan, melainkan keterampilan yang dipelajari.
Dengan mengambil langkah pertama, Anda memiliki kekuatan untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan cara Anda bersosialisasi. Jika rencana yang Anda buat gagal, itu mungkin bisa jadi kesempatan tak terduga untuk tenang menyendiri.
Kedua, carilah orang dan tempat yang nyaman. Introver suka menghabiskan waktu dengan orang-orang yang membuatnya nyaman, terutama mereka yang tak merasa harus berbicara sepanjang waktu (atau mengharapkan Anda untuk banyak omong).
Cara mengukur apakah Anda merasa nyaman dengan seseorang adalah dengan memerhatikan perasaan Anda setelah menghabiskan waktu bersamanya. Jika Anda menemukan orang yang tepat, Anda akan merasa bahwa berbicara dengannya justru menambah energi.
Lagi pula, seperti yang kita semua tahu, introver hanya mengungkapkan sebagian kecil dari diri mereka, satu lapis demi satu lapis sambil mengamati reaksi orang lain. Jika Anda merasa cocok dengan seseorang, Anda akan bersedia untuk membuka lapisan lainnya.
Ketiga, jika memungkinkan, cobalah bergabung dengan sebuah komunitas atau klub. Cara ini membantu introver untuk mencari teman yang sesuai dengan ritme dan minatnya. Aktivitas apa pun, bahkan yang kelihatannya bersifat soliter, memiliki ruang komunal.
Saya, umpamanya, mengikuti organisasi mahasiswa yang berfokus pada aktivitas intelektual, dalam arti aktivitas yang berkaitan erat dengan ide atau gagasan. Dalam organisasi ini saya bercakap-cakap seputar topik favorit saya, dan saya tak perlu berbasa-basi.
Pada akhirnya, walau suka ketenangan dan kesendirian, introver juga butuh teman. Bedanya, mereka lebih suka mengembangkan ikatan yang kuat dengan beberapa teman dekat saja, dan mereka bisa menjadi pendengar yang baik.
Introver tak suka basa-basi, tapi jika berhadapan dengan orang dan tempat yang tepat, mereka bisa agak mirip seperti burung beo. Kata C.S. Lewis: "Pertemanan lahir saat seseorang bilang kepada yang lain, 'Apa! Kau juga? Kukira aku satu-satunya.'"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H