Ucapan dan tindak-tanduk kita juga lebih terkendali. Konstruksi identitas ini tak hanya untuk menyampaikan kesan tertentu pada orang-orang yang melihat kita, tapi juga dilakukan untuk menggambarkan merek pribadi kita kepada diri kita sendiri.
Dengan menghabiskan banyak waktu untuk memastikan bahwa orang lain melihat kita dengan cara tertentu, kita secara tak langsung telah merampas kesempatan bagi siapa pun, bahkan diri kita sendiri, untuk menghargai apa yang mungkin ada di balik tampilan luar.
Baru-baru ini seorang teman bertanya tentang apa yang membuat saya gembira, hanya karena saya begitu sering memakai emot tertawa. Jawab saya: "Jika kita bertemu langsung, mungkin kau akan bertanya mengapa aku terlihat depresi, karena sebenarnya aku sedang agak stres."
Di dunia maya, kita tampaknya bisa menjadi apa pun yang kita inginkan... kecuali diri kita sendiri.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Sejauh ini kita telah melihat bahwa media sosial memainkan peran bermata dua. Di satu sisi, media sosial bisa membantu kita untuk memulai dan mempertahankan persahabatan, apalagi kalau jarak geografis jadi hambatan.
Namun, di sisi lain, media sosial juga cenderung merusak dan mereduksi makna persahabatan itu sendiri. Persahabatan yang berharga, seperti hubungan sukarela lain, membutuhkan kemauan dan usaha dari masing-masing pihak untuk mempertahankannya.
Dengan media sosial, kemauan dan usaha itu makin mengecil, karena orang percaya memberi teman "like and comment" saja sudah cukup untuk mempertahankan persahabatan. Padahal, persahabatan bermakna jauh lebih dalam daripada itu.
Ini bukan tentang kuantitas, tapi tentang kualitas. Media sosial adalah tentang lebih banyak pengikut, lebih banyak komentar, lebih banyak perhatian. Sebaliknya, persahabatan adalah tentang melambat, hadir dan menghabiskan waktu tanpa rekayasa ini-itu.
Jika ada, ini bukan tentang mencari lebih banyak teman; ini tentang mendalami koneksi kita dengan teman yang sudah kita miliki. Kita tak membutuhkan ribuan koneksi online, karena satu sahabat dalam kehidupan nyata jauh lebih bernilai daripada itu.
Ini menjelaskan mengapa ledakan penggunaan media sosial justru memicu epidemi kesepian. Kita berkirim pesan dengan "teman" kita selama berjam-jam online, tapi kita tak tahu harus menelepon siapa ketika kita benar-benar membutuhkan teman bicara.
Sahabat saya, bukan pengikut Instagram atau teman Facebook, yang mengajari saya betapa berartinya interaksi sosial itu. Satu waktu, ketika saya sudah terlalu tua untuk berlari, saya ingin melihat ke belakang dan memastikan bahwa tubuh saya telah berpengalaman.